Sejumlah perajin Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, memasarkan produk kerajinan kain tenun melalui media sosial karena memiliki jaringan luas.

"Kita kini merasa kewalahan melayani permintaan pesanan dari berbagai daerah di Tanah Air," kata Amir (40), seorang perajin di kawasan Baduy Lebak, Sabtu.

Pemasaran melalui media sosial sangat membantu pendapatan ekonomi karena banyak menerima pesanan, setelah para konsumen lebih mudah mengetahui produk kain tenun Baduy melalui WA, Facebook, Istagram dan Youitube.

Kebanyakan pesanan kain tenun Badui motif tenun suwatsongket, suwatsamata, adumancung, poleng kacang, poleng hidup dan aros.

Kelebihan motif tenun Baduy itu lebih condong tradisional dengan warna didominasi biru, hitam dan putih.

Selain itu juga banyak wisatawan membeli kain tenun Baduy untuk dijadikan kenang-kenangan dengan alasan tradisional juga memiliki nilai seni.

Benang bahan baku kain tenunan didatangkan dari Majalaya Bandung, Jawa Barat.

"Kami bisa menghasilkan omzet sekitar Rp18 juta per bulan," katanya.

Menurut dia, produksi kain tenun Baduy dikerjakan kaum perempuan dengan peralatan secara manual. Biasanya untuk mengerjakan kain dengan ukuran 3x2 meter persegi bisa dikerjakan selama sepekan.

Para perajin perempuan merajut kain tenun sambil duduk di balai-balai rumah yang terbuat dari dinding bambu dan atap rumbia.

"Kami yakin kain tenun motif bisa mendunia melalui jaringan media sosial itu," katanya.

Neng (40), seorang perajin kain tenun Baduy mengaku selama ini permintaan tenun Baduy meningkat setelah dipasarkan melalui medsos dan banyak wisatawan yang membeli dengan jumlah banyak.

Para perajin menjual kain tenun dan pakaian batik Badui itu tergantung kualitas mulai Rp 200.000 sampai Rp 1,4 juta per kain.

Konsumen yang membeli melalui medsos, antara lain dari Bandung, Yogyakarta, Lampung hingga Batam.

"Kami bisa menghasilkan omzet penjualan melalui medsos sekitar Rp 15-20 juta per pekan," katanya.

 

Pewarta: Mansyur suryana

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019