Kasus penyakit leptospirosis atau penyakit yang ditularkan melalui kencing tikus meningkat pascamusibah banjir yang menerjang wilayah DKI Jakarta, kata dokter dari RS Premier Jatinegara, Jakarta, dr Laura Anasthasya, Sp PD.

"Lumayan banyak tapi kita tidak ada atau punya data khusus karena kan harus tercatat. Tapi ya (ada peningkatan kasus leptospirosis) karena ini kan kasusnya sangat jarang," kata dr Laura Anasthasya seusai menjadi pembicara pada peluncuran PRUTotal Critical Protection (PRUTop) dan PRUTotal Critical Protection Syariah (PRUTop Syariah) di Kota Bandung, Sabtu.

Laura mengatakan dalam sepekan terakhir, rumah sakit tempatnya bertugas telah menangani lima hingga enam kasus penyakit leptospirosis dan dirinya terakhir kali menangani kasus leptospirosis sekitar tiga tahun lalu.

"Terakhir saya berkomunikasi dengan sesama rekan dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit lain sudah mulai ada (leptospirosis). Setidaknya tiga sampai empat kasus. Jadi meningkat pesat lah dibandingkan hari biasanya," kata dia..

Dia menjelaskan seluruh pasien di DKI Jakarta yang terkena penyakit leptospirosis pernah bersentuhan dengan banjir.

Penyakit leptospirosis ini, kata dia, jika tidak ditangangi oleh tindakan medis maka akan menyerang ginjal, gagal ginjal akut hingga pendarahan paru-paru.

"Yang paling parah bahkan bisa hingga gagal multiorgan. Gejala awalnya susah membedakan karena mirip sakit flu sehingga banyak yang tidak menyadari. Jadi terlambat berobat. Gejala awalnya deman, linu-linu, terus mata kemerahan, kencingnya seperti teh.

Lebih lanjut ia mengatakan jika seseorang terkena penyakit leptospirosis dan menyerang hingga menyebabkan gagal multiorgan maka pengobatannya pun akan lebih kompleks karena tergolong penyakit kritis.

"Solusi terhindar penyakit kritis itu salah satunya menjaga kesehatan dan juga bisa berinvestasi kepada kesehatan. Negara memang ada BPJS. Tapi BPJS tidak meng-cover seluruh penyakit yang diakibatkan bencana seperti leptospirosis.

Asuransi kondisi kritis

Dia menambahkan permasalahan kesehatan dewasa ini makin nyata dan sangat mengancam sehingga masyarakat harus selalu bersiap dan waspada.

Secara global, World Health Organization (WHO) mengkategorikan permasalahan kesehatan hingga mencapai 68.000 jenis.

Indonesia pun tak lepas dari bahaya kesehatan tersebut dan kita harus terus siaga terhadap kemunculan penyakit-penyakit baru dan para ahli memperkirakan lima penyakit baru pada manusia muncul tiap tahun, tiga diantaranya bersumber dari binatang.

Di wilayah Jawa Barat sendiri, Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan berbagai jenis penyakit memiliki prevalensi yang melebihi rata-rata nasional.

Data kasus Penyakit Tidak Menular (PTM) menunjukkan penyakit jantung diderita oleh 1,6 persen masyarakat (rata-rata nasional 1,5 persen), hipertensi sebanyak 9,67 persen (rata-rata nasional 8,36 persen), stroke sebanyak 11,4 persen (rata-rata nasional 10,9 persen), hingga gagal ginjal kronis sebanyak 0,48 persen (rata-rata nasional 0,38 persen).

“Penyakit kritis dapat menyerang siapa saja, kapan saja sehingga sebaiknya masyarakat tidak terpaku menghindari hanya suatu penyakit tertentu. Berbagai permasalahan kesehatan dapat terus bertambah akibat banyak faktor, seperti lifestyle, globalisasi hingga perubahan iklim," kata dia.

"Masyarakat perlu mengantisipasi ancaman penyakit kritis ini dengan mengubah gaya hidup mereka dan lebih menyadari ‘mahalnya’ kesehatan. Penyakit kritis dapat berimplikasi pada aspek psikologis, sosial hingga finansial yang dapat menggoyahkan stabilitas ekonomi dan masa depan keluarga,” lanjut dr Laura.

Melihat berbagai fakta yang ada, Himawan Purnama, Head of Product Development Prudential Indonesia menjelaskan asuransi kondisi kritis saat ini terbatas pada diagnosis jenis penyakit.

PRUTop dan PRUTop Syariah menawarkan konsep baru perlindungan kondisi kritis yang berfokus pada perawatan, tindakan, atau ketidakmampuan permanen yang terjadi akibat kondisi kritis.

Pewarta: ASJ

Editor : Ajat Sudrajat


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020