"Jadi, memang yang pertama, krisis pangan ini menjadi ancaman, karena apa, karena faktor perubahan iklim dan kedua adalah faktor geopolitik karena Rusia dan Ukraina sehingga terjadi kenaikan (harga) energi dan kenaikan harga pupuk," jelas Rektor IPB University Arif Satria di Bogor, Senin.
Arif mengemukakan memang IPB sudah menganalisis bahwa itu akan memberikan dampak kepada ketersediaan pangan di dalam negeri, khususnya bahan pokok beras kalau Indonesia tidak segera melakukan langkah-langkah kongkret untuk meningkatkan produktifitas.
"Sehingga cara yang baik untuk meningkatkan produktifitas, satu adalah teknologi varietas-varietas unggul dan IPB sudah punya 107 varietas unggul tadi saya sampaikan, untuk lahan kering, lahan sawah kita sudah bisa," katanya.
Selain itu, Indonesia sudah menghasilkan produk-produk tepung lokal sebagai substitusi gandum yang impornya semakin lama semakin meningkat.
Arif menyebut pada 2010 impor gandum dari luar negeri sekitar empat juta ton sekarang sudah hampir 10 sampai 11 juta ton. Artinya peningkatan dalam 10 tahun ini eksponensial.
"Nah, artinya apa, orang sudah beralih kepada produk impor. Sekarang tantangannya bagaimana pemerintah Indonesia ini harus memproteksi produk-produk lokal, agar produk lokal ini menjadi pilihan untuk substitusi gandum," kata dia.
Arif pun menyampaikan produk lokal yang bisa seperti gandum banyak, ada sagu, ganyong, sukun, sorgum dan banyak lainnya yang butuh sentuhan perguruan tinggi melalui peningkatan produktifitas.
Namun demikian, tidak sampai di situ, kata Arif, memang mau tidak mau produksi pangan Indonesia harus menekan angka faktor kehilangan makanan (food lost) dan sampah makanan (food waste) yang tercatat cukup tinggi.
"'Food lost' kita ini 184 kilogram per tahun per kapita. Artinya apa? Pangan yang tercecer, pangan yang dibuang menjadi sampah, bahkan menurut FHO kita ini bahkan terbesar di dunia 300 kilogram per kapita per tahun setelah Arab Saudi dengan 400 kilogram per kapita per tahun. tetapi hitungan kita (untuk Indonesia) 184 ton per kapita per tahun," ungkapnya.
Tidak presisi
Menurutnya, penyebab masalah food lost dan food waste Indonesia tinggi ialah pertama adalah contoh untuk beras, panen yang tidak presisi, sehingga gabah yang tercecer itu mencapai 11 persen, kemudian masih masuk lagi di penggilingan padi, gabah yang rusak sekian persen sehingga perlu pembenahan.
Selanjutnya yang kedua dari penggilingan padinya benar, berarti perlu ada revitalisasi penggilingan padi, maka itu akan bisa meningkatkan ketersediaan pangan secara nasional.
Dengan begitu, lanjutnya, kalau ada 11 persen tercecer kemudian menjadi hanya lima persen berarti minimal ada tambahan enam persen cadangan pangan beras Indonesia yang luar biasa.
Kemudian yang ketiga adalah perlu segera ada pendampingan petani, karena varietas baru membutuhkan teknik baru, teknologi baru membutuhkan teknologi budidaya baru dan perubahan iklim membutuhkan cara adaptasi baru.
"Jadi, saya masih optimis (masalah), pertanian kita masih bisa kita atasi dengan cara tadi (mengatasi food lost dan food waste," katanya.
Sementara itu Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN) melakukan observasi padi merah varietas unggulan produksi lokal.
"Kami meminta bantuan BRIN dalam rangka melakukan observasi plasma nutfah dengan objek sampel di Kampung Cibadak Desa Karang Indah, Kecamatan Bojongmangu," kata Kepala Bidang Pembangunan Balitbangda Kabupaten Bekasi Indra Wahyudi di Cikarang, Jumat.
Dia mengatakan proses observasi dilakukan di lahan seluas 6 hektare yang dikelola kelompok tani setempat. Peninjauan lahan padi merah ini untuk mengetahui kualitas serta ciri khas untuk kebutuhan pengembangan jenis padi varietas lokal tersebut.
"Ini baru observasi tahap awal. Diharapkan nanti ketika sudah selesai seluruh proses observasi dan keluar hasil dari BRIN, jenis padi merah tersebut punya keunggulan-keunggulan sebagai dasar untuk mendaftarkan varietas ini ke Kementerian Pertanian," katanya.
Indra mengakui hingga kini jenis padi merah di Bojongmangu ini belum memiliki nama khas. Salah satu tujuan observasi juga untuk memberikan penamaan berdasarkan koordinasi bersama antara pihaknya dengan kelompok tani serta penyuluh pertanian.
Menurut dia berdasarkan pengamatan awal, jenis padi ini memiliki keunggulan secara fisik yakni rumpun padi berkualitas sehingga mampu memiliki banyak anak serta ketinggian yang lebih dari varietas lain termasuk jenis padi Ciherang.
"Kemudian dari cita rasa nasi yang dihasilkan, jenis padi merah lokal ini terasa lebih legit atau pulen dibandingkan varietas padi lain," katanya.
Pihaknya bersama BRIN selanjutnya akan menindaklanjuti observasi awal ini dengan melakukan pengamatan tahap berikutnya yakni observasi daya hasil dengan harapan jenis padi ini bisa dilepas ke pasar sebagai hasil pertanian lokal khas Kabupaten Bekasi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: IPB miliki 107 varietas unggul padi dan tanaman pengganti gandum
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023