Jakarta (Antaranews Jabar) - Hingga Selasa pukul 13.00 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bahwa korban jiwa akibat tsunami di Selat Sunda mencapai 429 orang.
BNPB juga mencatat hingga hari ketiga pascatsunami Selat Sunda, sebanyak 1.485 orang luka-luka, 154 hilang dan 16.082 orang mengungsi akibat tsunami pada Sabtu (22/12) malam tersebut.
Tsunami tersebut berdampak pada lima kabupaten, yaitu Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten, serta Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus di Provinsi Lampung.
Namun, penyebab dari tsunami itu sendiri masih menjadi hal yang banyak dikaji. Tsunami itu seakan datang tanpa adanya pertanda apapun, waluapun erupsi Gunung Anak Krakatau bisa dibilang menjadi alasan pemicu logis terdekat.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber dan analisis Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada analisis awal, yaitu sebelum kejadian tsunami, letusan Gunung Anak Krakatau terjadi secara terus menerus sejak Juni 2018 dan berfluktuasi, namun tidak ada peningkatan intensitas yang signifikan.
Tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 kemungkinan besar dipicu oleh longsoran atau jatuhnya sebagian tubuh dan material Gunung Anak Krakatau atau "flank collapse", khususnya di sektor selatan dan barat daya. Masih diperlukan data tambahan dan analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang berperan.
Berdasarkan katalog tsunami yang ditulis S.L. Soloviev dan Ch.N. Go pada tahun 1974, Wilayah Selat Sunda beberapa kali dilanda tsunami yang dipicu oleh gempa bumi (tahun 1722, 1852, dan 1958), erupsi atau aktivitas Gunung Krakatau (tahun 416, 1883, dan 1928), serta penyebab lain yang belum diketahui (tahun 1851, 1883 dan 1889).
Gunung Anak Krakatau
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani memberikan data dari profil Gunung Anak Krakatau yang disinyalir sebagai muara bencana tsunami tersebut muncul. Gunungapi Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunungapi strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pascaletusan paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.
Aktivitas letusan setelah pembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunungapi masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929. Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).
Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi ekplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava. Pada tahun 2016 letusan terjadi pada 20 Juni, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari berupa letusan strombolian. Tahun 2018, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.
Precursor letusan 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa hembusan dan low frekuensi pada tanggal 18-19 Juni. Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Gunung Anak Krakatau meletus.
Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah, tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Anak Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami yang sudah terjadi. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memberikan analisis kaitan tersebut.
Pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018, sama sekali tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut, bahkan hingga tsunami, jika dilihat dari getaran gunung.
Kedua, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu. Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yg cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
Keempat, untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, dan ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 Km merupakan kawasan rawan bencana. Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
Rekomendasi
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda adalah kasus yang spesial dan jarang terjadi di dunia, serta masih sangat sulit untuk memperkirakan kejadian "partial collapse" pada suatu gunung api. Untuk itu, pemantauan tsunami di tengah Selat Sunda, baik dengan pemasangan peralatan pemantau (stasiun pasang surut di Pulau sekitar Gunung Anak Krakatau dan/atau BUOY) maupun pemantauan visual dengan penginderaan jauh, sangat diperlukan.
Kedua, hingga saat ini letusan Gunung Anak Krakatau masih berlangsung menerus. Karena itu masyarakat di pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung agar tetap waspada, dan untuk sementara waktu tidak beraktivitas di wilayah yang terlanda tsunami hingga kondisi memungkinkan.