DPR RI dalam lima tahun masa bakti periode 2014-2019 telah mengesahkan 91 rancangan undang-undang (RUU).
"Sampai tanggal 29 September 2019, DPR telah menyelesaikan 91 RUU yang terdiri atas 36 RUU dari daftar Prolegnas 2015-2019 dan 55 RUU Kumulatif Terbuka," kata
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, RUU Kumulatif Terbuka tersebut terdiri atas pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah Konstitusi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi undang-undang.
DPR juga telah menyelesaikan pembahasan berbagai RUU untuk disetujui bersama pemerintah antara lain RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018, RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 serta RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
RUU tentang Pekerja Sosial, RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU tentang Sumber Daya Air dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
RUU tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU tentang Ekonomi Kreatif; RUU tentang Pesantren, RUU tentang Perkoperasian dan RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
"Namun terdapat sejumlah RUU Prioritas yang masih dalam Pembicaraan Tingkat I di komisi dan pansus yang belum dapat diselesaikan," kata Bamsoet.
Antara lain RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Kewirausahaan Nasional, RUU tentang Desain Industri, RUU tentang Bea Materai dan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol; RUU tentang Pertembakauan serta RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan.
Dia berharap sejumlah RUU yang tidak dapat diselesaikan tersebut dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang, karena "carryover" legislasi sudah ada landasan hukumnya, yaitu disetujuinya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan undang-undang tersebut, menurut dia, dilakukan berdasarkan pertimbangan efisiensi waktu dan biaya dalam rangka percepatan pembahasan sebuah rancangan undang-undang.
"Kami menyadari bahwa pelaksanaan Prolegnas selama ini sulit mencapai target karena berbagai kendala, antara lain pertama, penentuan target Prioritas Tahunan yang terlalu tinggi yang belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi," katanya.
Kendala kedua, lemahnya parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukkan dalam Prolegnas.
Ketiga, penyelesaian pembahasan seringkali mengalami deadlock untuk materi tertentu karena adanya ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR maupun di internal pemerintah.
Baca juga: Gerindra tunjuk Muzani dan Dasco jadi Pimpinan MPR-DPR
Baca juga: Menko Polhukam: Pelantikan Presiden dan DPR amanat konstitusi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
"Sampai tanggal 29 September 2019, DPR telah menyelesaikan 91 RUU yang terdiri atas 36 RUU dari daftar Prolegnas 2015-2019 dan 55 RUU Kumulatif Terbuka," kata
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, RUU Kumulatif Terbuka tersebut terdiri atas pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah Konstitusi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi undang-undang.
DPR juga telah menyelesaikan pembahasan berbagai RUU untuk disetujui bersama pemerintah antara lain RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018, RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 serta RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
RUU tentang Pekerja Sosial, RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU tentang Sumber Daya Air dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
RUU tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU tentang Ekonomi Kreatif; RUU tentang Pesantren, RUU tentang Perkoperasian dan RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
"Namun terdapat sejumlah RUU Prioritas yang masih dalam Pembicaraan Tingkat I di komisi dan pansus yang belum dapat diselesaikan," kata Bamsoet.
Antara lain RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Kewirausahaan Nasional, RUU tentang Desain Industri, RUU tentang Bea Materai dan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol; RUU tentang Pertembakauan serta RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan.
Dia berharap sejumlah RUU yang tidak dapat diselesaikan tersebut dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang, karena "carryover" legislasi sudah ada landasan hukumnya, yaitu disetujuinya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan undang-undang tersebut, menurut dia, dilakukan berdasarkan pertimbangan efisiensi waktu dan biaya dalam rangka percepatan pembahasan sebuah rancangan undang-undang.
"Kami menyadari bahwa pelaksanaan Prolegnas selama ini sulit mencapai target karena berbagai kendala, antara lain pertama, penentuan target Prioritas Tahunan yang terlalu tinggi yang belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi," katanya.
Kendala kedua, lemahnya parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukkan dalam Prolegnas.
Ketiga, penyelesaian pembahasan seringkali mengalami deadlock untuk materi tertentu karena adanya ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR maupun di internal pemerintah.
Baca juga: Gerindra tunjuk Muzani dan Dasco jadi Pimpinan MPR-DPR
Baca juga: Menko Polhukam: Pelantikan Presiden dan DPR amanat konstitusi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019