"Anda lihat pertunjukan di saung ini, suatu saat pertunjukan angklung ini akan mendunia. Kita tunggu saja," begitu kata Udjo Ngalagena pada 1966 di hadapan para kru film dari Prancis dan Gamelar, seorang pemandu wisata Dinas Pariwisata Jawa Barat.

Kini Sang Maestro Angklung, Udjo Ngalagena, tidak usah menunggu lagi. Apa yang ia ucapkan sudah menjadi kenyataan. Cita – citanya untuk menduniakan angklung telah tercapai.

Angklung kini sudah dikenal diberbagai negara, tidak lain dan tidak bukan adalah berkat kerja keras Udjo memperkenalkan angklung ke berbagai negara dan tentunya keberadaan Saung Angklung Udjo.

Saung Angklung Udjo adalah sebuah ruang seni yang Udjo dirikan di jalan Padasuka Bandung pada tahun 1966. Saung ini merupakan bengkel produksi, tempat belalajar, sekaligus tempat pertunjukan angklung dan beberapa kesenian sunda lainnya.

Saung Angklung Udjo tidak pernah sepi dari wisatawan.

Segala kerja keras dan perjalanan hidup Udjo tertuang dalam sebuah buku biografi tentang Udjo Ngalagena berjudul "Udjo, Diplomasi Angklung" yang ditulis seorang wartawan bernama Sulhan Syafii .

"Sebenarnya saya itu sedang mempersiapkan tulisan tentang angklung, lalu saya bertemu dengan Kang Taufik (putra kesembilan Udjo), dan diminta untuk menulis tentang Pak Udjo. Kebetulan bahan-bahannya sudah ada sebagian, jadi saya teruskan," katanya.

Sulhan menuturkan, "Diplomasi Angklung" dipilih sebagai judul buku ini dikarenakan sepak terjang seorang Udjo Ngalagena yang telah mengembara ke berbagai pelosok dunia dengan angklungnya.

"Tahun 80-an, diplomasi yang dilakukan Udjo lewat memainkan musik bambu telah memberikan citra positif bagi Indonesia. Melalui musiknya, ia berhasil menggiring pemikiran para penikmat musik mengenai Indonesia yang elok dan tentram," ujar Sulhan.

Tanpa direncanakan, ternyata buku berjudul "Udjo, Diplomasi Angklung" benar-benar bisa menjadi alat diplomasi bagi disahkannnya angklung sebagai salah satu budaya asli Indonesia.

"Teryata buku ini bisa benar-benar mendiplomasi. Buku ini digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Unesco untuk mensahkan angklung sebagai budaya asli Idonesia," kata Sulhan.

Pada tahun 2009, buku itu sudah dikirimkan ke Unesco untuk menjadi bahan pertimbangan dalam sidang tahunan PBB tahun 2010 ini.

"Ya, kita tunggu saja hasilnya. Mungkin sekitar Mei baru ada. Semoga saja buku ini bisa menjadi alat diplomasi yang kuat untuk kembali menduniakan angklung sebagai salah satu budaya asli Indonesia," ujar Taufik Hidayat Udjo penuh harap.

Namun, tujuan awal dibuatnya buku ini adalah keingainan Sulhan dan Taufik Hidayat Udjo yang juga merupakan Direktur Utama Saung Angklung Udjo untuk menghidupkan kembali karakter Udjo di kehidupan sekarang.

Setelah melalui roses panjang selama empat tahun, akhirnya Sulhan berhasil mewawancarai sekitar 33 orang narasumber. Mulai dari pihak keluarga, kerabat dan murid-murid Udjo. Dari situ ia berhasil menggali berbagai informasi, termasuk dokumentasi tertulis dan foto.

Cerita para narasumber yang dituangkan Sulhan dalam buku itu menceritakan sosok Udjo yang keras, sederhana, pekerja keras, dan konsisten pada pendiriannya.

Karakter-karakter Udjo yang seperti itulah yang ingin Taufik hidupkan kembali. Ia ingin keturunan-keturunan Udjo, mulai dari anak, cucu, cicit hingga seterusnya bisa mengerti karakter Udjo sebagai pendiri Saung Angklung Udjo, seperti salah satu tulisan Udjo dalam buku agenda hariannya, "Saung Angklung ini tidak ingin hidup sesaat tetapi dari generasi ke generasi,” tulis Udjo.

"Saya ingin buku ini dijadikan acuan bagi kami dalam mengelola Saung Angklung ini. Agar kami tidak menghilangkan karakter dasar Bapak, seperti masalah gotong royong, kerja keras, optimis dan selalu mencintai lingkungan," ujar Taufik.

Di mata Taufik dan kesembilan anaknya, Udjo Ngalagena adalah sosok ayah yang keras namun juga sangat mencintai anak-anaknya.

“Bapak itu mendidik kami dengan keras. Disiplin militer yang pada saat itu mungkin tidak kami sadari. Tapi di situ, dia mengajarkan kami untuk menjadi orang yang ulet, disiplin, jujur dan optimis," katanya mengenang Sang Ayah.

Sifat keras Udjo ini dibenarkan oleh Agustina Septarina, anak ketujuh Udjo. Rina bercerita, suatu hari Ia pernah bertengkar hebat dengan Udjo hingga mencakar punggu Sang Ayah, karena tidak terima akan dipukul oleh bambu.

Ia dimarahi Udjo karena dinilai tidak melayani pembeli calung dengan baik. Bagi Udjo, pembeli adalah raja yang harus selalu dilayani dengan baik. Alasan Rina bahwa pembeli angklung itu adalah pria genit, tidak diterima oleh Udjo.

Namun setelah kejadian itu, menurut Rina, pada sore harinya, Udjo mendatangi Rina di kamarnya untuk meminta maaf layaknya seorang teman.

"Neng, coba ini lihat Bapak luka, tadi siang abis berkelahi," ujar Udjo sambil memperlihatkan bekas luka cakaran Rina di bahunya.

Saat itu, Udjo datang sambil membawakan gado-gado dan youghurt kesukaan Rina dan mengajaknya berbaikan.

"Akhirnya saya dan Bapak berbaikan, kami cantelan (melakukan silang kelingking tanda berdamai)," kata Rina becerita mengenang Sang Ayah.

Membaca buku "Udjo, Diplomasi Angklung" membuat Taufik, sang anak yang kini menjadi pucuk pimpinan Saung Angklung Udjo ini sadar bahwa banyak sekali kebijaksaan dalam diri sang Ayah.

"Buku ini membuat saya berpikir mampukah saya seperti Bapak? Saya harap karakter Bapak yang ada dalam buku ini bisa membantu kami semua untuk menjaga dan mengembangkan mahakarya yang lahir dari keuletan, kedisiplinan, kejujuran dan rasa optimis yang dimiliki beliau," kata Taufik.

Ulet dan senang berinovasi merupakan karakter Udjo yang selalu diterapkan di Saung Angklung Udjo.

Hasilnya adalah adanya angklung getar dan angklung toel yang telah berhasil di buat oleh Yayan Mulyana, putra keenam Udjo.

Kerja keras dan keuletan Udjo Ngalagena dalam menduniakan angklung dan seni tradisi Sunda, tidak akan pernah berhenti, walaupun ia telah meninggalkan dunia ini sembilan tahun yang lalu.

Saung Angklung Udjo, artefak seni Sunda warisan Udjo Ngalagena, akan selalu berusaha lebih mengembangkan dan menduniakan angklung serta seni tradisi sunda lainnya, seperti yang harapkan Udjo Ngalagena yang terdokumentasikan melalui catatan hariannya.

"Bapak mengharap SA yang akan datang jauh lebih baik dari sekarang,” tulis Udjo.

aisha

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010