Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengatur ulang objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan fasilitas PPN dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Hal itu dilakukan karena Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengecualian PPN terbanyak di Asia sehingga Sri Mulyani akan mengurangi pengecualian dan fasilitas PPN untuk mendorong penerimaan pajak.
“Pengaturan kembali objek dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan serta tepat sasaran,” katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani menuturkan banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan pajak telah menimbulkan distorsi dan membuat potensi penerimaan pajak sulit untuk dicapai.
“Ini menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan PPN dalam negeri," ujarnya.
Kinerja PPN Indonesia hanya 63,58 persen dari total potensi yang seharusnya dapat dikumpulkan karena terdapat empat pengecualian pada kelompok barang dan 17 pengecualian pada kelompok jasa.
Kinerja PPN Indonesia tersebut berada di bawah Afrika Selatan yang mencapai 70,24 persen, Argentina 83,71 persen, Singapura 92,69 persen, dan Thailand 113,83 persen.
Ia menjelaskan penyebab rendahnya kinerja PPN Indonesia adalah adanya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN dalam negeri.
Ia mencontohkan, share sektor usaha konstruksi dan real estate pada PDB nominal 2020 adalah sebesar 14,2 persen namun share terhadap PPN lebih rendah yaitu 12,9 persen.
Kemudian sektor usaha pertanian pada 2020 memiliki share PDB nominal sebesar 14,9 persen namun share terhadap PPN hanya 1,2 persen.
“Belanja kita besar untuk sektor ini tapi kontribusinya pada penerimaan hanya Rp13,5 triliun," tegasnya.
Oleh sebab itu, pemerintah akan mengatur ulang objek-objek kena PPN sekaligus pemberian fasilitasnya dalam Revisi Undang Undang 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ia merinci barang dan jasa yang akan dikecualikan dari pemungutan PPN dalam RUU KUP meliputi barang yang sudah menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) seperti restoran, hotel, parkir, dan hiburan.
Kemudian uang emas batangan untuk cadangan devisa negara, surat berharga negara dan jasa penceramah.
Sementara barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan akan dikenai tarif PPN lebih rendah dari tarif normal.
“Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi," katanya.
Baca juga: Survei catat 87 persen masyarakat merespons negatif wacana PPN sembako
Baca juga: Menkeu catat realisasi pungutan pajak digital Rp2,25 triliun per Juni 2021
Baca juga: Alasan pemerintah perluas objek kena PPN, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Hal itu dilakukan karena Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengecualian PPN terbanyak di Asia sehingga Sri Mulyani akan mengurangi pengecualian dan fasilitas PPN untuk mendorong penerimaan pajak.
“Pengaturan kembali objek dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan serta tepat sasaran,” katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani menuturkan banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan pajak telah menimbulkan distorsi dan membuat potensi penerimaan pajak sulit untuk dicapai.
“Ini menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan PPN dalam negeri," ujarnya.
Kinerja PPN Indonesia hanya 63,58 persen dari total potensi yang seharusnya dapat dikumpulkan karena terdapat empat pengecualian pada kelompok barang dan 17 pengecualian pada kelompok jasa.
Kinerja PPN Indonesia tersebut berada di bawah Afrika Selatan yang mencapai 70,24 persen, Argentina 83,71 persen, Singapura 92,69 persen, dan Thailand 113,83 persen.
Ia menjelaskan penyebab rendahnya kinerja PPN Indonesia adalah adanya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN dalam negeri.
Ia mencontohkan, share sektor usaha konstruksi dan real estate pada PDB nominal 2020 adalah sebesar 14,2 persen namun share terhadap PPN lebih rendah yaitu 12,9 persen.
Kemudian sektor usaha pertanian pada 2020 memiliki share PDB nominal sebesar 14,9 persen namun share terhadap PPN hanya 1,2 persen.
“Belanja kita besar untuk sektor ini tapi kontribusinya pada penerimaan hanya Rp13,5 triliun," tegasnya.
Oleh sebab itu, pemerintah akan mengatur ulang objek-objek kena PPN sekaligus pemberian fasilitasnya dalam Revisi Undang Undang 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ia merinci barang dan jasa yang akan dikecualikan dari pemungutan PPN dalam RUU KUP meliputi barang yang sudah menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) seperti restoran, hotel, parkir, dan hiburan.
Kemudian uang emas batangan untuk cadangan devisa negara, surat berharga negara dan jasa penceramah.
Sementara barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan akan dikenai tarif PPN lebih rendah dari tarif normal.
“Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi," katanya.
Baca juga: Survei catat 87 persen masyarakat merespons negatif wacana PPN sembako
Baca juga: Menkeu catat realisasi pungutan pajak digital Rp2,25 triliun per Juni 2021
Baca juga: Alasan pemerintah perluas objek kena PPN, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021