Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani mengatakan angka perkawinan anak masih tinggi yakni sekitar 11,2 persen dari total seluruh perkawinan di Indonesia.
Dwi menjelaskan di Malang, Selasa, tingginya angka perkawinan anak tersebut dikarenakan beberapa faktor, namun yang paling banyak adalah karena pergaulan bebas.
"Ini masih menjadi keprihatinan kita semuanya, tentang pernikahan usia dini penyebabnya ada banyak, faktor budaya, tradisi, agama, faktor kemiskinan, termasuk yang paling banyak itu faktor pergaulan bebas," kata Dwi Listyawardani yang juga akrab disapa Dani tersebut.
Tingginya angka perkawinan usia dini karena faktor pergaulan bebas dilihat dari meningkatnya permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama.
"Karena permintaan dispensasi nikah, artinya yang perempuan di bawah 16 tahun yang laki-laki di bawah 19 tahun, itu cenderung meningkat. Dan pengadilan Agama terpaksa memberikan dispensasi karena kasihan melihat yang wanita sudah hamil," kata Dani.
Dispensasi pernikahan dimungkinkan berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan yang isinya bagi calon suami yang belum mencapai usia 19 tahun dan calon istri yang belum mencapai 16 tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan agama untuk bisa melangsungkan pernikahan.
Dani menyebutkan pernikahan usia dini paling tinggi di Sulawesi Barat yang mencapai 19 persen, kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan. Sedangkan kasus pernikahan usia dini cenderung lebih rendah di daerah perkotaan.
"Yang rendah memang di perkotaan ya, di DKI itu 4 persen," kata Dani. Dia menyebutkan perkawinan anak di desa cenderung dialami oleh perempuan, terlebih anak yang putus sekolah kemudian dinikahkan oleh orang tuanya.
Perkawinan anak yang disebabkan oleh faktor kemiskinan lebih mendominasi terjadi di desa. Dani mengemukakan biasanya pernikahan anak perempuan di desa dilakukan untuk meringankan beban orang tua, namun hal tersebut bukanlah solusi karena banyak rumah tangga dari perkawinan anak tersebut yang kandas di tengah jalan.
Dani juga mengingatkan bahwa perkawinan anak juga meningkatkan risiko penyakit kanker mulut rahim pada perempuan. Alat kelamin wanita yang usianya di bawah 19 tahun masih sangat rentan terinfeksi berbagai virus sehingga berpotensi mengalami kanker serviks pada 15 tahun hingga 20 tahun yang akan datang.
"Dari hasil penelitian menunjukkan mereka yang yang kena kanker serviks setelah ditanya kapan kamu pertama kali melakukan hubungan seksual itu di usianya rata-rata di bawah 19 tahun ini," kata Dani.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
Dwi menjelaskan di Malang, Selasa, tingginya angka perkawinan anak tersebut dikarenakan beberapa faktor, namun yang paling banyak adalah karena pergaulan bebas.
"Ini masih menjadi keprihatinan kita semuanya, tentang pernikahan usia dini penyebabnya ada banyak, faktor budaya, tradisi, agama, faktor kemiskinan, termasuk yang paling banyak itu faktor pergaulan bebas," kata Dwi Listyawardani yang juga akrab disapa Dani tersebut.
Tingginya angka perkawinan usia dini karena faktor pergaulan bebas dilihat dari meningkatnya permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama.
"Karena permintaan dispensasi nikah, artinya yang perempuan di bawah 16 tahun yang laki-laki di bawah 19 tahun, itu cenderung meningkat. Dan pengadilan Agama terpaksa memberikan dispensasi karena kasihan melihat yang wanita sudah hamil," kata Dani.
Dispensasi pernikahan dimungkinkan berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan yang isinya bagi calon suami yang belum mencapai usia 19 tahun dan calon istri yang belum mencapai 16 tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan agama untuk bisa melangsungkan pernikahan.
Dani menyebutkan pernikahan usia dini paling tinggi di Sulawesi Barat yang mencapai 19 persen, kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan. Sedangkan kasus pernikahan usia dini cenderung lebih rendah di daerah perkotaan.
"Yang rendah memang di perkotaan ya, di DKI itu 4 persen," kata Dani. Dia menyebutkan perkawinan anak di desa cenderung dialami oleh perempuan, terlebih anak yang putus sekolah kemudian dinikahkan oleh orang tuanya.
Perkawinan anak yang disebabkan oleh faktor kemiskinan lebih mendominasi terjadi di desa. Dani mengemukakan biasanya pernikahan anak perempuan di desa dilakukan untuk meringankan beban orang tua, namun hal tersebut bukanlah solusi karena banyak rumah tangga dari perkawinan anak tersebut yang kandas di tengah jalan.
Dani juga mengingatkan bahwa perkawinan anak juga meningkatkan risiko penyakit kanker mulut rahim pada perempuan. Alat kelamin wanita yang usianya di bawah 19 tahun masih sangat rentan terinfeksi berbagai virus sehingga berpotensi mengalami kanker serviks pada 15 tahun hingga 20 tahun yang akan datang.
"Dari hasil penelitian menunjukkan mereka yang yang kena kanker serviks setelah ditanya kapan kamu pertama kali melakukan hubungan seksual itu di usianya rata-rata di bawah 19 tahun ini," kata Dani.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019