Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan bahwa komoditas bahan pokok tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), kecuali daging sapi premium dan beras premium yang harganya terpaut sangat jauh dibandingkan dengan komoditas yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Yustinus mengatakan dalam diskusi daring Dampak RUU PPN Terhadap Industri Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh Pataka yang dipantau di Jakarta, Kamis, mengatakan komoditas bahan pokok hanya masuk ke dalam sistem perpajakan agar dapat terpantau secara administratif rantai pasoknya dari hulu ke hilir sehingga tercatat mulai dari distribusi hingga konsumsinya.
"Barang-barang ini masuk ke sistem PPN supaya teradministrasikan, apakah nanti akan dikenai atau tidak dikenai pajak itu diskusi berikutnya. Prinsipnya kita ingin supaya semua barang dan jasa tercatat dalam sistem PPN," kata Yustinus.
Yustinus menjabarkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) terdapat skema multi tarif yang memungkinkan pengenaan PPN mulai dari 0 persen hingga 25 persen tergantung dari jenis barang dan jasanya.
Secara umum, pemerintah menginginkan keadilan bagi masyarakat di mana barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak bisa dibebaskan atau hanya dikenakan PPN rendah, sementara barang dan jasa premium yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat ekonomi atas dikenakan pajak yang lebih tinggi.
Dia memastikan dari 11 bahan kebutuhan pokok yang terdapat dalam RUU KUP kemungkinan hanya beras dan daging sapi premium yang akan dikenakan PPN. Yustinus mengemukakan pengenaan PPN pada beras dan daging sapi premium dikarenakan disparitas harga dari komoditas tersebut yang terpaut sangat jauh dibandingkan pada harga beras dan daging sapi standar yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.
"Kalau telur, susu segar, umbi-umbian, sayur, buah kami rasa masih sama. Tapi daging terutama daging sapi itu yang jauh sekali. Kalau daging ayam, bebek dan lain-lain tidak ada persoalan, itu masih konsumsi masyarakat umum," kata Yustinus.
Yustinus juga menekankan bahwa kebijakan yang dirancang dalam RUU KUP ini pun tidak akan diterapkan dalam waktu dekat mengingat kondisi ekonomi Indonesia dalam masa pemulihan di saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Dia menyebut pemerintah saat ini berfokus pada penyiapan landasan hukumnya untuk diterapkan di kemudian hari pada saat kondisi yang tepat.
"Pemerintah tidak ingin ini sekarang, tidak. Tapi saat inilah kita punya waktu membuat payung kebijakan, landasan hukum. Penerapannya nanti bisa kita diskusikan dan kita akan perhitungkan pemulihan ekonomi pascapandemi. Tidak mungkin diterapkan dalam waktu dekat," kata Yustinus.
Baca juga: Menkeu atur ulang objek dan fasilitas PPN dalam RUU KUP
Baca juga: Survei catat 87 persen masyarakat merespons negatif wacana PPN sembako
Baca juga: Menkeu catat realisasi pungutan pajak digital Rp2,25 triliun per Juni 2021
Baca juga: Alasan pemerintah perluas objek kena PPN, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Yustinus mengatakan dalam diskusi daring Dampak RUU PPN Terhadap Industri Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh Pataka yang dipantau di Jakarta, Kamis, mengatakan komoditas bahan pokok hanya masuk ke dalam sistem perpajakan agar dapat terpantau secara administratif rantai pasoknya dari hulu ke hilir sehingga tercatat mulai dari distribusi hingga konsumsinya.
"Barang-barang ini masuk ke sistem PPN supaya teradministrasikan, apakah nanti akan dikenai atau tidak dikenai pajak itu diskusi berikutnya. Prinsipnya kita ingin supaya semua barang dan jasa tercatat dalam sistem PPN," kata Yustinus.
Yustinus menjabarkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) terdapat skema multi tarif yang memungkinkan pengenaan PPN mulai dari 0 persen hingga 25 persen tergantung dari jenis barang dan jasanya.
Secara umum, pemerintah menginginkan keadilan bagi masyarakat di mana barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak bisa dibebaskan atau hanya dikenakan PPN rendah, sementara barang dan jasa premium yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat ekonomi atas dikenakan pajak yang lebih tinggi.
Dia memastikan dari 11 bahan kebutuhan pokok yang terdapat dalam RUU KUP kemungkinan hanya beras dan daging sapi premium yang akan dikenakan PPN. Yustinus mengemukakan pengenaan PPN pada beras dan daging sapi premium dikarenakan disparitas harga dari komoditas tersebut yang terpaut sangat jauh dibandingkan pada harga beras dan daging sapi standar yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.
"Kalau telur, susu segar, umbi-umbian, sayur, buah kami rasa masih sama. Tapi daging terutama daging sapi itu yang jauh sekali. Kalau daging ayam, bebek dan lain-lain tidak ada persoalan, itu masih konsumsi masyarakat umum," kata Yustinus.
Yustinus juga menekankan bahwa kebijakan yang dirancang dalam RUU KUP ini pun tidak akan diterapkan dalam waktu dekat mengingat kondisi ekonomi Indonesia dalam masa pemulihan di saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Dia menyebut pemerintah saat ini berfokus pada penyiapan landasan hukumnya untuk diterapkan di kemudian hari pada saat kondisi yang tepat.
"Pemerintah tidak ingin ini sekarang, tidak. Tapi saat inilah kita punya waktu membuat payung kebijakan, landasan hukum. Penerapannya nanti bisa kita diskusikan dan kita akan perhitungkan pemulihan ekonomi pascapandemi. Tidak mungkin diterapkan dalam waktu dekat," kata Yustinus.
Baca juga: Menkeu atur ulang objek dan fasilitas PPN dalam RUU KUP
Baca juga: Survei catat 87 persen masyarakat merespons negatif wacana PPN sembako
Baca juga: Menkeu catat realisasi pungutan pajak digital Rp2,25 triliun per Juni 2021
Baca juga: Alasan pemerintah perluas objek kena PPN, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021