Volkanolog ITB Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT menyampaikan serba-serbi tentang Gunung Krakatau dalam Geoseminar 2020 yang diadakan Pusat Survei Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan tema “Gunung Api (Past, Present & Future) secara daring.
Volkanolog ITB Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT, Kamis, mengatakan pada webinar tersebut dirinya secara khusus mengulas topik Gunung Krakatau dengan judul presentasi “Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia”.
Gunung Krakatau merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia dan leluhur Gunung tersebut sering disebut sebagai Proto Krakatau atau Krakatau Purba.
Dr Mirzam mengawali paparannya pada era kegelapan berkisar 600.000 tahun yang lalu. Menurut hipotesis beberapa ilmuwan, terjadi letusan gunung api pada daerah ekuator bumi sekitar 100.000 tahun yang lalu dengan 27 titik di antaranya berada di Indonesia.
Sehingga letusan yang terjadi pada Proto Krakatau diprediksi menghasilkan kaldera dan membelah Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Masa Hindia-Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi yang dibuat oleh Junghuhn selama dua periode hingga 1855.
Sedangkan untuk mempelajari waktu letusan Gunung Krakatau Purba yang lebih akurat, digunakan catatan sejarah dengan judul Catatan Pustaka Raja Purwa yang disusun oleh Ranggawarsita.
Merujuk pada catatan itu, disebutkan bahwa terdapat gunung meletus yang terletak di Selat Sunda dan disusul oleh gunung-gunung lain yang berada di baratnya namun terjadi ketidakpastian waktu antara tahun 416 atau 535 Masehi yang membutuhkan analisis lebih mendalam agar dapat diketahui lebih tepat.
Berdasarkan analisis ilmiah yang terjadi pada abad ke-6, terjadi beberapa peristiwa perlambatan yang memengaruhi pencatatan sejarah. Diantaranya data lingkaran tahun pada pohon melambat, terjadi penurunan temperatur kutub secara signifikan, peningkatan asam sulfat di daerah Greenland serta berakhirnya beberapa peradaban.
“Hasil analisis adanya anomali pada abad ke-6 menjadi dasar yang menguatkan jika Gunung Proto Krakatau meletus pada tahun 535,” kata Dr. Mirzam.
Dr. Mirzam mengatakan, letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadikan gugusan Gunung Krakatau yang semula mencakup wilayah yang cukup luas menjadi terpecah-pecah menjadi beberapa pulau saat ini.
Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut ialah terjadinya gelombang besar di wilayah Selat Sunda yang ditaksirkan menelan korban 200.000 jiwa.
Pasca letusan 1883 juga dilakukan penelitian terkait dampak-dampaknya.
“Gelombang pasang yang tercatat terjadi di seluruh dunia dengan ketinggian gelombang yang relatif beragam,” kata Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia FITB-ITB itu.
Selain itu, Anak Krakatau juga terus mengalami pertumbuhan dikarenakan posisinya yang terletak pada persilangan antara Pulau Jawa dan Sumatera.
Adanya aktivitas vulkanis yang tidak hanya berasal dari satu sumber menyebabkan Gunung Anak Krakatau tumbuh signifikan dan arah letusannya pun cenderung menuju barat daya.
“Sejalan dengan arah sobekan Jawa-Sumatera, pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan jejak letusan ke arah barat daya,” ujar Dosen Teknik Geologi itu.
Krakatau pada abad ke-21 dapat dipelajari melalui data resident time atau akumulasi waktu pembentukan terhadap volume kumulatif lava.
Untuk menganalisis penyebab letusan Gunung Anak Krakatau pada 2018 dilakukan dua pendekatan, yaitu analisis petrografi dan distribusi ukuran kristal lava.
Jika digunakan analisis petrografi, maka pada 2012, 2014, dan 2017 masih memiliki komposisi fasa (senyawa kimia penyusun lava) yang relatif mirip. Sedangkan analisis distribusi ukuran kristal lava menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terjadi resident time yang lebih lama.
Hal tersebut menyebabkan kekentalan lava meningkat yang berakibat pada kenaikan tekanan dan terjadilah letusan.
Dr. Mirzam menambahkan, sejauh ini tsunami 2018 akibat letusan Gunung Anak Krakatau diperkirakan dapat terjadi oleh empat mekanisme yaitu letusan gunung api di bawah air (volcanogenic tsunami), longsoran (air masuk ke daratan), gunung api meletus membentuk kaldera (gunung api muncul di permukaan), dan aliran piroklastik (tsunami pada bagian depan gunung dengan kecepatan gelombang 150-250 km/jam).
Sumber magma Gunung Anak Krakatau juga dipelajari melalui tes DNA magma (geokimia batuan) yang menunjukkan jika terdapat dua puncak unsur kimia penyusun lava, yaitu Ce (Cerium) dan Zr (Zirconium). Tes tersebut menunjukkan jika Gunung Anak Krakatau memiliki dua sumber magma.
“Karena sumber magma yang relatif dangkal dan tidak searah, menyebabkan pertumbuhan Gunung Anak Krakatau signifikan dan berpotensi vulcanogenic tsunami,” katanya.
Baca juga: Gunung Anak Krakatau erupsi tapi tidak ada suara dentuman
Baca juga: Volume menurun, aktivitas Gunung Anak Krakatau tetap dipantau
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Volkanolog ITB Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT, Kamis, mengatakan pada webinar tersebut dirinya secara khusus mengulas topik Gunung Krakatau dengan judul presentasi “Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia”.
Gunung Krakatau merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia dan leluhur Gunung tersebut sering disebut sebagai Proto Krakatau atau Krakatau Purba.
Dr Mirzam mengawali paparannya pada era kegelapan berkisar 600.000 tahun yang lalu. Menurut hipotesis beberapa ilmuwan, terjadi letusan gunung api pada daerah ekuator bumi sekitar 100.000 tahun yang lalu dengan 27 titik di antaranya berada di Indonesia.
Sehingga letusan yang terjadi pada Proto Krakatau diprediksi menghasilkan kaldera dan membelah Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Masa Hindia-Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi yang dibuat oleh Junghuhn selama dua periode hingga 1855.
Sedangkan untuk mempelajari waktu letusan Gunung Krakatau Purba yang lebih akurat, digunakan catatan sejarah dengan judul Catatan Pustaka Raja Purwa yang disusun oleh Ranggawarsita.
Merujuk pada catatan itu, disebutkan bahwa terdapat gunung meletus yang terletak di Selat Sunda dan disusul oleh gunung-gunung lain yang berada di baratnya namun terjadi ketidakpastian waktu antara tahun 416 atau 535 Masehi yang membutuhkan analisis lebih mendalam agar dapat diketahui lebih tepat.
Berdasarkan analisis ilmiah yang terjadi pada abad ke-6, terjadi beberapa peristiwa perlambatan yang memengaruhi pencatatan sejarah. Diantaranya data lingkaran tahun pada pohon melambat, terjadi penurunan temperatur kutub secara signifikan, peningkatan asam sulfat di daerah Greenland serta berakhirnya beberapa peradaban.
“Hasil analisis adanya anomali pada abad ke-6 menjadi dasar yang menguatkan jika Gunung Proto Krakatau meletus pada tahun 535,” kata Dr. Mirzam.
Dr. Mirzam mengatakan, letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadikan gugusan Gunung Krakatau yang semula mencakup wilayah yang cukup luas menjadi terpecah-pecah menjadi beberapa pulau saat ini.
Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut ialah terjadinya gelombang besar di wilayah Selat Sunda yang ditaksirkan menelan korban 200.000 jiwa.
Pasca letusan 1883 juga dilakukan penelitian terkait dampak-dampaknya.
“Gelombang pasang yang tercatat terjadi di seluruh dunia dengan ketinggian gelombang yang relatif beragam,” kata Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia FITB-ITB itu.
Selain itu, Anak Krakatau juga terus mengalami pertumbuhan dikarenakan posisinya yang terletak pada persilangan antara Pulau Jawa dan Sumatera.
Adanya aktivitas vulkanis yang tidak hanya berasal dari satu sumber menyebabkan Gunung Anak Krakatau tumbuh signifikan dan arah letusannya pun cenderung menuju barat daya.
“Sejalan dengan arah sobekan Jawa-Sumatera, pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan jejak letusan ke arah barat daya,” ujar Dosen Teknik Geologi itu.
Krakatau pada abad ke-21 dapat dipelajari melalui data resident time atau akumulasi waktu pembentukan terhadap volume kumulatif lava.
Untuk menganalisis penyebab letusan Gunung Anak Krakatau pada 2018 dilakukan dua pendekatan, yaitu analisis petrografi dan distribusi ukuran kristal lava.
Jika digunakan analisis petrografi, maka pada 2012, 2014, dan 2017 masih memiliki komposisi fasa (senyawa kimia penyusun lava) yang relatif mirip. Sedangkan analisis distribusi ukuran kristal lava menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terjadi resident time yang lebih lama.
Hal tersebut menyebabkan kekentalan lava meningkat yang berakibat pada kenaikan tekanan dan terjadilah letusan.
Dr. Mirzam menambahkan, sejauh ini tsunami 2018 akibat letusan Gunung Anak Krakatau diperkirakan dapat terjadi oleh empat mekanisme yaitu letusan gunung api di bawah air (volcanogenic tsunami), longsoran (air masuk ke daratan), gunung api meletus membentuk kaldera (gunung api muncul di permukaan), dan aliran piroklastik (tsunami pada bagian depan gunung dengan kecepatan gelombang 150-250 km/jam).
Sumber magma Gunung Anak Krakatau juga dipelajari melalui tes DNA magma (geokimia batuan) yang menunjukkan jika terdapat dua puncak unsur kimia penyusun lava, yaitu Ce (Cerium) dan Zr (Zirconium). Tes tersebut menunjukkan jika Gunung Anak Krakatau memiliki dua sumber magma.
“Karena sumber magma yang relatif dangkal dan tidak searah, menyebabkan pertumbuhan Gunung Anak Krakatau signifikan dan berpotensi vulcanogenic tsunami,” katanya.
Baca juga: Gunung Anak Krakatau erupsi tapi tidak ada suara dentuman
Baca juga: Volume menurun, aktivitas Gunung Anak Krakatau tetap dipantau
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020