Antarajabar.com - Beberapa karung beras terlihat menumpuk di bengkel kreativitas Komunitas Kreatif Difabel (KKD) di Jalan Babakan Sari II, Kiaracondong, Bandung, Selasa (27/9).

Beras-beras tersebut bukanlah bantuan bagi penyandang difabel, melainkan usaha kecil anggota KKD untuk menambah nafkah dan modal membuat kaki palsu.

Berjualan beras bukan menjadi usaha mereka yang utama. Komunitas tersebut memiliki visi yang lebih jauh lagi yaitu untuk menyalurkan potensi kreatif penyandang difabel untuk membuat kaki dan tangan tiruan.

Bahkan, di papan nama KKD terpampang tulisan "50% dari penjualan beras disumbangkan untuk pembuatan kaki palsu".

Komunitas Kreatif Difabel bisa dibilang menjadi pionir gerakan pemberdayaan penyandang difabel di Kota Bandung yang dibentuk pada 2010.

Anwar Permana atau biasa dipanggil "Oju" yang merupakan salah seorang pendiri KKD mengatakan kelompok itu didirikan atas dasar tanggung jawab kepada sesama penyandang difabel yang selama ini cenderung dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Oju mengaKU usaha pembuatan kaki dan tangan tiruannya dimulainya ketika dia menyadari begitu mahalnya kaki dan tangan palsu yang beredar di pasaran dan rumah sakit.

Menurut Oju, harga yang ditawarkan oleh merek dagang terkenal bisa mencapai Rp10 juta hingga Rp50 juta per unit.

"Kalau beli kaki itu kan mahal. Jadi kita memiliki ide, ayo bikin sendiri untuk yang lebih terjangkau pada sekitar 2010," ujar Oju.

Pada mulanya Oju bertemu dengan Yusuf Suhara atau terkenal dengan "Jon" yang saat itu menjadi sales tangan tiruan di Jakarta.

Setelah pertemuan awal dengan Jon pada 2009 di Bandung dan bertemu lagi pada 2010, mereka sepakat mendirikan KKD dengan tujuan memberdayakan penyandang difabel.

Selain Oju dan Jon, ada dua pengurus lainnya di KKD yaitu Indra Semedi sebagai kepala produksi dan Iwan Ridwan sebagai bendahara.

Kendati seluruh anggota KKD merupakan difabel, masyarakat umum dapat menimba arti kehidupan kepada mereka bahwa mereka juga sama dengan manusia normal pada umumnya, yaitu giat bekerja dan ide kreatif.


Harga yang ditawarkan oleh KKD untuk per unit tangan dan kaki palsu berkisar antara Rp4 juta hingga Rp8 juta, jauh dibawah rata-rata harga pada umumnya.

Oju mengatakan usahanya selain bertujuan untuk mencari nafkah, juga berfokus membantu difabel yang tidak mampu secara ekonomi guna mendapatkan kaki tiruan bantuan.

Dari penjualan tiga hingga empat set tangan atau kaki tiruan, KKD dapat membuat satu set untuk dibagi secara gratis kepada yang membutuhkan.

Banyak warga difabel yang mengalami cacat akibat amputasi menyambangi KKD untuk meminta tangan dan kaki tiruan secara gratis.

Komunitas itu mencatat ada sekitar 40-an penyandang difabel yang meminta bantuan namun belum dapat dipenuhi. Pihaknya masih harus menseleksi siapa yang dirasa paling berhak menerima tangan atau kaki tiruan gratis.

Sejak awal berdiri pada 2010, komunitas telah memberi sekitar 200-an kaki atau tangan gratis kepada yang masyarakat difabel.

KKD sendiri menjadi pendorong bagi komunitas difabel di provinsi lain untuk melakukan pemberdayaan.

"Kami juga mendirikan koordinator cabang di beberapa kota di Indonesia seperti di Merauke Papua, Aceh bahkan Nunukan," ujar Oju.

Kendati terdapat keterbatasan modal dan ruang tempat kreatifitas, Komunitas Kreatif Difabel mengerjakan produksinya dengan menyelipkan "heureuy" yang dalam bahasa Indonesia berarti candaan.

Sementara itu, Indra sang kepala produksi yang kehilangan kedua kakinya karena kecelakaan lalu lintas mengisahkan semangat yang begitu tinggi untuk berkreasi menciptakan kaki palsu.

Timnya juga membuat inovasi kaki palsu dengan menggunakan bahan bekas suku cadang motor roda dua yaitu bagian peredam getaran atau "shock breaker".

Hal itu dilakukan untuk menyerap getaran dari hentakan kaki palsu ke bagian paha atau selangka guna mengurangi rasa sakit pada awal pemakaian kaki palsu.

"Awalnya sakit di bagian selangka atau paha pada pemakaian tiga hari pertama untuk beradaptasi. Kalau kaki palsu sudah `ngepres` dengan bagian paha, maka tidak akan sakit lagi," ujar Indra.

Penggemar tato itu menjelaskan pembuatan satu set kaki palsu paling lama memakan waktu sekitar satu pekan.

Dalam satu bulan, timnya bisa menyelesaikan rata-rata tiga set kaki palsu. "Paling sulit dalam proses produksi yaitu pembuatan engsel karena karena harus sesuai dengan pengguna," ujar Indra.

KKD memilih logam alumunium sebagai bahan kaki palsu agar ringan dan kuat saat dipakai.

Setelah itu, alumunium dilapis busa dan dibalut bahan kulit sintetis untuk memberikan kenyamanan bagi pengguna.

Selain alumunium, bahan baku pembuatan kaki palsu juga bisa menggunakan bahan nilon maupun serat karbon fiber.

Produksi kaki palsu KKD juga terkenal oleh para atlet difabel di Bandung.

Komunitas menilai makna perhelatan Peparnas XV yang akan digelar pada 15-24 Oktober 2016 sebagai ajang kompetisi olahraga tidak menjadi halangan bagi difabel untuk berprestasi.

Salah satu atlet pengguna produk KKD yaitu Tanthy Trisantina (41), yang saat itu mempercayakan servis kaki palsunya yang rusak kepada komunitas itu.

Tanthy merupakan atlet difabel tenis lapangan yang membela Jawa Barat dalam Peparnas XV di Kota Bandung.

Menurut Tanthy, kelompok difabel seperti KKD memberi semangat tersendiri bagi difabel lainnya untuk bisa bangkit dan ikut berkreativitas.

Tanthy sendiri, selain sebagai atlet tenis lapangan, juga berprofesi sebagai wirausahawan bidang pakaian muslim wanita.

Wanita yang memiliki dua putri itu mengaku mengalami difabel sejak umur tiga tahun.

"Difabel itu jangan pantang menyerah. Kita bisa ko seperti orang normal, bahkan lebih bagus kemampuannya," kata Tanthy yang produknya telah menyebar di sejumlah kota besar di Indonesia dengan merk "Thyzee".



Jangan Manjakan Difabel

Komunitas difabel menyarankan warga untuk tidak memanjakan para penyandang difabel dengan memberikan sedekah kepada mereka yang berada di jalanan menjadi pengemis.

Jon menjelaskan jika hal itu terus dilakukan maka akan berdampak buruk bagi penyandang difabel karena merasa tidak mampu sehingga tidak dapat berkompetisi.

<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/xIYpgGJ-wrU" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Kendati demikian, dia juga menyayangkan masih adanya pembedaan yang dilakukan oleh personal ataupun lembaga untuk mempekerjakan difabel terutama yang mengalami amputasi.

Jon menilai jika warga difabel mengenakan kaki tiruan maka dapat mengerjakan hampir semua pekerjaan seperti orang normal.

"Ada perusahaan yang pernah mengeluarkan salah satu anggota KKD karena ketahuan difabel. Waktu itu dia pernah diajak main futsal, tapi ga mau, dan akhirnya ketahuan merembet ke atasan," ujar Jon.

Komunitas berharap kepada institusi bisnis di Indonesia untuk dapat lebih terbuka kepada warga difabel dengan tidak memandang sebelah mata penyandang cacat yang memang memiliki kemampuan akademik atau teknik yang baik.

Selain itu, KKD juga tidak memberikan produknya secara gratis kepada penyandang difabel yang melakukan aktivitas atau berprofesi sebagai pengemis.

"Percuma, untuk apa diberikan, tapi dia tetap mengemis. Bukannya mencari pekerjaan yang lebih layak, karena mereka juga sama mampu," tegas Jon.

Komunitas itu bukannya tidak membutuhkan dana untuk menjalankan usaha kecilnya. Namun mereka lebih membutuhkan bagaimana agar masyarakat dapat lebih memberdayakan atau bahkan menyetarakan warga difabel untuk dapat memiliki kesempatan berpenghasilan yang lebih baik. (*)

Pewarta: Bayu Prasetyo

Editor : Isyati Putri


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016