Bertandang ke Kampus Universtas Padjadajaran (Unpad), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tidak lengkap rasanya apabila tidak mengunjungi deretan kios jajanan yang berjejer sepanjang gerbang lama atau biasa disebut gerlam oleh para mahasiwa Unpad yang berada di sisi timur maupun barat.
Khususnya di gerlam timur apa saja bisa ditemukan, mulai dari ayam geprek, soto madura, hingga kaus kaki dengan promo Rp10 ribu tiga pasang dan juga makanan khas Korea Selatan.
Terlebih lagi, makanan Korea ini dibuat dan dijual oleh warga negara Korea itu sendiri.
Di sebuah petak yang terdiri dari gabungan dua kios, Shim In Lye dan suaminya Hengky Simangunsong menjajakan makanan seperti tteokbokki, oden, kimbap, dan makanan Korea lainnya yang lazim ditemukan di sajian drama Korea.
Mengusung nama Haus Tok Pok Ki dengan harapan kedai ini bisa menjadi jawaban atas dahaga masyarakat dalam mengonsumsi sajian makanan Korea dan rumah bagi makanan Korea.
“Haus Tok Pok Ki ini artinya dua, pertama haus atau dahaga terhadap tok pok ki dan juga house atau rumah dalam bahasa Inggris. Lalu disambung dengan tok pok ki agar lebih mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia,” ujar Hengky di Sumedang, Kamis.
Shim In Lye selaku penjual memang merupakan warga negara Korea yang tengah dalam proses menjadi warga negara Indonesia.
Pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada tahun 2000, ia juga sempat belajar bahasa Indonesia di Universitas Indonesia (UI) dan sesekali mengajarkan bahasa Korea kepada mahasiswa Unpad di Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Perjalanan sepasang suami istri ini dalam memulai usaha berawal dari menjual ubi Cilembu dan olahannya di daerah Cilembu Atas, Sumedang, namun usaha tersebut mengalami kebangkrutan.
Kebangkrutan tersebut sempat membuat mereka menyerah, hingga akhirnya seorang perempuan asal Korea di Jakarta menyarankannya untuk menjual makanan khas Korea.
“Ada seorang perempuan di Jakarta asal Korea yang menawari istri saya untuk membuka usaha makanan Korea saja, ditambah saat itu sedang booming juga hallyu (kebudayaan Korea). Sebenarnya kami sudah hilang harapan ingin balik ke Jakarta saja, tetapi berkat dukungan ibu ini kami tidak menyerah,” katanya.
Membuka kedai sejak 28 Maret 2017, pasang surut perjuangan juga dialami oleh pasangan yang menikah pada 2007 tersebut.
Salah satunya dengan belajar membuat makanan Korea yang khas dan baik, memberikan sampel secara cuma-cuma kepada mahasiswa, hingga membagikan brosur.
Dengan satu menu Tteokbokki saat pertama kali menjual, kini mereka bisa menjual 25 jenis makanan khas Korea dengan harga bervariasi dari belasan hingga puluhan ribu rupiah.
“Kita awalnya buka satu item yaitu tteokbokki saja dan langsung habis di hari pertama berjualan. Lalu kita kembangin makanan lain dengan serngkaian tes dan tes, kini jumlah makanannya sekarang ada 25 menu,” tambah Hengky.
Berjualan dengan target pasa mahasiswa memiliki kendalanya tersendiri, salah satunya pelanggan yang selalu ramai pada bulan-bulan tertentu saja.
Kedai dengan terget mahasiswa Unpad ini biasanya akan ramai saat semester ganjil dimulai yaitu pada Agustus hingga September, kemudian bisa kembali lesu saat musim libur datang di Januari hingga Februari.
Pun dengan agenda lain seperti akhir bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
“Ramadhan tetap jualan. Waktu lebaran juga kami pernah buka tapi enggak laku, besoknya akhirnya rnggak buka lagi,” kata dia.
Meski demikian, Hengky berujar bahwa omset yang diperoleh saat sedang ramai seperti di bulan Agustus-September bisa mencapai Rp2 juta per harinya dan Rp1 juta sampai Rp800 ribu di hari biasa.
Setiap harinya mereka menggunakan 10 kg tepung beras yang digunakan untuk memasak lima kali tteokbokki dan beragam jenis makanan.
Beberapa bantuan juga seringkali ia terima dalam rangka membantu usahanya agar terus berkembang.
Salah satunya dari sekelompok mahasiswa yang diberikan tugas untuk mengelola media sosial Haus Tok Pok Ki sehingga kini memiliki keterjangkauan yang lebih luas lagi.
Ia juga menambahkan akhir-akhir ini terdapat utas yang viral di Twitter tentang kedainya yang membuat kini semakin banyak orang dari berbagai daerah datang ke kedainya karena sebatas penasaran.
Hengky pun menegaskan bahwa bahan-bahan yang digunakan utamanya tepung beras selalu dibuat dengan bahan organik, hal tersebut diutarakan agar keotentikan bentuk dan kesehatannya bisa terjaga.
“Setiap hari Minggu kami ke Jakarta untuk membeli bahan-bahannya. Minggu malamnya kami menyimpan bahan-bahannya di kios. Oleh karenanya Hari Senin biasanya menjadi hari yang paling melelahkan,” katanya.
Seringkali mereka juga menemukan kedai Korea lain yang menjual makanan Korea dengan banyak sekali modifikasi sehingga tidak terlihat seperti makanan khas Korea, seperti tteokbokki dengan keju, oden dengan sosis, dan lain-lain.
Meskipun rasa yang disajikan menyesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia, mereka ingin tetap mempertahankan bentuk makanan selayaknya di Korea.
Impian Hengky dan Shim adalah mengembangkan usahanya dengan membuka cabang lain dengan bentuk sebuah kafe di Bandung atau Jakarta.
Hal tersebut dibuat karena di kedainya saat ini hanya bisa menerima pesanan dengan makanan dibungkus dan bukannya makan di tempat.
“Kalau bisa di mana ada kampus besar ada, kami juga ada,” kata Hengky.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Khususnya di gerlam timur apa saja bisa ditemukan, mulai dari ayam geprek, soto madura, hingga kaus kaki dengan promo Rp10 ribu tiga pasang dan juga makanan khas Korea Selatan.
Terlebih lagi, makanan Korea ini dibuat dan dijual oleh warga negara Korea itu sendiri.
Di sebuah petak yang terdiri dari gabungan dua kios, Shim In Lye dan suaminya Hengky Simangunsong menjajakan makanan seperti tteokbokki, oden, kimbap, dan makanan Korea lainnya yang lazim ditemukan di sajian drama Korea.
Mengusung nama Haus Tok Pok Ki dengan harapan kedai ini bisa menjadi jawaban atas dahaga masyarakat dalam mengonsumsi sajian makanan Korea dan rumah bagi makanan Korea.
“Haus Tok Pok Ki ini artinya dua, pertama haus atau dahaga terhadap tok pok ki dan juga house atau rumah dalam bahasa Inggris. Lalu disambung dengan tok pok ki agar lebih mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia,” ujar Hengky di Sumedang, Kamis.
Shim In Lye selaku penjual memang merupakan warga negara Korea yang tengah dalam proses menjadi warga negara Indonesia.
Pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada tahun 2000, ia juga sempat belajar bahasa Indonesia di Universitas Indonesia (UI) dan sesekali mengajarkan bahasa Korea kepada mahasiswa Unpad di Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Perjalanan sepasang suami istri ini dalam memulai usaha berawal dari menjual ubi Cilembu dan olahannya di daerah Cilembu Atas, Sumedang, namun usaha tersebut mengalami kebangkrutan.
Kebangkrutan tersebut sempat membuat mereka menyerah, hingga akhirnya seorang perempuan asal Korea di Jakarta menyarankannya untuk menjual makanan khas Korea.
“Ada seorang perempuan di Jakarta asal Korea yang menawari istri saya untuk membuka usaha makanan Korea saja, ditambah saat itu sedang booming juga hallyu (kebudayaan Korea). Sebenarnya kami sudah hilang harapan ingin balik ke Jakarta saja, tetapi berkat dukungan ibu ini kami tidak menyerah,” katanya.
Membuka kedai sejak 28 Maret 2017, pasang surut perjuangan juga dialami oleh pasangan yang menikah pada 2007 tersebut.
Salah satunya dengan belajar membuat makanan Korea yang khas dan baik, memberikan sampel secara cuma-cuma kepada mahasiswa, hingga membagikan brosur.
Dengan satu menu Tteokbokki saat pertama kali menjual, kini mereka bisa menjual 25 jenis makanan khas Korea dengan harga bervariasi dari belasan hingga puluhan ribu rupiah.
“Kita awalnya buka satu item yaitu tteokbokki saja dan langsung habis di hari pertama berjualan. Lalu kita kembangin makanan lain dengan serngkaian tes dan tes, kini jumlah makanannya sekarang ada 25 menu,” tambah Hengky.
Berjualan dengan target pasa mahasiswa memiliki kendalanya tersendiri, salah satunya pelanggan yang selalu ramai pada bulan-bulan tertentu saja.
Kedai dengan terget mahasiswa Unpad ini biasanya akan ramai saat semester ganjil dimulai yaitu pada Agustus hingga September, kemudian bisa kembali lesu saat musim libur datang di Januari hingga Februari.
Pun dengan agenda lain seperti akhir bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
“Ramadhan tetap jualan. Waktu lebaran juga kami pernah buka tapi enggak laku, besoknya akhirnya rnggak buka lagi,” kata dia.
Meski demikian, Hengky berujar bahwa omset yang diperoleh saat sedang ramai seperti di bulan Agustus-September bisa mencapai Rp2 juta per harinya dan Rp1 juta sampai Rp800 ribu di hari biasa.
Setiap harinya mereka menggunakan 10 kg tepung beras yang digunakan untuk memasak lima kali tteokbokki dan beragam jenis makanan.
Beberapa bantuan juga seringkali ia terima dalam rangka membantu usahanya agar terus berkembang.
Salah satunya dari sekelompok mahasiswa yang diberikan tugas untuk mengelola media sosial Haus Tok Pok Ki sehingga kini memiliki keterjangkauan yang lebih luas lagi.
Ia juga menambahkan akhir-akhir ini terdapat utas yang viral di Twitter tentang kedainya yang membuat kini semakin banyak orang dari berbagai daerah datang ke kedainya karena sebatas penasaran.
Hengky pun menegaskan bahwa bahan-bahan yang digunakan utamanya tepung beras selalu dibuat dengan bahan organik, hal tersebut diutarakan agar keotentikan bentuk dan kesehatannya bisa terjaga.
“Setiap hari Minggu kami ke Jakarta untuk membeli bahan-bahannya. Minggu malamnya kami menyimpan bahan-bahannya di kios. Oleh karenanya Hari Senin biasanya menjadi hari yang paling melelahkan,” katanya.
Seringkali mereka juga menemukan kedai Korea lain yang menjual makanan Korea dengan banyak sekali modifikasi sehingga tidak terlihat seperti makanan khas Korea, seperti tteokbokki dengan keju, oden dengan sosis, dan lain-lain.
Meskipun rasa yang disajikan menyesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia, mereka ingin tetap mempertahankan bentuk makanan selayaknya di Korea.
Impian Hengky dan Shim adalah mengembangkan usahanya dengan membuka cabang lain dengan bentuk sebuah kafe di Bandung atau Jakarta.
Hal tersebut dibuat karena di kedainya saat ini hanya bisa menerima pesanan dengan makanan dibungkus dan bukannya makan di tempat.
“Kalau bisa di mana ada kampus besar ada, kami juga ada,” kata Hengky.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020