Cimahi, 16/7 (ANTARA) - Wakil Wali Kota Cimahi Eddy Rachmat mengimbau kepada perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) agar melaporkan kasus yang telah menimpanya.

Kepada wartawan di Cimahi, Jumat, Eddy mengatakan selama ini di Cimahi, keberanian warga Kota Cimahi yang menjadi korban KDRT masih terbilang minim, meskipun tak dipungkirinya telah banyak peningkatan dengan berani melaporkan sekaligus menyelesaikannya secara hukum.

"Masyarakat harus berani melakukannya, karena pemerintah akan melindungi dan sudah diatur lewat undang-undang KDRT yang dimaksudkan agar tidak ada lagi yang menjadi korban KDRT," kata Eddy.

Di Cimahi sampai saat ini kasus KDRT baru terjadi empat kali dan satu diantaranya telah divonis Pengadilan setempat.

Eddy menilai banyak perempuan korban KDRT yang enggan melaporkan kekerasan dialaminya karena ingin mempertahankan status pernikahannya. Sebab, status janda di Indonesia masih dianggap memiliki stigma yang kurang baik.

"Makanya saya harapkan kepada para korban KDRT untuk lebih berani lagi dalam mengungkapkan kekerasan yang dialaminya. Hal itu penting agar bisa menjadi pelajaran dan memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi yang menjadi korban KDRT," cetusnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRI) Dr Setyawatie Hanna menyatakan, pihaknya mencatat pada tahun 2009 sebanyak 108 kasus, 2008 sejumlah 106 kasus yang sebagian besar pelapornya berasal dari Kota Bandung. Selebihnya berasal dari Kabupaten Garut, Cimahi dan Indramayu.

"Di Jawa Barat, lima puluh persen korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sebanyak 25 persen dari jumlah tersebut merupakan anak laki-laki yang menjadi korban sodomi di sekolah ataupun di lingkungan rumahnya," katanya.

Disebutkannya, anak yang menjadi korban KDRT dan terbiasa menyaksikan kekerasan di rumahnya akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa dan wajar. Oleh karena itu, saat tumbuh menjadi dewasa, dia berpotensi menjadi seorang pelaku KDRT. Dia menegaskan, upaya pencegahan pada tingkat remaja perlu dilakukan untuk digiatkan mulai sekarang.

"Ini memprihatinkan. Kita sudah harus mulai memikirkan pencegahan, bukan cuma penanggulangan. Soalnya, kalau menimpa anak-anak, mereka bisa menjadi pelaku KDRT saat dewasa nanti," tandasnya.
Hanna mengatakan, selama ini belum pernah ada fasilitas pendampingan bagi pelaku. Perhatian pemerintah masih terfokus kepada korban KDRT. Padahal, pelaku juga seharusnya mendapat pendampingan agar perilakunya berubah dan tidak mengulangi aksi kekerasan.

"Dalam peraturan disebutkan bahwa pelaku KDRT harus mendapatkan pendampingan. Akan tetapi, tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pelaku harus melakukan perbaikan mental dan perilaku dahulu sebelum menjalani proses damai atau rujuk kembali bersama korban," ujar dia. ***1***

Pewarta:

Editor : Irawan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010