Antarajabar.com - Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat memiliki kreativitas dalam tata boga yang siap memuaskan pecinta kuliner baik dari domestik maupun mancanegara.

Kota Kembang dinilai memiliki kemampuannya sendiri dalam meroketkan makanan-makanan unik, baik kuliner ringan maupun kudapan berat yang tentu saja dikelola oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan skala industri.

Sektor UMKM yang melegenda dan masih mempertahankan proses pembuatan kuliner secara tradisional salah satunya adalah "peuyeum" (tape) singkong di Kabupaten Bandung.

Secara turun-temurun, usaha pengrajinan peuyeum Sari Legit yang dikelola oleh sekumpulan keluarga di Cimenyan, Kabupaten Bandung masih terus bergulir hingga saat ini.

Cimenyan memang menjadi salah satu daerah penyuplai peuyeum di Kota Bandung seperti yang banyak ditemui di kawasan wisata belanja Cihampelas, Pasar Baru, Jalan RE Martadinata dan Pasar Kosambi serta tempat wisata lain.

Usaha yang dirintis turun temurun sejak lama menjadikan peuyeum singkong sebagai makanan khas yang begitu dikenal oleh masyarakat luar Bandung sebagai oleh-oleh jika berkunjung ke Kota Kembang itu.

Tatang Ridwan (57) sebagai generasi kedua pengrajin peuyeum mengatakan usaha yang dijalankannya dapat memproduksi sekitar 90 kilogram tape singkong per hari.

Keuntungan yang didapat Tatang yaitu sekitar Rp100.000-Rp300.000 per harinya.

Perhelatan PON XIX di Jawa Barat juga mendatangkan peningkatan produksi peuyeum buatan Tatang yang dijual olehnya per kilogram Rp8.000.

Pada perhelatan olahraga itu, Bupati Bandung Dadang M Naser juga memberi kesempatan pameran usaha kecil dan kuliner tradisional untuk dijajakan di sekitaran Stadion Jalak Harupat, Soreang, termasuk kuliner hasil usaha Tatang.

Tatang bersyukur bisnisnya dapat mewakili kuliner oleh-oleh khas Kota Bandung yang dibuat secara tradisional menggunakan resep turunan.

Saat Antara berkunjung ke sentra pengrajin peuyeum Cimenyan, Bandung pada Rabu (21/9), Tatang dan saudara serta istrinya sedang "asyik" berberes di tempat perebusan singkong yang berada di belakang rumah.

Pemasakannya masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar karena memberikan kualitas hasil rebusan yang berbeda jika menggunakan gas.

Kendati asap bakaran kayu yang membumbung kadang memerihkan mata, namun Tatang tetap terlihat santai memeriksa bara kayu di dalam tungku agar tetap menyala.

Setelah perebusan usai dilakukan, Tatang meniriskan puluhan kilogram singkong itu di sebuah "bale bambu" untuk didinginkan dan ditaburi ragi.

"Pernah ada bantuan dikasih gas, tapi hasilnya kurang maksimal. Jadi lebih baik yang tradisional saja," kata Tatang.

Singkong yang dijadikan bahan baku pembuatan tape tidak boleh sembarang jenis, melainkan singkong mentega yang memiliki warna daging umbi kekuningan.

Untuk mendapatkan bahan baku, Tatang mengatakan kadang mengalami kesulitan pada saat singkong tidak sedang menghasilkan umbi dengan bagus.

Selain kendala bahan baku, Tatang mengaku kesulitan mendapatkan sumber daya manusia yang masih berminat meneruskan kerajinan pembuatan peuyeum tersebut.

Bahkan, ujar Tatang, putranya sendiri kurang berminat untuk meneruskan usaha turun temurun ayahnya.

"Mungkin namanya usaha seperti ini, jadi pengrajin tape `home industry` masih sulit ada kemauan. Itu yang dilihat di lapangan," jelas Tatang.


Kisah Haji Isan

Bagi masyarakat yang pernah melancong ke Kota Bandung pasti mengenal kudapan yang berjuluk batagor atau baso tahu goreng.

Makanan yang berbahan dasar tahu, tepung kanji, ikan tenggiri dan dicampur bumbu kacang itu juga tersohor berasal dari kota Bandung.

Banyak gerai yang menjual makanan yang "sekeluarga" dengan siomay itu, salah satunya batagor H Isan.

Isan, mengawali usahanya pada 1968 sebagai penjual baso tahu goreng.

Dia menemukan kesulitan ketika dagangan baso tahu kukusnya tidak laku karena keesokan harinya menjadi basi.

Setelah mencari cara dengan menggoreng baso tahu yang tidak terjual dan membagikannya ke tetangga sekitar hingga akhirnya tersohor dengan batagor.

Pengelola batagor H Isan di gerai pusat Bojongloa, Nano Ardianto, mengatakan saat ini usahanya mempekerjakan 34 orang di tiga cabang besar termasuk di Cikawao dan Ciateul.

Isan, ujar Nano, pernah berpesan kepada Nano bahwa usahanya tidak perlu mengejar banyak untung, namun lebih mengutamakan kuantitas dan kualitas.

"Suatu saat pernah mengobrol bahwa batagor Isan ini kita harus komitmen pada resep, kepada pelayanan, tidak usah besar sekali mencari untung yang penting bisa laku banyak dan makanya sampai sekarang masih boleh dikatakan harga kaki lima," kata Nano kepada Antara.

Dengan harga Rp3000 per batagor, Isan menyajikan batagornya dengan kesahajaan tradisi menggunakan "besek" atau wadah bambu.

Dengan pamor batagor H Isan yang terus menanjak, banyak pengusaha kuliner sejenis yang menggunakan nama serupa untuk meraih kesempatan bisnis, bahkan di luar Kota Bandung.

Nano mengaku nama batagor H Isan sudah dipatenkan dan usahanya tidak membuka cabang di luar Kota Kembang. Penjualan batagornya pun selalu mengalami kenaikan rata-rata 2 persen setiap tahunnya.

Pada saat akhir pekan, batagor H Isan dapat menjual sekitar 8.000 batagor, sementara pada hari biasa sebanyak 5.000-6.000 batagor.

Haji Isan telah wafat pada 2010 dan bisnisnya sekarang diteruskan oleh kerabat keluarga.

Namun, kebersahajaan dan kesederhanaan bisnis batagor H Isan tetap dipegang teguh oleh penerusnya dengan menjaga cita rasa yang berkualitas namun dengan harga "merakyat".


Rambah Asia Tenggara

Satu lagi kudapan ringan dari Bandung berbahan dasar singkong, keripik Maicih, yang bisnisnya telah menasional dan sedang menuju tingkat regional.

Awal mula bisnisnya, Reza "Axl", sebagai pendiri Maicih, memulai usahanya hanya dengan keripik singkong berbumbu tradisional dengan cita rasa pedas.

Namun, seiring dengan perkembangan usaha, Maicih berinovasi dengan menambah jenis kudapan yaitu basreng atau baso goreng, seblak, gurilem, dan dua varian baru yaitu makaroni serta keripik rasa udang.

Dalam satu hari, untuk jenis keripik singkong saja, Maicih bisa memproduksi 300 kantong besar dengan isi masing-masing sebanyak 25 bungkus.

Maicih membutuhkan singkong dengan rata-rata 3-5 ton sehari untuk membuat keripik pedas.

Keripik Maicih menyediakan tiga varian tingkat kepedasan yaitu 3, 5 dan 10 dengan rasa pedas yang semakin besar angkanya maka makin pedas bagi para Icihers atau sebutan bagi pehobi Maicih.

Axl mengatakan pengembangan bisnisnya sudah merambah pasar internasional antara lain ke Singapura, Malaysia, Jepang, Dubai bahkan Australia.

Tidak hanya cukup di situ, Axl menjelaskan usahanya akan segera memproduksi keripik singkong Maicih di Negeri Jiran, Malaysia.

Dia berharap dengan pembangunan pabrik di Malaysia, Maicih dapat memperluas bisnis ke negara-negara lain dengan jangkauan yang lebih luas.

Reza menjelaskan upayanya menyebarkan kudapan itu karena percaya pasar keripik pedas tradisionalnya akan tetap potensial di masyarakat Indonesia.

"Satu lagi di Malaysia dengan harapan selain produk kita `fast moving`, tapi bisa juga dikembangkan seperti bola salju yang terus menggelinding," ujar Reza yang menambahkan saat ini Maicih telah bisa didapatkan di sejumlah gerai retail nasional.

Kuliner di Kota Kembang memang beragam dan berpotensi menghasilkan kreativitas-kreativitas baru yang dapat dituangkan baik secara tradisional maupun modern.

Diharapkan dengan kemajuan zaman, masyarakat dan pengrajin kuliner khas tetap dapat menjaga boga yang bernilai tradisi di tengah arus budaya "kuliner barat" yang menjelma melalui sistem "franchise" dan mengisi setiap "pengkolan" jalan di kota besar Indonesia. (*)

Pewarta:

Editor : Isyati Putri


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016