Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova menyatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan hari ini, disebabkan peningkatan kekhawatiran resesi global seiring dengan kenaikan suku bunga acuan dari sejumlah negara.

"Potensi resesi global sudah di atas 50 persen. Selain tren kenaikan suku bunga, juga pertumbuhan China yang belum cukup kuat," ujar dia, di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, ke depan rupiah masih akan tertekan dolar AS, karena rencana kenaikan suku bunga The Fed bulan depan.

"Rupiah masih akan tertekan seiring dengan spread suku bunga BI (Bank Indonesia) dan The Fed yang semakin menipis," ujarnya lagi.

Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menyatakan rupiah tertekan oleh penguatan dolar AS pasca Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve (Fed) Jerome Powell mengatakan kenaikan suku bunga oleh The Fed belum mendekati akhir.

"Testimoni kedua Powell lebih tegas dan hawkish. Investor melihat harapan untuk pelonggaran kebijakan tingkat suku bunga oleh bank-bank sentral semakin menjauh," kata Lukman pula.

Menurut dia, harapan investor yang semakin jauh terkait kebijakan tingkat suku bunga dikarenakan inflasi pada umumnya masih bertahan tinggi. "Adapun dalam kasus The Fed, mereka melihat inflasi inti yang menurun sangat pelan dan masih di atas 5 persen," ujar dia.

Selain itu, Lukman menilai adanya divergensi antara BI dengan bank sentral dunia lainnya yang kembali pada tren kenaikan suku bunga. Hal ini dinilai akan terus membebani rupiah.

Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,39 persen atau 58 poin menjadi Rp14.998 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.940 per dolar AS.

Sepanjang hari, rupiah bergerak dari Rp14.978 per dolar AS hingga Rp15.007 per dolar AS.
Redenominasi rupiah

Sementara itu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku siap melakukan redenominasi rupiah, namun masih terdapat tiga faktor yang menyebabkan pelaksanaannya belum dilakukan hingga saat ini.

Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.

"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain, tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya," ucap Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bulan Juni 2023 di Jakarta, Kamis.

Kendati demikian, hingga saat ini Bank Sentral belum menemukan waktu yang pas untuk melaksanakannya. Adapun terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut.

Perry membeberkan, faktor pertama yakni kondisi makroekonomi. Saat ini, kondisi makroekonomi Indonesia memang sudah membaik dan pulih, tetapi masih terdapat potensi dampak rambatan (spillover) dari ekonomi global yang masih dirundung ketidakpastian.

Ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.

Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sebesar 2,7 persen pada tahun ini, dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Analis: Rupiah lemah karena ada peningkatan kekhawatiran resesi global

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023