Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, menilai berdasarkan hasil pemeriksaan kinerja LPP TVRI, Dewan Pengawas TVRI harus membuat aturan sesuai UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran dan PP Nomor 13/2005 tentang LPP TVRI.
"Kalau Dewan Pengawas mau bikin aturan, bikin sesuai UU dan PP. Kalau tidak, pasti ditentang karyawan dan direksi. Ini yang harus diperbaiki," kata Qosasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Ia mencontohkan Dewas TVRI memutuskan gaji direksi padahal aturan itu sudah ada di dalam Perpres Nomor 78/2008.
Menurut dia, Dewas TVRI seharusnya mengikuti Perpres itu sehingga tidak perlu lagi mengatur gaji sendiri. "Dewas tidak berhak mengangkat staf ahli atau tenaga ahli, tidak boleh, faktanya sekarang mengangkat tenaga ahli sehingga BPK merekomendasikan agar tenaga ahli itu tidak lagi diperbantukan," ujarnya.
Menurut dia, Dewas TVRI bukan pejabat negara karena pejabat negara diatur dalam undang-undang sedangkan Dewas TVRI tidak diatur dalam UU. "Dewas TVRI adalah pejabat non eselon, dan itu setara dengan pejabat fungsional," katanya.
Menurut dia, BPK minta agar pemerintah memperbaiki PP terkait LPP TVRI dan juga meminta agar mencabut keputusan dewan pengawas TVRI yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Berikut enam hasil temuan kinerja BPK terkait LPP TVRI yaitu:
1) Dewas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. Syarat pemberhentian sesuai Pasal 24 ayat (4): tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewas.
Namun dalam praktiknya, Dewas menambahkan syarat pemberhentian Dewan Direksi melalui hasil penilaian kinerja (tidak memuaskan/tidak lulus). Berdasarkan pemeriksaan, penilaian kinerja kepada Dewan Direksi cenderung subjektif.
Atas indikator-indikator yang pencapaian kinerjanya 100%, Dewas menilai bervariasi dan tanpa rumusan yang jelas. Selain itu, Dewas LPP TVRI menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.
2) Di pasal 18 ayat (1) Dewas adalah jabatan non eselon. Jabatan Dewas tidak diatur dalam regulasi apapun selain PP 13/2005 dan PP 12/2005.
Namun, Dewas LPP TVRI menafsirkan sendiri bahwa jabatan non eselon adalah pejabat negara setingkat menteri, ketua/anggota KPK dan BPK. Selain mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp5 juta/bulan sesuai Perpres Nomor 73/2008 dan Perpres Nomor 101/2017, Dewas menggunakan kendaraan dinas setara eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis.
3. Pasal 42 "Pembinaan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan TVRI dilakukan oleh Direktur yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku".
Dalam praktiknya, LPP TVRI tidak memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) secara mandiri. Meskipun sebagai institusi pemerintah yang mandiri yaitu direktur utama LPP TVRI sebagai Pengguna Anggaran dan Pengguna Barang, namun PPK LPP TVRI adalah Menteri Kominfo. Hal ini mengakibatkan LPP TVRI tidak dapat melakukan pemenuhan kebutuhan PNS secara mandiri untuk mengantisipasi semakin banyaknya PNS memasuki usia pensiun.
4. Ketentuan dalam Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 tidak sesuai dengan PP Nomor 13/2005. Dalam keputusan tersebut, Dewas LPP TVRI menambahkan ketentuan yang tidak diatur dalam PP 13/2005 antara lain:
a) Mengangkat tenaga ahli dan/atau membentuk komite untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewas. Padahal sebelumnya Dewas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh sekretariat yang secara administratif berada di bawah Dewan Direksi.
b) Mengajukan pertanyaan, mengakses data dan informasi, pemantauan tempat kerja, serta sarana dan prasarana. Hal ini menimbulkan tumpang tindih dengan tugas pengawasan yang menjadi tugas Satuan Pengawasan Intern.
c) Menetapkan besaran gaji dan tunjangan bagi Dewan Direksi. Padahal penghasilan Dewan Direksi LPP TVRI ditetapkan dengan Surat Menteri Keuangan Nomor 566/MK.02/2017.
5. Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 Pasal 16 "Wewenang Dewan Direksi yang memerlukan persetujuan Dewas" antara lain melakukan perjalanan dinas, adapun rinciannya pada Pasal 38 dan 39:
a) Perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri Direktur Utama memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
b) Perjalanan dinas dalam negeri Anggota Dewan Direksi memerlukan persetujuan Direktur Utama disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
c) Perjalanan dinas luar negeri Dewan Direksi memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
6. Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 Pasal 46 ayat (8): Anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen. Padahal di aturan sebelumnya syarat pemberhentian Dewan Direksi jika hanya: tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.
Baca juga: Komisi I DPR usulkan ada audit investigasi TVRI
Baca juga: Helmy Yahya: Demi Allah, saya tidak berpikir untuk kembali jadi Dirut TVRI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Kalau Dewan Pengawas mau bikin aturan, bikin sesuai UU dan PP. Kalau tidak, pasti ditentang karyawan dan direksi. Ini yang harus diperbaiki," kata Qosasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Ia mencontohkan Dewas TVRI memutuskan gaji direksi padahal aturan itu sudah ada di dalam Perpres Nomor 78/2008.
Menurut dia, Dewas TVRI seharusnya mengikuti Perpres itu sehingga tidak perlu lagi mengatur gaji sendiri. "Dewas tidak berhak mengangkat staf ahli atau tenaga ahli, tidak boleh, faktanya sekarang mengangkat tenaga ahli sehingga BPK merekomendasikan agar tenaga ahli itu tidak lagi diperbantukan," ujarnya.
Menurut dia, Dewas TVRI bukan pejabat negara karena pejabat negara diatur dalam undang-undang sedangkan Dewas TVRI tidak diatur dalam UU. "Dewas TVRI adalah pejabat non eselon, dan itu setara dengan pejabat fungsional," katanya.
Menurut dia, BPK minta agar pemerintah memperbaiki PP terkait LPP TVRI dan juga meminta agar mencabut keputusan dewan pengawas TVRI yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Berikut enam hasil temuan kinerja BPK terkait LPP TVRI yaitu:
1) Dewas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. Syarat pemberhentian sesuai Pasal 24 ayat (4): tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewas.
Namun dalam praktiknya, Dewas menambahkan syarat pemberhentian Dewan Direksi melalui hasil penilaian kinerja (tidak memuaskan/tidak lulus). Berdasarkan pemeriksaan, penilaian kinerja kepada Dewan Direksi cenderung subjektif.
Atas indikator-indikator yang pencapaian kinerjanya 100%, Dewas menilai bervariasi dan tanpa rumusan yang jelas. Selain itu, Dewas LPP TVRI menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.
2) Di pasal 18 ayat (1) Dewas adalah jabatan non eselon. Jabatan Dewas tidak diatur dalam regulasi apapun selain PP 13/2005 dan PP 12/2005.
Namun, Dewas LPP TVRI menafsirkan sendiri bahwa jabatan non eselon adalah pejabat negara setingkat menteri, ketua/anggota KPK dan BPK. Selain mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp5 juta/bulan sesuai Perpres Nomor 73/2008 dan Perpres Nomor 101/2017, Dewas menggunakan kendaraan dinas setara eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis.
3. Pasal 42 "Pembinaan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan TVRI dilakukan oleh Direktur yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku".
Dalam praktiknya, LPP TVRI tidak memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) secara mandiri. Meskipun sebagai institusi pemerintah yang mandiri yaitu direktur utama LPP TVRI sebagai Pengguna Anggaran dan Pengguna Barang, namun PPK LPP TVRI adalah Menteri Kominfo. Hal ini mengakibatkan LPP TVRI tidak dapat melakukan pemenuhan kebutuhan PNS secara mandiri untuk mengantisipasi semakin banyaknya PNS memasuki usia pensiun.
4. Ketentuan dalam Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 tidak sesuai dengan PP Nomor 13/2005. Dalam keputusan tersebut, Dewas LPP TVRI menambahkan ketentuan yang tidak diatur dalam PP 13/2005 antara lain:
a) Mengangkat tenaga ahli dan/atau membentuk komite untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewas. Padahal sebelumnya Dewas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh sekretariat yang secara administratif berada di bawah Dewan Direksi.
b) Mengajukan pertanyaan, mengakses data dan informasi, pemantauan tempat kerja, serta sarana dan prasarana. Hal ini menimbulkan tumpang tindih dengan tugas pengawasan yang menjadi tugas Satuan Pengawasan Intern.
c) Menetapkan besaran gaji dan tunjangan bagi Dewan Direksi. Padahal penghasilan Dewan Direksi LPP TVRI ditetapkan dengan Surat Menteri Keuangan Nomor 566/MK.02/2017.
5. Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 Pasal 16 "Wewenang Dewan Direksi yang memerlukan persetujuan Dewas" antara lain melakukan perjalanan dinas, adapun rinciannya pada Pasal 38 dan 39:
a) Perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri Direktur Utama memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
b) Perjalanan dinas dalam negeri Anggota Dewan Direksi memerlukan persetujuan Direktur Utama disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
c) Perjalanan dinas luar negeri Dewan Direksi memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
6. Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2/2018 Pasal 46 ayat (8): Anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen. Padahal di aturan sebelumnya syarat pemberhentian Dewan Direksi jika hanya: tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.
Baca juga: Komisi I DPR usulkan ada audit investigasi TVRI
Baca juga: Helmy Yahya: Demi Allah, saya tidak berpikir untuk kembali jadi Dirut TVRI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020