Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
"Psikoaktif artinya bisa mempengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental," kata Zullies dalam keterangan resmi UGM, Jumat.
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia mengatakan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Badan Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA). Misalnya, epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
"Di kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja," kata Zullies.
Zullies melanjutkan, CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Kendati demikian, untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
"Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis," paparnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM tersebut pun menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
"Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, itu tidak masalah," kata dia.
Terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengatakan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
"Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi," kata dia.
Lebih lanjut, Zullies mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, dapat digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.
"Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitu pun dengan ganja," kata Zullies.
"Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperhensif akan risiko dan manfaatnya," imbuhnya.
Fatwa MUI
Sementara itu Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kajian secara komprehensif untuk menggali perspektif keagamaan terhadap pemanfaatan tanaman ganja untuk kebutuhan medis.
"Kami mengapresiasi harapan tersebut dan akan ditindaklanjuti dengan kajian komprehensif dalam perspektif keagamaan," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu malam
Ia mengatakan MUI akan berkontribusi dalam memberikan solusi keagamaan atas dasar pertimbangan kemaslahatan umum secara holistik dalam bentuk sosialisasi fatwa yang sudah ada, penguatan regulasi, rekomendasi untuk penyusunan regulasi, atau dalam bentuk fatwa baru.
Terlebih Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa ganja termasuk jenis narkotika Golongan I yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan kesehatan, kata Asrorun Niam.
Ia mengatakan fatwa adalah jawaban keagamaan atas masalah yang muncul di tengah masyarakat. Hingga hari ini, MUI belum menerima pertanyaan maupun permohonan fatwa secara resmi dari para pihak terkait terhadap masalah penggunaan ganja untuk kepentingan medis.
Menurut Asrorun kajian itu merupakan respons MUI terhadap harapan Wakil Presiden Ma'ruf Amin kepada Bidang Fatwa MUI agar menindaklanjuti dinamika yang terjadi di masyarakat terhadap pro dan kontra pemanfaatan ganja untuk kebutuhan media dari sudut pandang fikih. Ia mengatakan dalam Islam, setiap yang memabukkan hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak.
"Ganja termasuk barang yang memabukkan. Karenanya mengonsumsi ganja hukumnya haram karena memabukkan dan membahayakan kesehatan," ujarnya.
Akan tetapi, kata Asrorun, jika ada kebutuhan yang dibenarkan secara syariah, bisa saja penggunaan ganja dibolehkan, dengan syarat dan kondisi tertentu.
"Karenanya, perlu ada kajian mendalam mengenai ihwal manfaat ganja tersebut. Kita akan kaji substansi masalah terkait dengan permasalahan ganja dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi, regulasi, serta dampak yang ditimbulkan," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cara ganja medis digunakan untuk terapi cerebral palsy
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
"Psikoaktif artinya bisa mempengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental," kata Zullies dalam keterangan resmi UGM, Jumat.
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia mengatakan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Badan Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA). Misalnya, epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
"Di kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja," kata Zullies.
Zullies melanjutkan, CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Kendati demikian, untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
"Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis," paparnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM tersebut pun menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
"Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, itu tidak masalah," kata dia.
Terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengatakan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
"Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi," kata dia.
Lebih lanjut, Zullies mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, dapat digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.
"Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitu pun dengan ganja," kata Zullies.
"Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperhensif akan risiko dan manfaatnya," imbuhnya.
Fatwa MUI
Sementara itu Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kajian secara komprehensif untuk menggali perspektif keagamaan terhadap pemanfaatan tanaman ganja untuk kebutuhan medis.
"Kami mengapresiasi harapan tersebut dan akan ditindaklanjuti dengan kajian komprehensif dalam perspektif keagamaan," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu malam
Ia mengatakan MUI akan berkontribusi dalam memberikan solusi keagamaan atas dasar pertimbangan kemaslahatan umum secara holistik dalam bentuk sosialisasi fatwa yang sudah ada, penguatan regulasi, rekomendasi untuk penyusunan regulasi, atau dalam bentuk fatwa baru.
Terlebih Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa ganja termasuk jenis narkotika Golongan I yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan kesehatan, kata Asrorun Niam.
Ia mengatakan fatwa adalah jawaban keagamaan atas masalah yang muncul di tengah masyarakat. Hingga hari ini, MUI belum menerima pertanyaan maupun permohonan fatwa secara resmi dari para pihak terkait terhadap masalah penggunaan ganja untuk kepentingan medis.
Menurut Asrorun kajian itu merupakan respons MUI terhadap harapan Wakil Presiden Ma'ruf Amin kepada Bidang Fatwa MUI agar menindaklanjuti dinamika yang terjadi di masyarakat terhadap pro dan kontra pemanfaatan ganja untuk kebutuhan media dari sudut pandang fikih. Ia mengatakan dalam Islam, setiap yang memabukkan hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak.
"Ganja termasuk barang yang memabukkan. Karenanya mengonsumsi ganja hukumnya haram karena memabukkan dan membahayakan kesehatan," ujarnya.
Akan tetapi, kata Asrorun, jika ada kebutuhan yang dibenarkan secara syariah, bisa saja penggunaan ganja dibolehkan, dengan syarat dan kondisi tertentu.
"Karenanya, perlu ada kajian mendalam mengenai ihwal manfaat ganja tersebut. Kita akan kaji substansi masalah terkait dengan permasalahan ganja dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi, regulasi, serta dampak yang ditimbulkan," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cara ganja medis digunakan untuk terapi cerebral palsy
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022