Jakarta (ANTARA) - Tokoh Pemuda Nahdlatul Ulama (NU) Dr Adnan Anwar MA mengatakan pentingnya menjalin silaturahmi sebagai bekal untuk merekatkan persaudaraan kebangsaan dan persatuan NKRI, terlebih dalam situasi pandemi yang memaksa sebagian besar interaksi dan kegiatan masyarakat terbatasi.
"Mempererat persaudaraan harus terus dijalin melalui silaturahmi nasional yang sering diadakan tahun 1950-1970-an silam, sebagai sarana 'tabayyun' antara kelompok-kelompok masyarakat maupun pemerintah, sehingga tidak menimbulkan multitafsir atau dugaan-dugaan dalam menyikapi berbagai dinamika yang terjadi," ujar Dr Adnan Anwar di Jakarta, Senin.
Apalagi, lanjutnya, dewasa ini masyarakat bangsa ini mudah dipecah-belah akibat fenomena liberalisasi informasi dengan kebebasan berpendapat yang seringkali tidak memiliki koridor yang tepat antara ruang publik dan ruang privat.
Menurut dia, masyarakat selama ini belum diajarkan bagaimana menggunakan ruang publik yang baik yang tidak memicu terjadi mispersepsi dan konflik.
“Misalnya bagaimana menggunakan media sosial yang sesuai dengan etika dan undang-undang, sehingga tidak menggunakan ruang media sosial itu untuk suatu gagasan atau aspirasi yang sifatnya anarki dan liar yang dapat membahayakan negara,” ucap pria yang juga Direktur Panata Dipantara yang bergerak dalam bidang kajian Kontra Narasi dan Ideologi dari paham radikal terorisme itu.
Ia menilai kelalaian dalam menggunakan ruang publik, seperti media sosial dewasa ini kerap memperuncing masalah perbedaan dalam agama, meributkan mayoritas dan minoritas kesukuan. Masalah ini sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan masyarakat di negara ini.
Selain itu, katanya, masih ada pihak-pihak yang menyebarkan provokasi, hoaks dan ujaran kebencian. Kondisi ini memerlukan strategi baru untuk menata ulang masyarakat melalui revolusi budaya dan pengawasan terhadap perkembangan masyarakat di dunia maya.
Disamping itu, ia juga memandang bagaimana pentingnya pendidikan sebagai pilar utama dalam menahan arus globalisasi yang masif dewasa ini. Ia menilai model pendidikan saat ini terlalu liberal, beberapa subyek mata pelajaran juga telah hilang,
"Seperti pelajaran geografi, sejarah, bahkan pelajaran Pancasila yang notabene untuk menanamkan dasar-dasar ideologi sudah banyak yang hilang. Maka dari itu reorientasi pendidikan yang bisa menjawab tantangan global itu sangat penting," ujar mantan Wakil Sekjen PBNU ini.
Ia mengakui keberadaan pesantren dirasa sebagai harapan baru untuk mentransformasikan nilai-nilai moral dan agama yang moderat.
Untuk itu lembaga negara perlu memikirkan metode pendidikan atau metode sosialisasi yang tepat di kalangan generasi muda yang salah satunya juga melalui keberadaan para tokoh agama dan santri di tengah masyarakat.
"Keberadaan tokoh-tokoh agama ini sangat penting keberadaannya karena mereka ini memegang pilar agama. Sehingga perlu peran dari pemerintah untuk meletakkan tokoh-tokoh agama untuk selalu berdampingan dalam memimpin umatnya agar bangsa ini biar kokoh," ucapnya.
Baca juga: Silaturahmi Madura sedunia, Mahfud cerita stereotip orang Madura jadi candaan
Baca juga: Anggota DPRD Jabar imbau warga bersilaturahim secara virtual saat lebaran
Baca juga: Presiden Jokowi bersilaturahmi dengan Wapres Ma'ruf secara daring