Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta Senin pagi, melemah tertekan perang yang masih berlangsung di Ukraina.
Rupiah bergerak melemah 14 poin atau 0,1 persen ke posisi Rp14.351 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.337 per dolar AS.
Baca juga: Kurs Rupiah jelang akhir pekan menguat seiring aksi tunggu pasar
"Belum ada perkembangan menuju kesepakatan damai (antara Ukraina dan Rusia)," ujar analis Pasar Uang Ariston Tjendra kepada Antara di Jakarta, Senin.
Menurut dia, perang telah memicu risiko inflasi dengan naiknya harga-harga komoditi di mana inflasi bisa menekan pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, pasar juga masih mempertimbangkan potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang agresif tahun ini.
Tingkat imbal (yield) hasil obligasi pemerintah AS telah menguat selama tiga minggu terakhir, di mana yield surat utang Negeri Paman Sam tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran 2,5 persen pada perdagangan akhir pekan kemarin.
"Level yang belum pernah disentuh sejak 6 Mei 2019," ucap dia.
Maka dari itu, kata Ariston, kenaikan tingkat imbal hasil tersebut mengindikasikan pasar berekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS akan lebih agresif tahun ini.
Pekan ini, data tenaga kerja AS yang akan dirilis bisa mendukung kebijakan kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif pada tahun ini, dengan pertimbangan tingkat inflasi yang tinggi dan data tenaga kerja yang positif.
Pada Jumat (25/3) lalu, rupiah ditutup menguat 6 poin atau 0,04 persen ke posisi Rp14.346 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.352 per dolar AS.
Untuk hari ini, mata uang Garuda diperkirakan melemah ke rentang Rp14.360 per dolar AS hingga Rp14.380 per dolar AS, dengan potensi penguatan ke arah Rp14.330 per dolar AS.
Baca juga: Kurs Rupiah menguat dibayangi kenaikan imbal hasil obligasi AS
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Rupiah bergerak melemah 14 poin atau 0,1 persen ke posisi Rp14.351 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.337 per dolar AS.
Baca juga: Kurs Rupiah jelang akhir pekan menguat seiring aksi tunggu pasar
"Belum ada perkembangan menuju kesepakatan damai (antara Ukraina dan Rusia)," ujar analis Pasar Uang Ariston Tjendra kepada Antara di Jakarta, Senin.
Menurut dia, perang telah memicu risiko inflasi dengan naiknya harga-harga komoditi di mana inflasi bisa menekan pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, pasar juga masih mempertimbangkan potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang agresif tahun ini.
Tingkat imbal (yield) hasil obligasi pemerintah AS telah menguat selama tiga minggu terakhir, di mana yield surat utang Negeri Paman Sam tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran 2,5 persen pada perdagangan akhir pekan kemarin.
"Level yang belum pernah disentuh sejak 6 Mei 2019," ucap dia.
Maka dari itu, kata Ariston, kenaikan tingkat imbal hasil tersebut mengindikasikan pasar berekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS akan lebih agresif tahun ini.
Pekan ini, data tenaga kerja AS yang akan dirilis bisa mendukung kebijakan kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif pada tahun ini, dengan pertimbangan tingkat inflasi yang tinggi dan data tenaga kerja yang positif.
Pada Jumat (25/3) lalu, rupiah ditutup menguat 6 poin atau 0,04 persen ke posisi Rp14.346 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.352 per dolar AS.
Untuk hari ini, mata uang Garuda diperkirakan melemah ke rentang Rp14.360 per dolar AS hingga Rp14.380 per dolar AS, dengan potensi penguatan ke arah Rp14.330 per dolar AS.
Baca juga: Kurs Rupiah menguat dibayangi kenaikan imbal hasil obligasi AS
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022