Ngamprah, 12/8 (ANTARA) - Tokoh masyarakat Sunda, Acil Bimbo memandang hari ini kondisi hutan di Jawa Barat sudah rusak termasuk yang berada di TWA Tangkubanparahu.
"Ini terjadi karena pihak pengelola kawasan hutan tidak mampu menjaga ekosistem alamnya bahkan cendrung sebaliknya, kondisi ini memprihatinkan," katanya di Bandung, Kamis.
Dikatakan, bercokolnya PT GRPP di Tangkubanparahu bukti jika telah ada penghinaan keputusan menteri terhadap kewenangan di daerah.
"Tanpa ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat sebagai pemangku wilayah TWA Tangkubanparahu tapi ijin bisa keluar, dan ini artinya kita semua telah dihinakan oleh keputusan menteri," kata Acil dengan suara lantang saat menghadiri kunjungan Menhut Zulkifli Hasan, Kamis.
Menurut Acil, pihaknya menolak pengusahaan Tangkubanparahu karena sebagian dari kawasan yang akan dikelola PT GRPP itu termasuk kawasan lindung.
Apalagi, perusahaan itu akan membangun wisata terpadu termasuk resort.
Dijelaskannya, kawasan Tangkubanparahu merupakan daerah hutan lindung dan masuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU). Untuk itu, tidak sembarangan untuk melakukan pembangunan atau perubahan di kawasan tersebut karena harus memperhatikan aspek lingkungan dan kearifan lokal di wilayah tersebut.
"Saya tidak yakin bila pengalihan pengelolaan dari perhutani ke PT GRPP itu akan lebih baik bagi keutuhan kawasan tersebut. Bahkan lebih cenderung akan merusak kawasan KBU dan akan berdampak pada cekungan Bandung," ujarnya.
Seharusnya pembangunan Tangkubanparahu, sambungnya, mengacu pada konservasi alam, yang melibatkan semua unsure terkait baik perencanaan dan pelaksanaannya. Kemudian dampaknya memberikan kesejahteraan ekonomi.
"Kalau ini melihat konsep yang akan dilakukan PT GRPP, jadi Gubernur Jabar harus segera bertindak dan menghentikan proyek itu agar KBU bisa terselamatkan," paparnya.
Selain itu, Acil mengatakan, dirinya khawatir pembangunan resort di kawasan itu akan menyedot persediaan air sehingga mengurangi jatah air bagi warga Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang. Sebab, Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu terletak di dua kabupaten itu.
"Kami juga minta pemerintah provinsi Jawa Barat untuk bersikap tegas menolak kawasan lindung ini dikelola GRPP," ujarnya.
Ditambahkan Acil, saat kawasan tersebut dikelola PT Perhutani, pendapatan dari tanda masuk, setiap tahunnya mencapai Rp. 5 miliar. Sebesar 12 persen disetorkan ke Kas Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, 18 persen ke Pemerintah Kabupaten Subang dan sekian persen ke Departemen Keuangan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak.
"Setelah dikelola PT GRPP, ternyata Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Subang tidak pernah menerima sepeserpun hasil penjualan karcis masuk tersebut," katanya.***4***
(U.pso-215/B/M019/M019) 12-08-2010 18:46:35
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
"Ini terjadi karena pihak pengelola kawasan hutan tidak mampu menjaga ekosistem alamnya bahkan cendrung sebaliknya, kondisi ini memprihatinkan," katanya di Bandung, Kamis.
Dikatakan, bercokolnya PT GRPP di Tangkubanparahu bukti jika telah ada penghinaan keputusan menteri terhadap kewenangan di daerah.
"Tanpa ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat sebagai pemangku wilayah TWA Tangkubanparahu tapi ijin bisa keluar, dan ini artinya kita semua telah dihinakan oleh keputusan menteri," kata Acil dengan suara lantang saat menghadiri kunjungan Menhut Zulkifli Hasan, Kamis.
Menurut Acil, pihaknya menolak pengusahaan Tangkubanparahu karena sebagian dari kawasan yang akan dikelola PT GRPP itu termasuk kawasan lindung.
Apalagi, perusahaan itu akan membangun wisata terpadu termasuk resort.
Dijelaskannya, kawasan Tangkubanparahu merupakan daerah hutan lindung dan masuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU). Untuk itu, tidak sembarangan untuk melakukan pembangunan atau perubahan di kawasan tersebut karena harus memperhatikan aspek lingkungan dan kearifan lokal di wilayah tersebut.
"Saya tidak yakin bila pengalihan pengelolaan dari perhutani ke PT GRPP itu akan lebih baik bagi keutuhan kawasan tersebut. Bahkan lebih cenderung akan merusak kawasan KBU dan akan berdampak pada cekungan Bandung," ujarnya.
Seharusnya pembangunan Tangkubanparahu, sambungnya, mengacu pada konservasi alam, yang melibatkan semua unsure terkait baik perencanaan dan pelaksanaannya. Kemudian dampaknya memberikan kesejahteraan ekonomi.
"Kalau ini melihat konsep yang akan dilakukan PT GRPP, jadi Gubernur Jabar harus segera bertindak dan menghentikan proyek itu agar KBU bisa terselamatkan," paparnya.
Selain itu, Acil mengatakan, dirinya khawatir pembangunan resort di kawasan itu akan menyedot persediaan air sehingga mengurangi jatah air bagi warga Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang. Sebab, Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu terletak di dua kabupaten itu.
"Kami juga minta pemerintah provinsi Jawa Barat untuk bersikap tegas menolak kawasan lindung ini dikelola GRPP," ujarnya.
Ditambahkan Acil, saat kawasan tersebut dikelola PT Perhutani, pendapatan dari tanda masuk, setiap tahunnya mencapai Rp. 5 miliar. Sebesar 12 persen disetorkan ke Kas Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, 18 persen ke Pemerintah Kabupaten Subang dan sekian persen ke Departemen Keuangan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak.
"Setelah dikelola PT GRPP, ternyata Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Subang tidak pernah menerima sepeserpun hasil penjualan karcis masuk tersebut," katanya.***4***
(U.pso-215/B/M019/M019) 12-08-2010 18:46:35
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010