Ketua majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Muhammad Damis memperingatkan terpidana perkara "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra agar tidak mencoba untuk menyuap hakim.
"Siapa pun yang mengatakan menguruskan perkara saudara itu adalah kebohongan, itu tidak mungkin. Kalau ada yang mengatakan seperti itu, itu adalah orang yang menipu saudara karena itu tidak mungkin terjadi," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Muhammad Damis diketahui juga adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyampaikan hal itu sesaat sebelum jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung membacakan surat dakwaan.
"Karena itu kami peringatkan untuk tidak melakukan suap-menyuap dan sebagainya," ucap Muhammad Damis.
Djoko Tjandra dalam perkara ini dikenakan dua dakwaan.
Pertama, Djoko Tjandra selaku terpidana kasus cessie Bank Bali didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Pol. Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.
Artinya total suap yang diberikan Djoko Tjandra untuk ketiga aparat hukum negara itu adalah 920 ribu dolar AS (sekitar Rp13,42 miliar) dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,144 miliar) yaitu mencapai sekitar Rp15,567 miliar.
Tujuan pemberian suap adalah agar ketiganya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung dan menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Djoko Tjandra pertama kali bertemu Pinangki di Malaysia pada 12 November 2019 meminta Pinangki membuat "action plan" dan membuat surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukum Djoko Tjandra.
Pada pertemuan selanjutnya yaitu 19 November 2019, dibahas juga biaya-biaya yang harus dikeluarkan Djoko Tjandra seperti tercantum dalam "action plan" yaitu sebesar 100 ribu dolar AS, namun Djoko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar 10 juta dolar AS.
"Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.
Pada 26 November 2019, Djoko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mal Senayan City.
Pinangki lalu memberikan uang dari Djoko itu sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS dan akan memberikan kekurangannya setelah Djoko Tjandra memberikan uang yang dijanjikan.
Selanjutnya Djoko Tjandra juga didakwa menyuap Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dan Brgjen Pol. Prasetijo Utomo untuk menghapus status dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pada sekitar April 2020 Djoko Tjandra menghubungi rekan-nya Tommy Sumardi membicarakan cara agar Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK atas kasus korupsi Bank Bali karena Djoko mendapat informasi bahwa "Interpol Red Notice" atas dirinya telah dibuka Interpol Pusat di Lyon, Prancis.
Djoko Tjandra mengatakan kepada Tommy bahwa ia bersedia memberikan uang Rp10 miliar untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo di kantornya pada Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri, kemudian Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadivhubinter Polri.
Proses pemberian suap dilakukan pada April-Mei 2020 yaitu pada 27 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS untuk Prasetijo, pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura untuk Napoleon, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 5 Mei 2020 sebesar 20 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 6 Mei 2020 sebesar 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo.
Pada 12 Mei 2020, Djoko Tjandra meminta sekretaris-nya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Pada 22 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya untuk menyerahkan uang 50 ribu dolar AS kepada Tommy.
"Sehingga total uang yang diserahkan Djoko Tjandra ke terdakwa Tommy Sumardi adalah 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura," tutur jaksa.
Hasilnya, Ditjen Imigrasi melakukan penghapusan status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Djoko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didawa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.
"Yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung," ungkap jaksa.
Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga pidana penjara kepada Djoko Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 teranggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi dan Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Cara-cara yang dilakukan Djoko Tjandra adalah seperti diuraikan dalam perbuatan pemberian uang kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Banyak yang saya mengerti tapi saya tidak setuju Yang Mulia," kata Djoko Tjandra
Sidang dilanjutkan pada 10 November 2020 dengan agenda pemeriksaan saksi.
Baca juga: Jaksa: Dua pati Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon sebut minta uang suap untuk "petinggi kita"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Siapa pun yang mengatakan menguruskan perkara saudara itu adalah kebohongan, itu tidak mungkin. Kalau ada yang mengatakan seperti itu, itu adalah orang yang menipu saudara karena itu tidak mungkin terjadi," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Muhammad Damis diketahui juga adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyampaikan hal itu sesaat sebelum jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung membacakan surat dakwaan.
"Karena itu kami peringatkan untuk tidak melakukan suap-menyuap dan sebagainya," ucap Muhammad Damis.
Djoko Tjandra dalam perkara ini dikenakan dua dakwaan.
Pertama, Djoko Tjandra selaku terpidana kasus cessie Bank Bali didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Pol. Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.
Artinya total suap yang diberikan Djoko Tjandra untuk ketiga aparat hukum negara itu adalah 920 ribu dolar AS (sekitar Rp13,42 miliar) dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,144 miliar) yaitu mencapai sekitar Rp15,567 miliar.
Tujuan pemberian suap adalah agar ketiganya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung dan menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Djoko Tjandra pertama kali bertemu Pinangki di Malaysia pada 12 November 2019 meminta Pinangki membuat "action plan" dan membuat surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukum Djoko Tjandra.
Pada pertemuan selanjutnya yaitu 19 November 2019, dibahas juga biaya-biaya yang harus dikeluarkan Djoko Tjandra seperti tercantum dalam "action plan" yaitu sebesar 100 ribu dolar AS, namun Djoko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar 10 juta dolar AS.
"Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.
Pada 26 November 2019, Djoko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mal Senayan City.
Pinangki lalu memberikan uang dari Djoko itu sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS dan akan memberikan kekurangannya setelah Djoko Tjandra memberikan uang yang dijanjikan.
Selanjutnya Djoko Tjandra juga didakwa menyuap Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dan Brgjen Pol. Prasetijo Utomo untuk menghapus status dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pada sekitar April 2020 Djoko Tjandra menghubungi rekan-nya Tommy Sumardi membicarakan cara agar Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK atas kasus korupsi Bank Bali karena Djoko mendapat informasi bahwa "Interpol Red Notice" atas dirinya telah dibuka Interpol Pusat di Lyon, Prancis.
Djoko Tjandra mengatakan kepada Tommy bahwa ia bersedia memberikan uang Rp10 miliar untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo di kantornya pada Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri, kemudian Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadivhubinter Polri.
Proses pemberian suap dilakukan pada April-Mei 2020 yaitu pada 27 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS untuk Prasetijo, pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura untuk Napoleon, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 5 Mei 2020 sebesar 20 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 6 Mei 2020 sebesar 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo.
Pada 12 Mei 2020, Djoko Tjandra meminta sekretaris-nya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Pada 22 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya untuk menyerahkan uang 50 ribu dolar AS kepada Tommy.
"Sehingga total uang yang diserahkan Djoko Tjandra ke terdakwa Tommy Sumardi adalah 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura," tutur jaksa.
Hasilnya, Ditjen Imigrasi melakukan penghapusan status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Djoko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didawa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.
"Yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung," ungkap jaksa.
Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga pidana penjara kepada Djoko Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 teranggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi dan Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Cara-cara yang dilakukan Djoko Tjandra adalah seperti diuraikan dalam perbuatan pemberian uang kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Banyak yang saya mengerti tapi saya tidak setuju Yang Mulia," kata Djoko Tjandra
Sidang dilanjutkan pada 10 November 2020 dengan agenda pemeriksaan saksi.
Baca juga: Jaksa: Dua pati Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon sebut minta uang suap untuk "petinggi kita"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020