Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh mengatakan menghormati keputusan pemerintah terkait penghentian aktivitas organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI).
Ia menyatakan menghormati keputusan tersebut sepanjang dibuat untuk membawa kemaslahatan masyarakat dan tetap berada dalam koridor hukum positif yang berlaku di Republik Indonesia.
"Sebagai wujud penghormatan terhadap keputusan pemerintah, saya berharap proses pembubaran itu juga tetap dalam koridor hukum positif yang berlaku dan dengan tujuan membawa kemaslahatan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Khairul Saleh kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia yakin pemerintah pasti sudah memiliki pertimbangan yang komprehensif juga soal itu, termasuk ketika muncul pertanyaan seputar proses legal formal yang menjadi dasar dari keputusan pemerintah terhadap ormas FPI.
Untuk itu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berharap pemerintah menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang timbul karena keputusan tersebut secara transparan dan terbuka.
"Agar tidak ada kesan bahwa prosedur hukum tidak dilaksanakan dengan baik dalam prosesnya, dimana akan ada anggapan langkah pembubaran itu suatu kemunduran dan mencederai amanat reformasi dan UUD 1945, yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul," kata Khairul.
Keputusan penghentian aktivitas dan pelarangan atribut FPI ditandatangani enam pejabat setingkat menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Nasional Pencegahan Terorisme, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Kapolri.
Keputusan bersama itu kemudian diumumkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (30/12).
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut, FPI dinilai banyak melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan umum dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping secara sepihak, provokasi dan lainnya.
Kendati, FPI secara de jure telah bubar sebagai ormas sejak 20 Juni 2019.
Maka, pemerintah membuat keputusan penghentian aktivitas FPI tersebut dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Desember tahun 2014.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 tersebut, dalam pertimbangan hukum halaman 125 menyatakan, “Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan ormas tersebut ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”
Baca juga: Survei: Mayoritas publik dukung ketegasan Polri terhadap FPI
Baca juga: Tujuh poin dalam SKB larangan kegiatan FPI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Ia menyatakan menghormati keputusan tersebut sepanjang dibuat untuk membawa kemaslahatan masyarakat dan tetap berada dalam koridor hukum positif yang berlaku di Republik Indonesia.
"Sebagai wujud penghormatan terhadap keputusan pemerintah, saya berharap proses pembubaran itu juga tetap dalam koridor hukum positif yang berlaku dan dengan tujuan membawa kemaslahatan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Khairul Saleh kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia yakin pemerintah pasti sudah memiliki pertimbangan yang komprehensif juga soal itu, termasuk ketika muncul pertanyaan seputar proses legal formal yang menjadi dasar dari keputusan pemerintah terhadap ormas FPI.
Untuk itu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berharap pemerintah menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang timbul karena keputusan tersebut secara transparan dan terbuka.
"Agar tidak ada kesan bahwa prosedur hukum tidak dilaksanakan dengan baik dalam prosesnya, dimana akan ada anggapan langkah pembubaran itu suatu kemunduran dan mencederai amanat reformasi dan UUD 1945, yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul," kata Khairul.
Keputusan penghentian aktivitas dan pelarangan atribut FPI ditandatangani enam pejabat setingkat menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Nasional Pencegahan Terorisme, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Kapolri.
Keputusan bersama itu kemudian diumumkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (30/12).
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut, FPI dinilai banyak melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan umum dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping secara sepihak, provokasi dan lainnya.
Kendati, FPI secara de jure telah bubar sebagai ormas sejak 20 Juni 2019.
Maka, pemerintah membuat keputusan penghentian aktivitas FPI tersebut dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Desember tahun 2014.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 tersebut, dalam pertimbangan hukum halaman 125 menyatakan, “Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan ormas tersebut ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”
Baca juga: Survei: Mayoritas publik dukung ketegasan Polri terhadap FPI
Baca juga: Tujuh poin dalam SKB larangan kegiatan FPI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020