Praktisi kesehatan seksual dr Boyke Dian Nugraha, SpOG MARS menyampaikan sunat saat dewasa mengurangi risiko tertular penyakit menular.
"Sunat atau sirkumsisi, selain dari aspek agama dan budaya, juga ada aspek kebersihan dan kesehatan," ujar Boyke dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan pada pria yang tidak disunat, berpotensi terdapat kotoran, bakteri atau virus lainnya di sekitar kepala penisnya.
Sebab, dijelaskan, dalam kondisi normal kepala penis pria yang tidak disunat tertutup kulup atau kulit. Butuh perawatan khusus, seperti pembersihan secara berkala bagi pria yang tidak disunat.
Disampaikan Boyke, Human Papillomavirus (HPV) memicu terjadinya penyakit menular seksual (PMS). Virus ini dalam kondisi tertentu bisa memicu kanker.
Ketua PP Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) Prof. Andi Asadul Islam mengatakan terdapat beberapa metode dapat menjadi pilihan bagi pria dewasa yang ingin dikhitan, mulai dari konvensional, laser (electric couter) hingga klamp.
"Dulu awalnya sunat dengan cara konvensional. Didahului anestesi, terus dipotong. Dengan pemotongan itu banyak risiko yang bisa dihadapi saat khitan, seperti perdarahan dan infeksi yang cukup tinggi karena adanya luka terbuka," ujarnya.
Namun, kata dia, keputusan penggunaan metode khitan kembali lagi pada pasien. Metode laser, dijelaskan, menggunakan semacam lempeng besi tipis yang dipanaskan dengan listrik. Prinsipnya, sama seperti solder. Ketika ujung lempeng menyala proses pemotongan pun dilakukan.
Risiko perdarahan saat khitan, dikatakan Andi, tergantung ukuran penis. Sebab, makin besar ukuran penis, makin besar juga pembuluh darah sehingga risiko perdarahan makin besar.
Sementara metode klamp di mana prosedur dilakukan tanpa jahitan dan menggunakan semacam alat penjepit. Jika menggunakan klamp, diameter penis maksimal yang dikhitan, yakni 3,4 cm.
Baca juga: Dokter RSUI pastikan sunatan tetap bisa dilakukan saat pandemi COVID-19
Baca juga: SUNATAN MASSAL AWALI KEMERIAHAN HUT CIREBON
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Sunat atau sirkumsisi, selain dari aspek agama dan budaya, juga ada aspek kebersihan dan kesehatan," ujar Boyke dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan pada pria yang tidak disunat, berpotensi terdapat kotoran, bakteri atau virus lainnya di sekitar kepala penisnya.
Sebab, dijelaskan, dalam kondisi normal kepala penis pria yang tidak disunat tertutup kulup atau kulit. Butuh perawatan khusus, seperti pembersihan secara berkala bagi pria yang tidak disunat.
Disampaikan Boyke, Human Papillomavirus (HPV) memicu terjadinya penyakit menular seksual (PMS). Virus ini dalam kondisi tertentu bisa memicu kanker.
Ketua PP Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) Prof. Andi Asadul Islam mengatakan terdapat beberapa metode dapat menjadi pilihan bagi pria dewasa yang ingin dikhitan, mulai dari konvensional, laser (electric couter) hingga klamp.
"Dulu awalnya sunat dengan cara konvensional. Didahului anestesi, terus dipotong. Dengan pemotongan itu banyak risiko yang bisa dihadapi saat khitan, seperti perdarahan dan infeksi yang cukup tinggi karena adanya luka terbuka," ujarnya.
Namun, kata dia, keputusan penggunaan metode khitan kembali lagi pada pasien. Metode laser, dijelaskan, menggunakan semacam lempeng besi tipis yang dipanaskan dengan listrik. Prinsipnya, sama seperti solder. Ketika ujung lempeng menyala proses pemotongan pun dilakukan.
Risiko perdarahan saat khitan, dikatakan Andi, tergantung ukuran penis. Sebab, makin besar ukuran penis, makin besar juga pembuluh darah sehingga risiko perdarahan makin besar.
Sementara metode klamp di mana prosedur dilakukan tanpa jahitan dan menggunakan semacam alat penjepit. Jika menggunakan klamp, diameter penis maksimal yang dikhitan, yakni 3,4 cm.
Baca juga: Dokter RSUI pastikan sunatan tetap bisa dilakukan saat pandemi COVID-19
Baca juga: SUNATAN MASSAL AWALI KEMERIAHAN HUT CIREBON
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021