Bandung, 12/8 (ANTARA) - Pelaksanaan redenominasi atau penyederhanaan pecahan mata uang harus diikuti dengan pergantian nama mata uang yang untuk mencegah munculnya efek psikologis yang negatif di masyarakat.

"Berkaca dari keberhasilan redenominasi di negara lain, proses penyederhanaan pecahan mata uang itu harus diikuti penggantian nama mata uang untuk menghindari dampak psikologis yang negatif dari masyarakat," kata Ekonom Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Dr Nury Effendi dalam diskusi terbatas terkait rencana Redenominasi di Kampus Unpad Bandung, Kamis.

Menurut Nury, dampak psikologis dari masyarakat perlu menjadi pertimbangan pemerintah bila akan mengeluarkan kebijakan penyederhanaan pecahan mata uang itu.

Pasalnya, kata Nuri, masyarakat Indonesia masih memiliki trauma dengan proses senering yang dilakukan oleh pemerintah pada 1966 lalu.

Dampak psikologis tersebut, kata Nury, dapat menjadi salah satu kendala bila tidak dilakukan persiapan dan pelaksanaan edukasi terkait redenominasi kepada masyarakat.

"Masyarakat Indonesia ada trauma dengan sanering, padahal sanering berbeda dengan redenominasi. Perbedaan itu yang harus diedukasikan kepada masyarakat. Jadi kedika digulirkan isu redenominasi masyarakat kaget," katanya.

Ia menyebutkan, redenominasi yang berhasil dilakukan oleh Brazil yang mengganti nama mata uangnya. Namun Brazil yang tercatat paling banyak melakukan redenominasi di dunia itu juga pernah gagal melakukan redenominasi saat tidak melakukan perubahan nama mata uang "cruzeiro".

Namun saat dilakukan redenominasi ulang dengan pergantian mata uang 'Cruzeiro Nuvo' cukup berhasil. Dan sejak 1994 hingga sekarang mata uang Brasil adalah Real, saat ini berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Nuri Effendi yang juga Pembatu Dekan I Fakultas Ekonomi Unpas itu menyebutkan, bahwa proses redenominasi di Indonesia bukan hal yang mendesak. Bahkan tidak dilakukanpun tidak akan berdampak banyak terhadap kondisi perekonomian.

"Dengan kondisi ekonomi dan nilai mata uang saat ini, redenominasi bukan hal yang mendesak dilakukan di Indonesia. Namun bisa saja dilakukan," kata Nury.

Ia menyebutkan, secara umum inflasi tahunan secara nasional saat ini masih cukup bagus, selain itu Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) juga masih cukup stabil.

"Secara umum kondisi makro tidak ada yang mendesak dilakukan redenominasi," kata Nury.

Ia menyebutkan, perlunya belajar dari negara-negara yang pernah melakukan redenominasi, baik itu keuntungannya maupun kegagalan dari proses itu. Namun yang terpenting, kata Nuri dalam redenominasi diprasyaratkan kondisi inflasi yang stabil dan didukung oleh kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang tinggi.

"Dulu Brasil pernah gagal dalam redenominasi karena tak mampu mengendalikan inflasi dan kepercayaan masyarakat ke pemerintah rendah, namun setelah inflasi dan kepercayaan masyarakat kembali proses redenominasi di negara itu berhasil," kata Pakar Ekonomi Unpad itu.

Selain itu, pemerintah dalam hal ini BI juga harus menghitung biaya redenominasi yang angkanya cukup besar. Nury mencontohkan Republik Ghana harus mengeluarkan dana senilai Rp6,8 miliar dolar AS untuk redenominasi yang dilakukan di negeri itu.

Disamping untuk mencetak uang baru, biaya itu juga diperlukan bagi edukasi masyarakat agar siap saat dilakukan redenominasi atau penyederhanaan pecahan mata uang itu.***2***
(U.S033/B/Y008/Y008) 12-08-2010 16:56:16

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010