Pembangunan ekonomi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama satu dekade terakhir telah mengalami perubahan cukup signifikan, terutama dengan fokus yang tidak lagi hanya terpusat di Jawa. Namun, sejauh mana capaian tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa struktur perekonomian Indonesia telah mulai bergeser. Data triwulan I-2014 atau sebelum Jokowi menjabat, Pulau Jawa dan Sumatera mendominasi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, dengan Jawa memberikan kontribusi sebesar 58,52 persen dan Sumatera 23,88 persen.

Sementara itu, Kalimantan berkontribusi 8,45 persen, Sulawesi 4,72 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,48 persen. Kontribusi terkecil berasal dari kelompok provinsi di Pulau Maluku dan Papua, yakni sebesar 1,95 persen.

Menjelang akhir pemerintahan Jokowi, pada triwulan I-2024 menunjukkan--meskipun Jawa masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB dengan persentase 57,70 persen--, kontribusi Sumatera turun menjadi 21,85 persen, dan Kalimantan 8,19 persen.

Sebaliknya, kontribusi wilayah Indonesia tengah dan timur meningkat, dengan Sulawesi mencatatkan kontribusi sebesar 6,89 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,75 persen, serta Maluku dan Papua 2,62 persen.

Peningkatan kontribusi wilayah luar Jawa ini sejalan dengan data investasi yang masuk. Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi yang masuk ke luar Jawa bahkan melampaui investasi di Jawa.

Pada triwulan I-2024, sebaran investasi ke luar Jawa mencapai Rp201 triliun (50,1 persen dari total investasi), sedangkan investasi di Jawa senilai Rp200,5 triliun (49,9 persen).

Sulawesi Tengah, salah satu provinsi penghasil nikel terbesar, bahkan mencatatkan investasi terbesar sebesar Rp27 triliun.


Pembangunan infrastruktur

Pergeseran struktur perekonomian itu juga tak terlepas dari pembangunan infrastruktur yang selama satu dekade ini menjadi gencar dilakukan Pemerintah.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan kerap menyampaikan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk efisiensi biaya logistik hingga sebagai konektivitas antarwilayah.

Presiden meyakini kehadiran infrastruktur dapat membuat biaya logistik lebih efisien sehingga akan turut meningkatkan daya saing Indonesia dalam berkompetisi dengan negara lain. Pembangunan infrastruktur juga diyakini dapat menumbuhkan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru.

Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan secara besar-besaran sejak 2014 tersebut pun membuat daya saing Indonesia meningkat. Dalam IMD World Competitiveness Ranking bidang infrastruktur, peringkat Indonesia naik dari 54 pada 2014 menjadi peringkat ke-27 saat ini.

Pemerintah telah menetapkan 204 proyek dan 13 program dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Sejak 2016 hingga semester II-2023, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mencatat penyelesaian 190 PSN dengan estimasi nilai investasi Rp1.514 triliun

PSN tersebar di 14 sektor, dengan proyek terbanyak di sektor jalan (48 proyek), bendungan dan irigasi (56 proyek), kereta api (13 proyek), energi (17 proyek), pelabuhan (15 proyek), sanitasi dan air bersih (9 proyek), serta bandara (7 proyek).

Berdasarkan laporan semester II-2023 KPPIP, sebaran proyek infrastruktur dan program PSN masih terpusat di Jawa dan Sumatera, yakni 79 proyek di Jawa dengan total investasi Rp1.288,4 triliun dan 40 proyek di Sumatera dengan total nilai investasi Rp611,83 triliun.

Kemudian, PSN di Sulawesi sebanyak 27 proyek dengan nilai investasi Rp1.170,36 triliun, PSN di Bali dan Nusa Tenggara dengan 20 proyek dengan nilai investasi Rp58,6 triliun, 13 proyek di Kalimantan dengan nilai investasi Rp205,76 triliun, dan 17 proyek di Maluku dan Papua dengan nilai investasi Rp945,16 triliun.

Di bidang transportasi, beberapa yang telah dibangun adalah kereta api Makassar-Parepare, Kereta Api Express Soekarno-Hatta-Sudirman, MRT Jakarta, LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, dan LRT Sumatera Selatan, serta Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, Bitung, dan Patimbang.


“Pembangunan infrastruktur transportasi di daerah-daerah, baik bagian barat maupun timur Indonesia untuk memastikan konektivitas antarwilayah bahkan hingga ke pelosok pegunungan, dapat terjalin dengan baik," ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, akhir bulan lalu.

Menhub mengakui pembangunan sektor transportasi selama kurun waktu 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dihadapkan dengan sejumlah tantangan, yakni perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan polusi, kelangkaan sumber daya, dan pandemi COVID-19.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal kepada ANTARA mengakui bahwa pembangunan infrastruktur yang masif dalam satu dekade terakhir adalah capaian yang luar biasa, mengingat kondisi infrastruktur Indonesia sebelum era Jokowi sangat terbatas.

Upaya pembangunan, terutama di luar Pulau Jawa, telah berkontribusi besar dalam mengurangi kesenjangan infrastruktur yang selama ini menjadi permasalahan utama

Meskipun pembangunan di luar Jawa telah mengalami percepatan, infrastruktur yang dibangun belum diikuti dengan pertumbuhan pusat-pusat ekonomi di daerah. Hal ini menyebabkan potensi daerah di luar Jawa untuk tumbuh secara mandiri masih terbatas.

Selain itu, dampak industrialisasi, khususnya melalui program hilirisasi, masih belum optimal. Program hilirisasi yang baru berjalan dalam 5 tahun terakhir dan terfokus pada sektor pertambangan serta komoditas tertentu, belum mampu memberikan nilai tambah secara signifikan

Sektor industri pertumbuhannya masih sekitar 4 persen per tahun, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. "Artinya, masih menyerupai fenomena atau mendekati parameter deindustrialisasi,” ucap Faisal.


Kesejahteraan masyarakat

Pembangunan smelter dan hilirisasi di Sulawesi, Maluku, dan Papua telah mendorong peningkatan investasi, khususnya di daerah penghasil komoditas pertambangan.


Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, yang merupakan penghasil nikel terbesar, mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2023, masing-masing sebesar 20,49 persen dan 11,91 persen.

Maluku Utara dan Sulawesi Tengah saat ini menjadi magnet bagi investor karena dua provinsi tersebut merupakan penghasil nikel terbesar di Indonesia.

Kontribusi sektor pertambangan nikel terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dilihat dari besarnya aliran investasi asing langsung (FDI) yang masuk. Pada 2023, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah menjadi tujuan utama investasi asing, terutama di sektor pertambangan.

Indonesia menerima sekitar 50 miliar dolar AS FDI pada 2023. Tiga provinsi penerima FDI terbesar adalah Jawa Barat dengan 8,3 miliar dolar AS, Sulawesi Tengah dengan 7,2 miliar dolar AS, dan Maluku Utara dengan 5,0 miliar dolar AS.

Meskipun investasi yang masuk sangat besar, tingkat kemiskinan masyarakat di daerah tersebut belum turun secara signifikan. Idealnya, peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dibarengi dengan peningkatan indikator kesejahteraan masyarakat setempat.

Data BPS menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di Sulawesi serta Maluku dan Papua selama 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin mencapai 9,03 persen secara nasional, dengan tingkat kemiskinan di Sulawesi 9,59 persen, Maluku dan Papua 19,39 persen, Sulawesi Tengah 11,77 persen, dan Maluku Utara 6,32 persen.

Sebagai perbandingan, pada Maret 2014, persentase penduduk miskin adalah 11,25 persen. Tingkat kemiskinan terbesar berada di Maluku dan Papua (23,15 persen), sementara di Sulawesi 11,71 persen, dengan Sulawesi Tengah 13,93 persen dan Maluku Utara 7,30 persen.


Faisal mengatakan pembangunan ekonomi yang semakin merata dapat menggerakkan perekonomian daerah, salah satunya melalui penyerapan tenaga kerja.

Namun, ia menekankan perlunya upaya lebih untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja.

Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan agar dapat mendukung proyek investasi yang masuk ke daerah. Program pelatihan harus terhubung dengan investasi yang ada sehingga tenaga kerja lokal dapat langsung terserap oleh industri.

Namun, dalam praktiknya, hal ini jarang terjadi. Akibatnya, banyak proyek investasi, seperti pembangunan smelter, lebih banyak menyerap tenaga kerja dari luar daerah.

“Sebetulnya ada banyak program pelatihan seperti Kartu Prakerja, tetapi program ini berjalan sendiri-sendiri dan tidak terhubung dengan investasi yang masuk,” ujar Faisal.

Jika mau membangun pabrik di Jawa Timur, misalnya, supaya bisa menyerap tenaga kerja lokal maka tenaga kerjanya harus disiapkan. Persiapan berarti harus ada training dulu, atau pusat pelatihan atau lembaga pendidikan yang kurikulumnya sesuai dengan investasi yang akan dibangun sehingga ketika mereka sudah lulus dari lembaga pendidikan, bisa langsung diserap oleh industri.

Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia-sentris dan menciptakan pertumbuhan yang lebih merata, perlu adanya sinergi yang lebih terarah antara pembangunan infrastruktur, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Oleh karena itu, Pemerintah dan pemangku kepentingan harus terus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap pembangunan infrastruktur maupun proyek investasi tidak hanya meningkatkan perekonomian regional, tetapi juga secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Editor: Achmad Zaenal M



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Capaian 10 tahun pemerintahan Jokowi dan cita-cita Indonesia-sentris

Pewarta: Shofi Ayudiana

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024