AntaraJabar.com - Politik dalam negeri Australia saat ini sedang berada di masa yang bergeliat, tak lain karena ini adalah masanya kampanye di mana setiap politisi berusaha membangun opini agar mendapat dukungan dari publik.

    Kampanye 56 hari dimulai pada awal Mei dan ini akan menjadi masa kampanye terpanjang menyamai kondisi di tahun 1960-an. Pemilu federal yang akan digelar pada 2 Juli memperebutkan total 150 kursi anggota “House of Representatives”/DPR dan 76 kursi senator. 

    Salah satu dinamika yang patut dicermati di pekan kedua kampanye adalah pernyataan Menteri Imigrasi Peter Dutton soal pengungsi.

    Partai Hijau mendesak agar kuota tahunan penerimaan pengungsi naik menjadi 50.000 orang per tahun. Sementara Partai Buruh mengusulkan agar kuota naik secara bertahap menjadi 27.000 per tahun dalam satu dekade ke depan. Saat ini, kuota penerimaan pengungsi adalah 13.750 per tahun dengan tambahan 12.000 khusus dari Suriah dan Irak diumumkan PM Tony Abbott tahun lalu. Pemerintah berjanji meningkatkan kuota 18.750 di tahun 2019.

    Dutton dalam sebuah wawancara radio, Rabu (18/5), menanggapi semua usulan itu dengan menuduh mayoritas pengungsi buta huruf dan buta angka dalam bahasanya sendiri, apalagi Bahasa Inggris. 

    Tuduhan Dutton tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan, "Orang-orang ini akan merebut lapangan kerja di Australia, itu sudah pasti! Dan banyak dari mereka yang akan menjadi pengangguran, mereka akan merana di antrian (sebagai) pengangguran dan di antrian Medicare (asuransi kesehatan-red) dan sebagainya. Jadi jelas biayanya akan sangat besar," ujar Dutton.

    Memahami sensitifnya tuduhan sang menteri, buru-buru PM Turnbull, Menteri Luar Negeri (Menlu) Julie Bishop, dan beberapa politisi Partai Liberal kompak mendukung Dutton. Mereka sepakat bahwa biaya relokasi pengungsi di Australia memang sangat tinggi dan adalah wajar bila pengungsi yang datang dari daerah konflik kebanyakan buta huruf. 

    Di mata Turnbull, Dutton adalah "menteri yang luar biasa" karena selama 600 hari terakhir tidak ada satu pun kapal pengungsi yang mendarat di pantai Australia. 

    Sementara Julie Bishop menyebut pernyataan Dutton adalah fakta yang tak terbantahkan soal mahalnya biaya relokasi pengungsi, dan pemerintah tidak ingin mereka cuma jadi pengangguran bila sudah berada di Australia. 

    Tapi apakah tuduhan Dutton berdasar kepada fakta? Ataukah ini tak lebih dari politik rasa takut yang digembor-gemborkan semata untuk mencari popularitas? 

    Berdasarkan sebuah laporan yang dirilis Departemen Layanan Sosial di tahun 2011, "75 persen pengungsi yang masuk ke Australia dengan visa kemanusiaan adalah lulusan SMA, dan 35 persen di antaranya memiliki kualifikasi sarjana."

    Data terbaru yang menelaah 2.300 pengungsi yang tiba di Australia tahun 2013-2014 menyebutkan 44 persen perempuan dan 33 persen laki-laki tidak bisa berbicara dalam Bahasa Inggris. Selain itu, 23 persen perempuan dan 17 persen pengungsi buta huruf di bahasanya sendiri. Namun setelah tinggal setahun hingga lima tahun di Australia, hampir separuh responden mengaku sudah bisa berbicara dalam Bahasa Inggris dengan baik.

    Survei di tahun 2014 juga menemukan 20 persen perempuan dan 13 persen laki-laki tidak pernah sekolah, angka ini kontras bila dibandingkan dengan data tahun 2010 di mana 61 persen responden adalah lulusan minimal SMA.

    Lalu bagaimana dengan tuduhan Dutton tentang pengungsi yang bakal banyak jadi pengangguran?

    Laporan tahun 2010 menunjukkan bahwa 24,1 persen pengungsi yang tiba di Australia telah mendapat pekerjaan. Sebanyak 20,4 persen menempuh pendidikan penuh waktu, dengan 10,1 persen dari responden merupakan mereka yang menggabungkan bekerja dan belajar.

    Sebanyak 1,6 persen pengungsi bahkan membuka lapangan pekerjaan baru dengan bisnis mereka, sementara angka pengangguran yang aktif mencari pekerjaan adalah 11,3 persen.

    Tren angka pengangguran di tingkat nasional dalam setahun hingga April 2016 menunjukkan penurunan 0,4 persen ke titik 5,7 persen, dengan jumlah pekerja mencapai 11,9 juta orang.

    Terkait dengan biaya relokasi pengungsi di Australia yang disebut-sebut membebani para pembayar pajak sebanyak 100 juta dolar per tahun, tes data oleh "The Conversation" menemukan kalkulasi itu tidak pernah jelas sumbernya. Lebih lanjut, terdapat 26.000 orang pengungsi dengan perahu sejak 13 Agustus 2012 yang tidak diperkenankan bekerja setelah dibebaskan dari pusat detensi, dan hidup mereka bergantung kepada dana bantuan Centrelink.

Keji dan Jahat

    Senator dari Partai Hijau, Sarah Hanson-Young, menyebut komentar Menteri Imigrasi sebagai hal yang "keji dan jahat" karena memamerkan cara berpikir Partai Liberal melihat orang-orang yang mencari perlindungan ke Australia.

    Kecaman serupa datang dari pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten, yang menyebut tudingan Dutton "sangat memecah belah dan ofensif", mirip dengan strategi politisi Pauline Hanson berkampanye.

    Australia adalah negeri yang sangat erat dengan sejarah migrasi, Shorten menegaskan, "Ketika Peter Dutton menghina pengungsi, ia menghina orang Australia." 

    "Ada ratusan ribu pengungsi di Australia. Mereka bekerja dengan keras, mereka mendidik diri mereka dan anak-anak mereka, dan mereka jelas akan menggeleng-gelengkan kepala mendengar pernyataan menteri ini," ujar Chris Bowen, menteri keuangan pihak oposisi.

    Seorang warga Lakemba, Moses, menilai pernyataan Dutton sangat tidak masuk akal. "Sebagai migran, saya menunggu empat tahun untuk akhirnya sampai di sini," ujarnya di laman ABC.

    Sementara itu, kelompok advokasi pengungsi dan keadilan sosial, Edmund Rice Centre, mendesak agar Turnbull "menjewer" Dutton yang sudah melampaui batas.

    Menurut Direktur Edmund Rice Centre, Phil Glendenning, tudingan Dutton tak lebih dari penyebutan yang paling rendah di masyarakat, yaitu prasangka dan fanatisme.

    "Tak hanya komentar Dutton itu tidak akurat, tapi sangat ofensif terhadap ratusan ribu migran yang datang ke sini selama beberapa generasi," kata dia dikutip Guardian.

    Ia pun mengungkapkan pernyataan Dutton yang sebetulnya kontradiktif, "Bila memang pengungsi itu kebanyakan buta huruf, buta angka, dan mengantri sebagai pengangguran, bagaimana mungkin mereka 'merampas pekerjaan orang Australia'?"

    
*) Penulis adalah jurnalis Antara yang sedang menempuh pendidikan doktoral ilmu politik dan hubungan internasional di University of Western Australia, Perth.


Pewarta: Ella Syafputri Prihatini*)

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016