Oleh Syamsul Huda M. Suhari *)
Hadjira Abuba berhenti sejenak, setengah membungkuk sambil memegangi pinggangnya, napasnya mulai tersengal.
Pagi itu, Nenek berusia 72 tahun itu harus menaiki 94 anak tangga untuk mencapai sebuah masjid tua yang terletak di atas bukit kecil itu, tempat makam raja Ilato disemayamkan. Ilato, dalam bahasa daerah setempat, berarti "Kilat".
Beliau dijuluki Kilat, konon saat sang raja bisa pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah hanya dilaksanakan dalam waktu sekejap. keesokan harinya, dia sudah nampak kembali bersama-sama rakyatnya.
Nenek Hadjira hanya satu dari sekian peziarah yang datang, Ditemani tiga orang kerabatnya, dia bermaksud hendak meminta berkah dan doa kepada yang maha kuasa, melalui perantara sang raja, yang dipercayai sebagai kekasih Tuhan.
Ritual ini adalah tradisi yang dilakoni Hadjira sejak masih gadis. karena itu, Nenek yang kini dikaruniai 26 cucu dan cicit ini tak bisa lagi menghitung, berapa kali dia menziarahi makam itu.
Di atas pusara sang raja, doa pun digelar. Sebelumnya, seorang imam sekaligus juru kunci makam menanyakan doa apa yang hendak diinginkan Hadjira.
Doa pun diluncurkan dalam tiga bahasa; Indonesia, Gorontalo, dan Arab. Ini karena ada di antara mereka yang tak begitu paham bahasa daerah Gorontalo.
Makam raja Ilato terletak di depan depan masjid, tersekat ruang tiga kali meter. Di bibir makam sang raja yang juga dikenal dengan julukan "Ju panggola" itu, Hadjira tak lupa meletakkan beberapa botol air.
"Ini air berkah untuk dibawa pulang, bisa dilangsung minum, atau dipakai mandi," bisiknya sesaat sebelum doa.
Tak lama berselang , berbondong-bondonglah peziarah lainnya, tidak hanya didominasi para orang tua, bahkan yang muda pun tak ketinggalan memburu berkah Tuhan melalui perantara sang raja.
Sebut saja Dzikril (19), pulang berlibur dari kota Bandung, anak muda yang masih kuliah di sebuah sekolah tinggi di Jawa Barat itu, menyempatkan diri untuk menziarahi makam Ju panggola, yang berada di Kelurahan Lekobalo, Kota Gorontalo itu.
"Rasanya ada yang kurang, jika setiap kali pulang kampung saya tidak menziarahi makam Ju panggola," katanya.
Dzikril yang datang ditemani oleh dua orang rekannya ini, mengaku rutin menziarahi makam tersebut, sedari kecil, lanjutnya, dirinya memang selalu diajak orang tuanya untuk bertandang ke sana.
Menurut Ali Abubakar (54), Imam dan juru kunci setempat, makam Ju panggola memang selalu ramai dikunjungi peziarah, pada waktu-waktu tertentu pada penaggalan Islam, seperti 20 Rajab, 27 Rajab, dan 30 Rajab, Isra Miraj, serta saat menjelang dan penghujung Ramadhan.
"Sejak satu bulan menjelang Ramadhan, tempat ini sudah ramai dengan peziarah," ujarnya.
Tepat pada malam lebaran, lanjut Abubakar, masjid tua yang bernama "Kubah" itu, bahkan sudah penuh sesak peziarah.
Jangan sirik
Tidak hanya "memburu" doa dan berkah, hampir dipastikan para peziarah juga selalu membawa pulang pasir tanah yang ada di pusara Ju Panggola. Ada yang mempercayainya sebagai jimat, ada juga yang menggunakannya sebagai bedak.
Uniknya, pasir tanah yang berwarna putih kecoklatan itu, tak pernah habis meski terus diambil dan digali oleh peziarah. bentuknya pun sangat halus.
Peziarah tak hanya datang dari wilayah Gorontalo dan sekitarnya, juga dari luar daerah, sebut saja pulau, Ambon, Jawa, Malaysia bahkan Singapura.
Ada juga di antara masyarakat yang menggelar perhelatan ulang tahun, dan sunatan di sana. Orang terhormat yang semasa hidupnya dikenal sakti namun rendah hati kepada semua orang itu, bahkan tak jarang dijadikan saksi pada acara akad nikah yang digelar di atas di atas pusaranya.
"Bahkan ada orang non muslim, seperti warga keturunan Cina yang datang dan meminta berkah melalui Ju Panggola, mereka menganggap beliau adalah orang sakti yang bisa memberikan berkah," kata juru kunci Abubakar.
Namun lebih jauh Abubakar menegaskan, bahwa dirinya selalu mengingatkan kepada setiap peziarah, khususnya bagi yang beragama Islam, agar jangan sekali-kali menyembah atau mempertuhankan mendiang atau pusara sang raja, itu sudah syirik atau menyekutukan Tuhan.
Raja Ilato, atau raja Kilat, adalah penguasa Gorontalo dan penyebar ajaran agama Islam pada Tahun 1400 silam, sikap hormat dan kerendahan hatinya pada setiap orang, baik tua maupun muda, membuatnya dijuluki Ju Panggola yang berarti "orang tua yang rendah hati".
Raja Kilat juga dikenal sebagai seorang pendekar silat berilmu tinggi, hanya dengan meneteskan air kepada kedua bola mata para muridnya, maka konon, jurus-jurus bela diri tradisional, yang disebut Langga langsung bisa dikuasai.
Masjid Kubah berada di ketinggian 50 meter dari jalan raya, tak kalah bersejarahnya dengan makam raja Kilat, tempat ini dikenal sebagai pusat penyiaran ajaran agama Islam tertua di Gorontalo.
Dari masjid yang masih berdiri kokoh itu, tersuguh di bawahnya panorama Danau Limboto.
Sayang, danau yang dahulu luas dan dalam itu, kini sekilas lebih mirip sebuah rawa besar, akibat rusaknya ekosistem ; eceng gondok yang tersebar dimana-mana terlihat seperti membentuk pulau-pulau kecil, kini kedalaman danau Limboto hanya tinggal tiga atau empat meter akibat tingginya sedimentasi.
Namun begitu, makam sang raja beserta masjid kubah yang memiliki sejarah panjang itu, tak pernah sepi peziarah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di penghujung Ramadan kali ini, Ali Abubakar kembali "kebanjiran order" doa.*
(KR-SHS/Z003)
*) Kontributor ANTARA