Jakarta (ANTARA) - Dua anggota Resmob Polda Metro Jaya, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella, melakukan sujud sebagai wujud rasa syukur setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memvonis keduanya lepas dari hukuman pidana.
Kedua polisi yang didakwa melakukan tindakan pembunuhan semena-mena atau unlawful killing terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) itu juga tampak menitikkan air mata setelah hakim membacakan putusan.
"Iya, mereka terharu karena (itu) putusan yang adil menurut mereka," kata Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Fikri dan Yusmin mengikuti sidang pembacaan putusan secara daring dari tempat penasihat hukum mereka di Jakarta, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan didampingi sejumlah pengacara.
Sementara di ruang sidang, dua pengacara dari tim penasihat hukum Fikri dan Yusmin hadir dan mendengarkan secara langsung putusan hakim di PN Jakarta Selatan, Jumat.
Usai pembacaan putusan, Henry juga mengucap syukur atas putusan majelis hakim karena menurutnya sejalan dengan pembelaan tim penasihat hukum.
"Hasilnya, Pasal 49 (KUHP) diterapkan di situ, sehingga (terdakwa) tidak dapat dipidana," kata Henry.
Pasal 49 KUHP mengatur mereka yang membela dirinya atau orang lain, meskipun itu melampaui batas misalnya sampai menyebabkan seseorang luka-luka bahkan tewas, tidak dapat dipidana. Pasal tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim saat memutuskan dua terdakwa lepas dari sanksi pidana, meskipun dakwaan primer jaksa terbukti.
Dakwaan primer jaksa adalah Briptu Fikri dan Ipda Yusmin terbukti merampas nyawa orang lain, dengan menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi, pada 7 Desember 2020. Perbuatan itu diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Majelis hakim, dalam amar putusan, menyampaikan Fikri dan Yusmin tidak dapat dipidana dan harus dilepaskan dari seluruh tuntutan karena perbuatan keduanya merupakan upaya membela diri. Pembelaan diri itu yang menjadi alasan majelis hakim membenarkan dan memaafkan perbuatan kedua terdakwa.
Ketua Majelis Hakim M. Arif Nuryanta dalam putusannya mengatakan alasan pembenaran itu menghapus perbuatan melawan hukum, yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, sementara alasan pemaaf menghapus kesalahan dua polisi tersebut.
Dengan demikian, keduanya divonis lepas dari sanksi hukum meskipun ada perbuatan melawan hukum.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga memerintahkan hak dan martabat Briptu Fikri dan Ipda Yusmin segera dipulihkan, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Pada Desember 2020, enam anggota FPI tewas tertembak polisi di dua lokasi yang berbeda, yaitu Luthfi Hakim (25), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21).
Luthfi dan Andi tewas saat anggota FPI terlibat baku tembak dengan polisi di Jalan Simpang Susun Karawang.
Sementara empat anggota FPI lainnya tewas tertembak di dalam mobil Xenia milik polisi, saat kendaraan itu melaju di Tol Cikampek KM 51+200 menuju Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, pada 7 Desember 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Kedua polisi yang didakwa melakukan tindakan pembunuhan semena-mena atau unlawful killing terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) itu juga tampak menitikkan air mata setelah hakim membacakan putusan.
"Iya, mereka terharu karena (itu) putusan yang adil menurut mereka," kata Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Fikri dan Yusmin mengikuti sidang pembacaan putusan secara daring dari tempat penasihat hukum mereka di Jakarta, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan didampingi sejumlah pengacara.
Sementara di ruang sidang, dua pengacara dari tim penasihat hukum Fikri dan Yusmin hadir dan mendengarkan secara langsung putusan hakim di PN Jakarta Selatan, Jumat.
Usai pembacaan putusan, Henry juga mengucap syukur atas putusan majelis hakim karena menurutnya sejalan dengan pembelaan tim penasihat hukum.
"Hasilnya, Pasal 49 (KUHP) diterapkan di situ, sehingga (terdakwa) tidak dapat dipidana," kata Henry.
Pasal 49 KUHP mengatur mereka yang membela dirinya atau orang lain, meskipun itu melampaui batas misalnya sampai menyebabkan seseorang luka-luka bahkan tewas, tidak dapat dipidana. Pasal tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim saat memutuskan dua terdakwa lepas dari sanksi pidana, meskipun dakwaan primer jaksa terbukti.
Dakwaan primer jaksa adalah Briptu Fikri dan Ipda Yusmin terbukti merampas nyawa orang lain, dengan menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi, pada 7 Desember 2020. Perbuatan itu diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Majelis hakim, dalam amar putusan, menyampaikan Fikri dan Yusmin tidak dapat dipidana dan harus dilepaskan dari seluruh tuntutan karena perbuatan keduanya merupakan upaya membela diri. Pembelaan diri itu yang menjadi alasan majelis hakim membenarkan dan memaafkan perbuatan kedua terdakwa.
Ketua Majelis Hakim M. Arif Nuryanta dalam putusannya mengatakan alasan pembenaran itu menghapus perbuatan melawan hukum, yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, sementara alasan pemaaf menghapus kesalahan dua polisi tersebut.
Dengan demikian, keduanya divonis lepas dari sanksi hukum meskipun ada perbuatan melawan hukum.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga memerintahkan hak dan martabat Briptu Fikri dan Ipda Yusmin segera dipulihkan, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Pada Desember 2020, enam anggota FPI tewas tertembak polisi di dua lokasi yang berbeda, yaitu Luthfi Hakim (25), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21).
Luthfi dan Andi tewas saat anggota FPI terlibat baku tembak dengan polisi di Jalan Simpang Susun Karawang.
Sementara empat anggota FPI lainnya tewas tertembak di dalam mobil Xenia milik polisi, saat kendaraan itu melaju di Tol Cikampek KM 51+200 menuju Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, pada 7 Desember 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022