Tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penggelapan dana Boeing Community Investment Fund (BCIF) senilai 25 juta dolar AS yang juga mantan Presiden ACT Ahyudin, Irfan Junaedi mengatakan tidak mengajukan keberatan atas dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kliennya.

"Kita tidak mengajukan keberatan atas dakwaan dari JPU dan kita nanti langsung ke pembuktian dan saksi-saksi," kata kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penggelapan dana yang juga mantan Presiden ACT Ahyudin, Irfan Junaedi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.

Dalam persidangan yang berlangsung secara virtual tersebut, JPU mendakwa mantan Presiden ACT Ahyudin dengan Pasal 374 dan atau Pasal 372 Junto Pasal 55 KUHP terkait dengan dugaan penyelewengan dana BCIF bagi korban tragedi Lion Air pada tahun 2018.

Sebagai penjelasan, BCIF merupakan dana yang diserahkan oleh The Boeing Company atas tragedi jatuhnya Pesawat Lion Air pada 29 Oktober 2018.

Atas peristiwa tersebut The Boeing Company menyediakan dana sebesar 25 juta dolar AS sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris).

Selain itu, Boeing juga memberikan dana BCIF sebesar 25 juta dolar AS yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan, dimana dana tersebut tidak langsung diterima ahli waris namun oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk ahli waris.

Irfan mengatakan sejak awal atau proses di Bareskrim Mabes Polri banyak dugaan tindak pidana yang ditujukan kepada mantan Presiden ACT tersebut. Namun, dalam sidang perdana kliennya hanya dikenakan Pasal 374 dan Pasal 372 KUHP.
Terkait Ahyudin yang hadir secara virtual, Irfan mengatakan hal itu sepenuhnya kewenangan JPU. Namun, pada sidang berikutnya ia berharap kliennya bisa dihadirkan secara langsung di hadapan hakim.

Sidang kasus dugaan penggelapan dana di Yayasan ACT tersebut dilaksanakan secara virtual (daring) dimana terdakwa Ahyudin mengikuti persidangan langsung dari Bareskrim Polri dengan mengenakan kemeja putih.

Sidang kasus dugaan penggelapan dana ACT dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Hariyadi, Mardison dan Hendra Yuristiawan masing-masing bertindak sebagai hakim anggota.

Merujuk ke SIPP PN Jakarta Selatan, terdakwa Ahyudin merupakan pendiri, pembina, pengurus dan pengawas ACT sejak tahun 2005. Untuk memperluas kegiatannya, pada 2021 terdakwa Ahyudin membentuk Global Islamic Philantrophy berdasarkan SK Kemenkumham Nomor AHU-0001374.AH.01.08 Tahun 2021 sebagai badan hukum "perkumpulan" yang menaungi sejumlah yayasan sosial.

Terdakwa Ahyudin diketahui menjabat sebagai President Global Islamic Philantrophy, saksi Ibnu Khajar selaku Senior Vice President Partnership Network Department, saksi Novariyandi Imam Akbari selaku Senior Vice President Humanity Network Department dan saksi Hariyana bertindak sebagai Senior Vice President Operational.

Ketiga diketahui menerima gaji dengan rincian sebagai berikut. Pertama, President Global Islamic Philantrophy yang diduduki oleh Ahyudin menerima gaji Rp100 juta, Ibnu Khajar selaku Senior Vice President Partnership Network Department menerima Rp70 juta dan Hariyana mendapatkan gaji Rp70 juta, serta Novariyandi Imam Akbari memperoleh gaji Rp70 juta.

JPU menuntut Ahyudin dengan Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Sedangkan terdakwa Ibnu Khajar dan Hariyana didakwa Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kuasa hukum eks Presiden ACT tidak ajukan keberatan dakwaan JPU

Pewarta: Muhammad Zulfikar

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022