ANTARAJAWABARAT.com, 23/11 - Siapa yang mau menyelamatkan badak jawa di Ujung Kulon? Adakah yang mau meramaikan isu kepunahan satwa itu dari muka bumi seheboh pemilihan Komodo dan Pulau Komodo sebagai New7Wonders, supaya penyelamatan badak bercula satu itu semakin trengginas?
Kabar terbaru dari lembaga konservasi alam internasional IUCN, lembaga yang memantau dan memelihara kelestarian alam serta spesies makhluk hidup yang terancam punah, menyebutkan, badak hitam afrika barat dapat dipastikan telah punah, menyusul dua spesies lainnya yang lebih dulu bernasib sama, yaitu badak putih utara di kawasan tengah Afrika dan badak jawa di Vietnam yang punah akibat perburuan pada 2010.
Lembaga internasional itu menyatakan, bukan tidak mungkin nasib yang sama pun akan dialami badak jawa di Ujung Kulon jika hewan itu tidak mendapatkan perawatan konservasi yang pas dan penanganan yang sigap.
Menurut IUCN, badak jawa kini hanya ada di Ujung Kulon dengan populasi yang sedikit bahkan kian menyusut.
Sejumlah wartawan, berkunjung ke kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) bersama Forum Konservasi Satwaliar Indonesia (FOKSI), beberapa waktu lalu, untuk melihat lebih dekat nasib hewan bercula satu tersebut.
Berdasarkan data 2009 TNUK, jumlah badak jawa di kawasan konservasi tersebut sekitar 60 individu. Namun, jumlahnya kian menyusut setelah dilakukan identifikasi terbaru.
"Kondisi terakhir menunjukan terdapat 30 individu badak jawa yang tersisa saat ini. Sepuluh di antaranya betina dan dua di antaranya anak," kata Kepala Balai TNUK Agus Priambudi.
Temuan tersebut diperoleh dari kegiatan badak yang terekam 40 kamera video yang terpasang di sejumlah titik TNUK.
Agus menuturkan, jumlah populasi yang disebutkan merupakan hasil identifikasi sementara karena hasil akhirnya akan resmi dipublikasikan pada awal Desember.
"Dari identifikasi sementara itu pula muncul sebuah temuan bahwa pergerakan badak jawa sudah mendekati wilayah perkampungan," tutur Agus.
Lokasi keberadaan badak jawa sebagian besar memang berada di Semenanjung Ujung Kulon. Namun, sejak 2000 dilaporkan daya jelajah badak jawa ternyata bisa sampai ke wilayah Gunung Honje, yaitu batas terluar dari zona inti.
Pada 2011, ditemukan terdapat dua ekor yang memasuki wilayah Gunung Honje Selatan.
Kenyataan itu, menurut Agus, meski dengan jumlah populasi yang kian menipis, badak-badak tersebut kemungkinan membutuhkan ruang habitat yang lebih luas. Salah satu penyebab hijrahnya badak dari Semenanjung Ujung Kulon adalah karena keterbatasan pakan di kawasan konservasi, sehingga badak jawa harus bersaing dengan banteng, hewan yang jenis makannya sama dengan badak.
Untuk bisa mendapatkan makanan, badak jawa harus bersaing dengan sekitar 800 banteng yang juga hidup di wilayah TNUK.
Namun, menurut Agus, jika wilayah habitatnya diperluas, faktor utama yang dikhawatirkan justru adalah kegiatan manusia.
"Di wilayah Gunung Honje terdapat tingkatan gangguan manusia yang tinggi terhadap badak jawa," ungkap Agus.
Bukan kegiatan perburuan yang menjadi kekhawatiran pihak Balai TNUK dan sejumlah LSM terkait, melainkan meningkatnya perambahan lahan garap oleh masyarakat setempat.
"Perburuan liar itu terakhir terjadi tahun 1996. Justru yang kami khawatirkan adalah perambahan lahan garap ke habitat badak yang bisa mempersempit ruang gerak mereka," kata Agus.
Pada 1990 perambahan lahan yang didominasi oleh sawah, kebun, dan perumahan tersebut terjadi seluas 400 hektare, sedangkan pada 2008 perambahan tersebut meningkat tajam menjadi 3.436 hektare. Dikhawatirkan perambahan tersebut akan terus memasuki zona inti jika tidak segera ditindaklanjuti.
Untuk itu, pemerintah bersama Balai TNUK telah menetapkan beberapa langkah besar untuk penyelamatan badak jawa dengan menciptakan populasi kedua pada habitat baru atau disebut habitat kedua. Ketentuan itu disusun berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak di Indonesia tahun 2007-2017.
Untuk mewujudkan hal tersebut dinyatakan pada 2015 pengelolaan badak jawa harus sudah memiliki sebuah kawasan perlindungan sebagai langkah pembentukan habitat kedua selain kawasan NUK.
Suaka Khusus
Langkah awal untuk mengembangkan habitat kedua bagi badak jawa dibuatlah suaka khusus atau disebut Kawasan Studi dan Konservasi Badak Jawa (Javan Rhino Study and Conservation Area/(JRSCA) yang pelaksanaan pembangunannya telah diluncurkan Menteri Kehutanan pada Juni 2010.
Program beranggaran Rp 6 miliar itu merupakan kerja sama antara International Rhino Foundation (IRF) dengan Yayasan Badak Indonesia (Yabi) dan Balai TNUK. Biaya tersebut dikucurkan langsung dari IRF melalui Yabi. Pendanaan sepenuhnya ditangani pihak Yabi, dalam hal ini Balai TNUK hanya bertugas sebagai pelaksana sekaligus melakukan pendampingan.
Asisten Manajer Operasional JRSCA Dodi Sumardi menuturkan, pendirian JRSCA ini untuk menyediakan habitat badak yang lebih luas dan lebih baik serta aman dari gangguan hewan ternak atau pun manusia.
"Sehingga apabila badak jawa sudah berada di dalam kawasan JRSCA, dia dapat berkembang dengan baik dan dapat dilakukan penelitian lebih komprehensif mengenai bioekologi dan perilakunya. Selain itu juga dapat dijadikan calon badak jawa untuk translokasi ke habitat kedua," kata Dodi.
Dodi menuturkan, badak jawa tersebut akan dipindahkan dengan metode alami ke wilayah Gunung Honje bagian selatan Taman Nasional Ujung Kulon untuk menambah ruang gerak dan luasan habitatnya. Salah satu upaya penggiringan badak adalah dengan pengelolaan areal tanaman langkap.
Di area Gunung Honje, yang termasuk kawasan JRSCA, tumbuhan yang mendominasi adalah langkap, rotan, dan sigeung. Luasan yang tertutupi tanaman langkap di area itu hampir sekitar 1.300 hektare dengan kerapatan pohon sekitar 3 ribu hingga 4 ribu per hektarenya.
Hal itu menjadi masalah karena pertumbuhan tanaman ini sangat dominan, sehingga menyebabkan tidak ada tanaman lain di sekitarnya yang dapat tumbuh. Saat ini sekitar 60 persen atau sekitar 18.000 hektare bagian dari TNUK ditutupi oleh langkap dan menghalangi pertumbuhan pakan badak.
Untuk itu pengelolaan pembukaan area langkap pun dilakukan dengan menggunakan metode tebang bersih dan tebang tinggal sebanyak 36 plot contoh, yang terdiri atas 18 plot dengan luasan satu hektare, dan 18 plot lainnya dengan luasan setengah hektare. "Jadi total luas area langkap yang dibuka itu seluas 27 hektare," kata Koordinator Lapangan Pembinaan Habitat Rusdiyantono.
Hingga kini, lanjut Rusdiyantono, pihaknya masih mencari metode yang tepat untuk pemberantasan langkap. Karena terbukti setelah langkap ditebang, tanaman pakan badak yang semula mati kembali tumbuh, dan berhasil menarik badak ke area tersebut. Terbukti pada Oktober, tim menemukan tanda keberadaan badak berupa kotoran, kubangan, dan tapak badak. Jejak tersebut ditemukan tidak jauh dari jalur transek di area JRSCA.
"Untuk bisa menggiring badak ke area tersebut rencananya akan dibuat sejenis koridor alami hasil pembukaan area tanaman langkap dengan memanfaatkan pakan badak sebagai jalur umpannya," kata Rusdiyantono.
Selain ancaman aktivitas manusia, vegetasi langkap, dan persaingan pakan dengan banteng, ancaman penyakit, infeksi dan virus yang ditularkan hewan ternak seperti kerbau, juga menjadi perhatian penting. Karenanya, muncul gagasan agar kawasan terluar JRSCA tersebut dipagari dengan menggunakan pagar kawat yang dialiri listrik.
Pagar Listrik
Pagar beraliran listrik yang akan dibangun di sekeliling area JRSCA TNUK merupakan adaptasi dari keberhasilan hal serupa yang diterapkan di kawasan perlindungan badak sumatra di Taman Nasional Way Kambas Lampung.
Pagar yang pembangunannya mulai dirintis itu akan membentang sepanjang 22,7 kilometer dari Gunung Honje Selatan TNUK sampai ke Tanjung Sodong seluas 3.900 hektare. Bedanya, pagar di JRSCA TNUK ini tidak dibuat melingkari kawasan populasi badak, namun hanya memanjang satu arah di kawasan terluar zona inti area JRSCA.
Pagar juga hanya akan dibangun di area yang berbatasan dengan daratan, sedangkan yang berbatasan dengan laut akan dibiarkan terbuka.
Menurut Koordinator Lapangan Pembangunan Pagar, Indra K. Harwanto, tinggi pagar yang akan dibuat hanya setinggi 1,6 meter dengan lebar jalur 10 meter. Jarak dari tanah ke pagar kawat pertama yaitu 45 cm, sehingga memungkinkan satwa kecil seperti macan tutul, babi hutan, dan lainnya bisa melewati pagar tersebut tanpa harus terkena sengatan listrik.
Pada Oktober, pembangunan pagar listrik ini sempat menuai kontroversi yang berujung pada penolakan dari mahasiswa, bahkan sejumlah LSM dan organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.
Sebagian besar dari mereka menilai, pembangunan pagar listrik itu justru akan membahayakan populasi badak jawa dan satwa yang hidup di kawasan TNUK.
Menanggapi reaksi tersebut, Indra menuturkan, pembangunan pagar listrik di JRSCA merupakan pilihan yang paling memungkinkan di antara berbagai alternatif lain. Keputusan tersebut, lanjutnya, telah melewati berbagai pertimbangan dari 77 pakar. Selain ramah lingkungan, pagar listrik terbukti berhasil diterapkan Taman Nasional Way Kambas dan wilayah konservasi di negara-negara lain, seperti Australia dan Afrika.
"Yang perlu ditekankan adalah pagar listrik ini tidak membahayakan badak jawa atau pun satwa lainnya di TNUK karena jenis pagar yang akan dibangun berupa pagar kawat listrik yang hanya mempunyai efek kejut saja, dan tidak mematikan," kata Indra.
Pemagaran ini bukan tanpa sebab, pemasangan pagar ini bertujuan agar kawasan JRSCA terbebas dari penyakit yang dibawa hewan vektor seperti kerbau dan kambing.
"Jadi bagaimana pun pemagaran ini harus segera dan tetap dilanjutkan karena tujuannya sudah sangat jelas. Desainnya sudah ada, tinggal tahap pembangunannya," lanjut Indra.
Baik Indra maupun Kepala Balai TNUK, Agus Priambudi mengakui bentuk penolakan dari sejumlah pihak beberapa waktu lalu merupakan bentuk ketidakpahaman mereka karena kurangnya sosialisasi.
"Kami mengakui mungkin sosialisasinya masih kurang, sehingga banyak masyarakat di luar sana yang belum paham dengan program ini," ungkap Agus.
Di luar kontroversi tersebut, kini yang terpenting bagi tim JRSCA saat ini adalah dukungan dari masyarakat sekitar. Agus menilai, masyarakat setempat sudah sangat membantu. Salah satunya dengan kesediaan masyarakat untuk meninggalkan lahan garapan mereka yang berada di dalam area JRSCA.
"Pada Juni 2011 sebanyak 51 penggarap telah bersedia meninggalkan lahan garapan mereka. Memang membutuhkan pendekatan yang cukup lama, namun setelah diberi penjelasan dan uang modal usaha atau uang 'kadeudeuh' sebesar 1,5 juta akhirnya mereka mau mengerti. Kini para penggarap tersebut sengaja kami libatkan dalam program ini," kata Agus.
Bentuk dukungan juga datang dari warga Kampung Legon Pakis, salah satunya Sadikin. Sadikin yang saat ditemui sedang menggarap sawahnya menuturkan, dirinya dan warga Kampung Legon Pakis sudah mendapatkan sosialisasi terkait JRSCA dan pemasangan pagar listrik di area tersebut.
Sawah Sadikin seluas 1,5 hektare, yang lokasinya tepat berhadapan dengan perbatasan wilayah JRSCA yang nantinya akan dipagari tersebut, merupakan warisan dari ayah dan kakeknya sejak tahun 60-an. Meski demikian, Sadikin mengaku tidak pernah dan tidak akan menambah lahannya hingga ke wilayah JRSCA.
"Sawah ini adalah warisan dari ayah saya. Jadi saya tidak mungkin meninggalkan, tapi saya juga berjanji tidak akan menambah lahan ke kawasan JRSCA karena sudah ada aturannya dari pihak Balai. Saya akan tetap mempertahankan yang sudah ada saja," katanya.