Berkurangnya aktivitas di luar rumah bisa jadi berdampak pada kesehatan, apalagi jika tubuh terlalu lama kurang aktivitas fisik.
Perilaku kurang gerak, atau sedentary, sudah ada jauh sebelum pandemi virus corona melanda dunia, jumlahnya diperkirakan semakin meningkat karena situasi karantina wilayah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
"Kalau dilakukan dalam waktu yang lama, waktu yang panjang, bisa menjadi gaya hidup," kata dokter spesialis kedokteran olahraga, Sophia Hage, dalam acara bincang-bincang virtual bersama Xiaomi, Senin.
Perilaku kurang gerak atau sedentary merupakan segala kegiatan di luar waktu tidur, yang hanya memerlukan sedikit energi, misalnya duduk dan menonton televisi.
Aktivitas yang tergolong sedentary bahkan menghabiskan energi lebih sedikit dibandingkan aktivitas ringan, seperti berdiri dan jalan kaki.
Perilaku kurang gerak ini akan menjadi kebiasaan, atau gaya hidup, setelah dilakukan selama enam jam atau lebih dalam durasi yang lama. Pun sedentary lifestyle, juga bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang yang rutin berolahraga setiap hari, jika kegiatannya banyak dihabiskan duduk di depan komputer, misalnya.
Sophia mengutip data dari survei IFLS dan jurnal ilmiah The Lancet Global Health, populasi di Indonesia yang tergolong kurang aktivitas fisik pada 2007 berjumlah 19,9 persen, naik menjadi 30 persen pada 2016.
Dia juga mengutip Riset Kesehatan Dasar, bahwa pada 2018 terdapat 33,5 persen populasi yang kurang aktivitas fisik pada 2018.
Sementara populasi global, terdapat 27,5 persen yang kekurangan aktivitas fisik pada 2018. Dari populasi tersebut, perempuan lebih banyak kurang gerak (28,6 persen) dibandingkan laki-laki (23,4 persen).
Kekurangan aktivitas fisik tentu akan berdampak pada kesehatan individu, jangka pendek, misalnya mengalami nyeri punggung bagian bawah dan radang otot. Dalam jangka panjang, kurang gerak bisa menyebabkan ostheoporosis dan ostheoarthritis.
Sophia mencontohkan ketika terlalu sering duduk atau berbaring fungsi otot-otot besar (paha dan punggung), yang semestinya digunakan untuk menyangga tubuh, tergantikan oleh kursi.
Akibatnya, ada penurunan penyerapan gula dan lemak di sel tubuh. Ketika dua zat tersebut tidak digunakan tubuh untuk bergerak, maka kadar gula darah dan kolesterol akan tinggi dan bisa menimbulkan masalah kesehatan lainnya jika gaya hidup ini diteruskan.
Gaya hidup kurang gerak ini juga bisa meningkatkan risiko obesitas, hipertensi dan penyakit kardiovaskular.
Perilaku kurang gerak ini tidak hanya berakibat pada kesehatan fisik, namun, juga bisa menyerang kesehatan mental. Pelaku sedentary lilfestyle berisiko tiga kali lipat mengalami gejala depresi dibandingkan mereka yang banyak bergerak.
Mereka yang kurang gerak ini juga bisa mengalami masalah finansial karena harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mengakses layanan kesehatan dan produktivitas kerja terganggu jika sering sakit.
Baca juga: Aktivitas fisik anak sangat penting saat pandemi COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Perilaku kurang gerak, atau sedentary, sudah ada jauh sebelum pandemi virus corona melanda dunia, jumlahnya diperkirakan semakin meningkat karena situasi karantina wilayah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
"Kalau dilakukan dalam waktu yang lama, waktu yang panjang, bisa menjadi gaya hidup," kata dokter spesialis kedokteran olahraga, Sophia Hage, dalam acara bincang-bincang virtual bersama Xiaomi, Senin.
Perilaku kurang gerak atau sedentary merupakan segala kegiatan di luar waktu tidur, yang hanya memerlukan sedikit energi, misalnya duduk dan menonton televisi.
Aktivitas yang tergolong sedentary bahkan menghabiskan energi lebih sedikit dibandingkan aktivitas ringan, seperti berdiri dan jalan kaki.
Perilaku kurang gerak ini akan menjadi kebiasaan, atau gaya hidup, setelah dilakukan selama enam jam atau lebih dalam durasi yang lama. Pun sedentary lifestyle, juga bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang yang rutin berolahraga setiap hari, jika kegiatannya banyak dihabiskan duduk di depan komputer, misalnya.
Sophia mengutip data dari survei IFLS dan jurnal ilmiah The Lancet Global Health, populasi di Indonesia yang tergolong kurang aktivitas fisik pada 2007 berjumlah 19,9 persen, naik menjadi 30 persen pada 2016.
Dia juga mengutip Riset Kesehatan Dasar, bahwa pada 2018 terdapat 33,5 persen populasi yang kurang aktivitas fisik pada 2018.
Sementara populasi global, terdapat 27,5 persen yang kekurangan aktivitas fisik pada 2018. Dari populasi tersebut, perempuan lebih banyak kurang gerak (28,6 persen) dibandingkan laki-laki (23,4 persen).
Kekurangan aktivitas fisik tentu akan berdampak pada kesehatan individu, jangka pendek, misalnya mengalami nyeri punggung bagian bawah dan radang otot. Dalam jangka panjang, kurang gerak bisa menyebabkan ostheoporosis dan ostheoarthritis.
Sophia mencontohkan ketika terlalu sering duduk atau berbaring fungsi otot-otot besar (paha dan punggung), yang semestinya digunakan untuk menyangga tubuh, tergantikan oleh kursi.
Akibatnya, ada penurunan penyerapan gula dan lemak di sel tubuh. Ketika dua zat tersebut tidak digunakan tubuh untuk bergerak, maka kadar gula darah dan kolesterol akan tinggi dan bisa menimbulkan masalah kesehatan lainnya jika gaya hidup ini diteruskan.
Gaya hidup kurang gerak ini juga bisa meningkatkan risiko obesitas, hipertensi dan penyakit kardiovaskular.
Perilaku kurang gerak ini tidak hanya berakibat pada kesehatan fisik, namun, juga bisa menyerang kesehatan mental. Pelaku sedentary lilfestyle berisiko tiga kali lipat mengalami gejala depresi dibandingkan mereka yang banyak bergerak.
Mereka yang kurang gerak ini juga bisa mengalami masalah finansial karena harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mengakses layanan kesehatan dan produktivitas kerja terganggu jika sering sakit.
Baca juga: Aktivitas fisik anak sangat penting saat pandemi COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020