Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo telah diakui sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang sukses, tidak saja oleh lembaga pemerintah, tapi juga oleh masyarakat luas.
Pengakuan keunggulan pada Pondok Gontor ini tidaklah berlebihan. Tercatat, lembaga ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual, seperti Prof Nurcholis Madjid, akademisi, politisi, seperti Prof Din Syamsuddin (Muhammadiyah), dan ulama seperti almarhum KH Hasyim Muzadi (NU). Karena itulah, sangat wajar jika semakin banyak orang tua yang ingin menitipkan anaknya ke Pondok Gontor.
Pondok yang kemudian menjadi model atau pecontohan dari pendidikan pesantren yang maju itu, sedikit "tercoreng" dengan kasus meninggalnya salah seorang santri bernama Albar Mahdi (17), asal Palembang. Kasus kematian santri itu kini dibawa ke ranah hukum.
Saat orang tua si santri menitipkan anaknya ke pengelola pondok, si anak dalam kondisi baik dan sehat, sehingga berharap kelak kembali ke kampung halamannya juga dalam keadaan sehat dan membawa bekal ilmu agama.
Kasus yang mencuat setelah ibu dari almarhum Albar Mahdi menumpahkan perasaannya kepada pengacara terkemuka Hotman Paris Hutapea. Oleh Hotman, tangisan si ibu kemudian diviralkan di media sosial dan mendapatkan tanggapan dari polisi. Polisi kini mengusut kasus itu.
Tindakan kekerasan itu diakui oleh juru bicara Ponpes Darussalam Gontor Ustadz Noor Syahid. Pemimpin pondok telah mengambil tindakan, dengan mengeluarkan santri yang terlibat penganiayaan.
Selain dari kepolisian, kasus itu juga mendapatkan perhatian dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wapres meminta pengelola pesantren, bukan hanya di Gontor, agar menghentikan segala bentuk tindak kekerasan dalam dunia pendidikan.
Pengasuhan
Tulisan ini tidak ingin terjebak pada penghakiman mengenai praktik pendidikan di pondok pesantren, karena tidak semua lembaga pendidikan berasrama itu menganut sistem yang sama.
Ulasan ini betul-betul berangkat dari niat tulus dan bentuk kepedulian pada lembaga pendidikan berbasis keagamaan itu agar tidak lagi mengecewakan para orang tua yang menggantungkan harapan besar, yakni saat anaknya dimasukkan pondok, kelak menjadi orang yang berilmu sekaligus berakhlak mulia.
Tulisan ini juga tidak hendak menggarami lautan, dimana pengelola pondok telah memiliki pengalaman bertahun-tahun mendidik santri dan berhasil.
Hanya saja, tidak pernah ada konsep dan penerapan dari konsep itu yang sempurna. Konsep dan praktiknya meniscayakan "kelenturan" untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Karena alasan itu, maka kurikulum pendidikan setiap periode juga selalu berganti.
Menanggapi kasus kematian santri di Gontor, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur meminta lembaga pendidikan, baik di pesantren maupun umum, untuk mengevaluasi pola pengasuhan antara senior dengan yunior itu. Kasus di Gontor ini hendaknya menjadi pelajaran bersama bagi semua pesantren terkait hubungan senior-yunior.
Pola pengasuhan senior pada yunior di sejumlah pondok pesantren, bukan sekadar mendidik yunior agar mematuhi segala aturan di lembaga pesantren. Dengan tujuan melatih kepemimpinan dan tanggung jawab, biasanya para senior di sebuah pesantren ditetapkan sebagai semacam "wali asuh" bagi santri-santri yunior. Dengan sistem seperti itu, para santri dilatih memikul tanggung jawab untuk mendidik orang lain.
Para wali asuh itu biasanya dari santri yang sudah lulus pendidikan formal setingkat SMA atau santri berstatus mahasiswa. Beberapa santri senior itu ada yang tidak melanjutkan kuliah, namun masih bertahan di pondok karena mendalami kitab-kitab tertentu yang belum tuntas saat di pendidikan sebelumnya.
Sebagai pengasuh dengan kondisi kejiwaan yang belum bisa dikatakan stabil penuh, para wali asuh ini juga memikul beban dan persoalannya sendiri. Bisa jadi beban itu berasal dari tugas belajarnya untuk mendalami kitab atau materi pelajaran dari kampus. Atau sangat mungkin si senior yang pada ranah psikologi masuk ke dalam golongan remaja akhir ini, juga memikul beban jiwa dari keluarganya di kampung. Dengan beban dan kejiwaan yang masih belum mapan inilah, para senior itu berpotensi untuk "melampiaskan" bebannya pada anak-anak asuh alias yuniornya yang dinilai menyimpang.
Kekerasan itu tidak mesti berupa tindakan fisik, melainkan juga psikis, dengan memperlakukan hukuman pada yunior yang dinilai melanggar. Misalnya, si yunior dihukum dengan simbol-simbol atau tanda tertentu pada pakaiannya, sehingga mudah terbaca oleh seluruh warga pondok bahwa santri dengan simbol di pakaiannya itu telah melanggar aturan.
Praktik penghukuman seperti ini secara kejiwaan tergolong tidak sehat karena mempermalukan anak di depan umum. Hukuman seperti itu menggores luka batin bagi santri dan kelak akan menghambat pengembangan potensi si santri yunior. Selain itu, sangat mungkin si santri yunior itu menyimpan "dendam" untuk dilampiaskan kelak ketika dia sudah beralih status, dari yunior ke senior.
Karena itu, diperlukan penyiapan yang matang bagi seorang senior sebelum diberi tanggung jawab membina yunior-yuniornya. Diperlukan pemberkalan mengenai ilmu psikologi yang cukup kepada para senior bagaimana memperlakukan para yuniornya. Selain itu, diperlukan pengawasan ketat oleh dewan pengasuh dan para ustadz terhadap para senior ini dalam memperlakukan yuniornya.
Bahkan, mungkin perlu juga dibentuk lembaga semacam "provost" yang ada di lingkungan tentara, untuk mengawasi perilaku si senior. Dengan pola seperti ini, maka berlaku pengawasan berjenjang, sehingga bisa meminimalkan adanya penyimpangan "kekuasaan" atas nama senioritas di lingkungan pondok.
Pesantren besar
Tanpa mengurangi rasa hormat dan bela sungkawa serta empati pada keluarga almarhum Albar Mahdi yang menjadi korban kekerasan seniornya, semua mengakui bahwa Pondok Modern Gontor adalah lembaga besar yang sumbangsihnya bagi pengembangan sumber daya manusia di negeri sangat luar biasa.
Gontor yang bermula dari Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo pada abad Ke-18 dan didirikan oleh ulama besar Kiai Ageng Hasan Besari itu, kini telah berkembang pesat. Perkembangan itu, tentu karena animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren itu sangat besar.
Kini, Pondok Pesantren Gontor, tidak hanya ada di Ponorogo, Jawa Timur, namun juga ada di Kabupaten Ngawi, Kediri, dan Kabupaten Banyuwangi. Tidak hanya itu, untuk menampung animo masyarakat, Gontor juga membuka semacam cabang di beberapa daerah di Sumatera, dan Sulawesi.
Melihat keberhasilan pola pendidikan di Pondok Modern Gontor, tidak sedikit pondok-pondok pesantren yang awalnya masih tradisional kemudian mengadopsi model Gontor, terutama dalam penguasaan dua bahasa asing, yakni Arab dan Inggris.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pola pengasuhan sebaya dan meninggalnya santri Gontor
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Pengakuan keunggulan pada Pondok Gontor ini tidaklah berlebihan. Tercatat, lembaga ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual, seperti Prof Nurcholis Madjid, akademisi, politisi, seperti Prof Din Syamsuddin (Muhammadiyah), dan ulama seperti almarhum KH Hasyim Muzadi (NU). Karena itulah, sangat wajar jika semakin banyak orang tua yang ingin menitipkan anaknya ke Pondok Gontor.
Pondok yang kemudian menjadi model atau pecontohan dari pendidikan pesantren yang maju itu, sedikit "tercoreng" dengan kasus meninggalnya salah seorang santri bernama Albar Mahdi (17), asal Palembang. Kasus kematian santri itu kini dibawa ke ranah hukum.
Saat orang tua si santri menitipkan anaknya ke pengelola pondok, si anak dalam kondisi baik dan sehat, sehingga berharap kelak kembali ke kampung halamannya juga dalam keadaan sehat dan membawa bekal ilmu agama.
Kasus yang mencuat setelah ibu dari almarhum Albar Mahdi menumpahkan perasaannya kepada pengacara terkemuka Hotman Paris Hutapea. Oleh Hotman, tangisan si ibu kemudian diviralkan di media sosial dan mendapatkan tanggapan dari polisi. Polisi kini mengusut kasus itu.
Tindakan kekerasan itu diakui oleh juru bicara Ponpes Darussalam Gontor Ustadz Noor Syahid. Pemimpin pondok telah mengambil tindakan, dengan mengeluarkan santri yang terlibat penganiayaan.
Selain dari kepolisian, kasus itu juga mendapatkan perhatian dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wapres meminta pengelola pesantren, bukan hanya di Gontor, agar menghentikan segala bentuk tindak kekerasan dalam dunia pendidikan.
Pengasuhan
Tulisan ini tidak ingin terjebak pada penghakiman mengenai praktik pendidikan di pondok pesantren, karena tidak semua lembaga pendidikan berasrama itu menganut sistem yang sama.
Ulasan ini betul-betul berangkat dari niat tulus dan bentuk kepedulian pada lembaga pendidikan berbasis keagamaan itu agar tidak lagi mengecewakan para orang tua yang menggantungkan harapan besar, yakni saat anaknya dimasukkan pondok, kelak menjadi orang yang berilmu sekaligus berakhlak mulia.
Tulisan ini juga tidak hendak menggarami lautan, dimana pengelola pondok telah memiliki pengalaman bertahun-tahun mendidik santri dan berhasil.
Hanya saja, tidak pernah ada konsep dan penerapan dari konsep itu yang sempurna. Konsep dan praktiknya meniscayakan "kelenturan" untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Karena alasan itu, maka kurikulum pendidikan setiap periode juga selalu berganti.
Menanggapi kasus kematian santri di Gontor, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur meminta lembaga pendidikan, baik di pesantren maupun umum, untuk mengevaluasi pola pengasuhan antara senior dengan yunior itu. Kasus di Gontor ini hendaknya menjadi pelajaran bersama bagi semua pesantren terkait hubungan senior-yunior.
Pola pengasuhan senior pada yunior di sejumlah pondok pesantren, bukan sekadar mendidik yunior agar mematuhi segala aturan di lembaga pesantren. Dengan tujuan melatih kepemimpinan dan tanggung jawab, biasanya para senior di sebuah pesantren ditetapkan sebagai semacam "wali asuh" bagi santri-santri yunior. Dengan sistem seperti itu, para santri dilatih memikul tanggung jawab untuk mendidik orang lain.
Para wali asuh itu biasanya dari santri yang sudah lulus pendidikan formal setingkat SMA atau santri berstatus mahasiswa. Beberapa santri senior itu ada yang tidak melanjutkan kuliah, namun masih bertahan di pondok karena mendalami kitab-kitab tertentu yang belum tuntas saat di pendidikan sebelumnya.
Sebagai pengasuh dengan kondisi kejiwaan yang belum bisa dikatakan stabil penuh, para wali asuh ini juga memikul beban dan persoalannya sendiri. Bisa jadi beban itu berasal dari tugas belajarnya untuk mendalami kitab atau materi pelajaran dari kampus. Atau sangat mungkin si senior yang pada ranah psikologi masuk ke dalam golongan remaja akhir ini, juga memikul beban jiwa dari keluarganya di kampung. Dengan beban dan kejiwaan yang masih belum mapan inilah, para senior itu berpotensi untuk "melampiaskan" bebannya pada anak-anak asuh alias yuniornya yang dinilai menyimpang.
Kekerasan itu tidak mesti berupa tindakan fisik, melainkan juga psikis, dengan memperlakukan hukuman pada yunior yang dinilai melanggar. Misalnya, si yunior dihukum dengan simbol-simbol atau tanda tertentu pada pakaiannya, sehingga mudah terbaca oleh seluruh warga pondok bahwa santri dengan simbol di pakaiannya itu telah melanggar aturan.
Praktik penghukuman seperti ini secara kejiwaan tergolong tidak sehat karena mempermalukan anak di depan umum. Hukuman seperti itu menggores luka batin bagi santri dan kelak akan menghambat pengembangan potensi si santri yunior. Selain itu, sangat mungkin si santri yunior itu menyimpan "dendam" untuk dilampiaskan kelak ketika dia sudah beralih status, dari yunior ke senior.
Karena itu, diperlukan penyiapan yang matang bagi seorang senior sebelum diberi tanggung jawab membina yunior-yuniornya. Diperlukan pemberkalan mengenai ilmu psikologi yang cukup kepada para senior bagaimana memperlakukan para yuniornya. Selain itu, diperlukan pengawasan ketat oleh dewan pengasuh dan para ustadz terhadap para senior ini dalam memperlakukan yuniornya.
Bahkan, mungkin perlu juga dibentuk lembaga semacam "provost" yang ada di lingkungan tentara, untuk mengawasi perilaku si senior. Dengan pola seperti ini, maka berlaku pengawasan berjenjang, sehingga bisa meminimalkan adanya penyimpangan "kekuasaan" atas nama senioritas di lingkungan pondok.
Pesantren besar
Tanpa mengurangi rasa hormat dan bela sungkawa serta empati pada keluarga almarhum Albar Mahdi yang menjadi korban kekerasan seniornya, semua mengakui bahwa Pondok Modern Gontor adalah lembaga besar yang sumbangsihnya bagi pengembangan sumber daya manusia di negeri sangat luar biasa.
Gontor yang bermula dari Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo pada abad Ke-18 dan didirikan oleh ulama besar Kiai Ageng Hasan Besari itu, kini telah berkembang pesat. Perkembangan itu, tentu karena animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren itu sangat besar.
Kini, Pondok Pesantren Gontor, tidak hanya ada di Ponorogo, Jawa Timur, namun juga ada di Kabupaten Ngawi, Kediri, dan Kabupaten Banyuwangi. Tidak hanya itu, untuk menampung animo masyarakat, Gontor juga membuka semacam cabang di beberapa daerah di Sumatera, dan Sulawesi.
Melihat keberhasilan pola pendidikan di Pondok Modern Gontor, tidak sedikit pondok-pondok pesantren yang awalnya masih tradisional kemudian mengadopsi model Gontor, terutama dalam penguasaan dua bahasa asing, yakni Arab dan Inggris.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pola pengasuhan sebaya dan meninggalnya santri Gontor
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022