Bandung  (Antaranews Jabar) - Dalam sepekan terakhir media lokal maupun nasional ramai memberitakan mengenai puluhan orang yang tewas akibat menenggak minuman keras oplosan cap `Gingseng` di Cicalengka Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Hingga Jumat (13/4) RSUD Cicalengka mencatat dari total korban yang mencapai 155 orang, 44 diantaranya tewas setelah menenggak minuman keras tersebut, bahkan beberapa korban tewas masih berusia belia. Jumlah itu melebihi korban meninggal dunia akibat kasus serupa di Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Desember 2014 dengan korban jiwa tercatat 23 orang.

Pada waktu yang sama, Polda Jabar telah menetapkan sejumlah tersangka terkait rangkaian kematian korban minuman keras ilegal itu dan satu tersangka berinisial SS kini berstatus DPO. Kasus ini kemudian menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Dinas Kesehatan untuk menetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Tak lama setelah itu, aparat keamanan seperti polisi dan pemerintah daerah menginstruksikan jajarannya untuk menabuh genderang perang terhadap peredaran minuman keras tak berizin terutama oplosan. Pada Rabu (11/4) Satpol PP Kota Bandung menggelar razia Miras. Hasilnya, 367 botol dan ratusan liter minuman yang biasa disebut tuak berhasil diamankan. Inspeksi serupa dilakukan di wilayah lain seperti di Purwakarta, Jepara, Lampung, Manado, dan wilayah lainnya.

Sementara itu dari hasil penyelidikan polisi, miras yang diminum oleh para korban di Cicalengka merupakan hasil racikan. Satu botol `Gingseng" dijual dengan harga Rp15.000 hingga Rp20.000 berisi 600 mililiter. Ironisnya, minuman racikan tersebut kembali diolah oleh para pembeli dengan menambahkan berbagai jenis bahan-bahan berbahaya seperti metanol hingga lotion anti nyamuk.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung menyelidiki penyebab nyawa puluhan orang tersebut tidak tertolong. Dari hasil pemeriksaan medis, para korban seharusnya langsung dibawa ke rumah sakit apabila merasakan gejala mual, muntah, pusing, gangguan pernafasan hingga kaburnya pengelihatan tidak lebih dari 30 jam.

Namun pada kasus kemarin, korban yang merasakan gejala-gejala tersebut baru datang ke rumah sakit setelah lebih dari 30 jam usai mereka menenggak minuman oplosan itu.

"Kebanyakan yang meninggal itu di atas 30 jam setelah minum dan datang ke sini sudah Asidosis Metabolik. Artinya, mengalami gangguan pernafasan dan tidak menutup kemungkinan metanolnya itu sudah sampai ke otak, timbul ensefalofati (Disfungsi otak)," ujar Kadinkes Kabupaten Bandung Achmad Kustiadji.



Tak Sebatas Penegakkan Hukum

Psikiater FK Universitas Padjadjaran (Unpad) Teddy Hidayat mengatakan nekatnya masyarakat menenggak minuman keras oplosan didasarkan pada beberapa faktor yang ia sebut sebagai `Perilaku Berisiko`.

Perilaku berisiko ini sebetulnya sudah diketahui masyarakat bahwa meminum miras oplosan tentu sangat berbahaya bagi kesehatannya. Namun ada beragam motivasi seseorang "nekat" menenggak minuman oplosan.

"Mereka seolah menginginkan sebuah pengakuan atau mencari sensasi atas dirinya tanpa memedulikan nyawa," kata dia.

Menurutnya, masalah miras oplosan bukanlah barang baru namun sudah ada sejak dulu dan sama-sama menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Ia menyoroti kasus miras oplosan ini akan baru menjadi perhatian serius para pemangku kebijakan setelah muncul korban.

"Cuman memang kita tak pernah berupaya belajar dari peristiwa tadi untuk mencegahnya, saya pikir," kata dia.

Untuk memutus rantai itu, ia menyarankan agar mengubah cara pandang masyarakat akan perilaku berisiko ini melalui edukasi. Setelah teredukasi, maka langkah selanjutnya dengan melakukan penertiban terhadap penjual minuman tanpa izin disamping pengawasan ketat dari aparat setempat.

"Jadi yang melatarbelakangi kenapa dia meminum ini yang harus ditanggulangi, penyebabnya ini yang harus ditanggulangi. Bukan akibat dari perilaku berisiko sudah minum baru ditanggulangi minumnya, yah terlambat," kata dia.

Senada dengan Teddy, Kriminolog Unpad, Yesmil Anwar, berpandangan bahwa penanganan peredaran miras bukan hanya sebatas penegakkan hukum saja. Menurut dia, perlu adanya peraturan daerah yang menyatakan secara tegas mengenai peredaran miras di wilayahnya masing-masing.

Ia menyebut kasus ini sebagai patologi sosial atau penyakit masyarakat. Artinya, keadaan tersebut akan muncul dari berbagai faktor yang bertentangan dengan norma kebaikan dan stabilitas lokal yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat.

"Ini sudah masuk penyakit sosial di dalam masyarakat itu sendiri yang mungkin dipicu oleh pengangguran, gaya hidup, kan bisa saja oleh situasi-situasi kalau kita sebut frustasi sosial, bisa saja. Yang menjadikan itu sulit, jadi kalau penanganannya hukum, dia akan selesai di ranah hukum. Tapi ini kan tidak hanya hukum, tapi Perda ini tidak diminum sendiri di rumah tapi bersama sama, jadi ini gaya hidup," kata dia.

Ada beberapa strategi yang bisa menjadi medium dalam pengendalian miras ini. Kata Yesmil, peraturan presiden nomor 74 tahun 2013 bisa menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam menegakkan regulasi miras di wilayahnya.

Melalui peraturan itu, pemerintah mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. Dalam perpres tersebut, miras dikelompokkan dalam tiga golongan yakni A, B, dan C. Kemudian pemberian kewenangan pada pemerintah daerah untuk menentukan tempat-tempat di mana miras boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.

"Kita kembali ke peraturan presiden itu nomor 74 tahun 2013 cukup komprehensif. Itu antara pengawasan siapa yang mengawasi kemudian produsennya siapa yang diawasi, kemudian pengguna dan korban. Regulasi itu juga menyangkut pendekatan sosial, karena ini patologi sosial penyakit masyarakat, pendekatannya tidak bisa pendekatan hukum saja," katanya.

Hal lain yang bisa dilakukan yakni dengan membuat semacam pusat kegiatan pemuda. Semakin banyak pusat kegiatan pemuda, tentunya disokong oleh Pemda, akan sedikit demi sedikit mengurasi kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi miras termasuk narkoba. Penerapan ini dapat berkaca kepada negara-negara di Amerika Selatan yang berhasil membangun Youth Center.

"Salah satunya di Amerika Selatan itu warga sering mabuk untuk pelampiasan. Nah pemerintah di sana menggalang program positif seperti bakti sosial dan itu terbukti mereka bisa lepas. Nah mulailah kita berbicara hal ini misalnya kalau bahasa saya penyuluhan hukum bukan sosialisasi. Masuk ke penyuluhan hukumnya itu dengan secepatnya bukan hanya ngobrol-ngobrol, tapi masuk ke kesenian dan sebagainya," kata dia. 

Pewarta: Asep Firmansyah

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018