Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana kasus korupsi kembali maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Hal tersebut berdasarkan dikabulkannya uji materi oleh MA atas Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua eks pimpinan KPK yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad.
"Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum anggota DPD serta seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon," demikian bunyi keterangan tertulis MA, Sabtu.
Dua ketentuan tersebut dipersoalkan karena dinilai membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusan, MA pun menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.
Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pertimbangan hukum, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil pemilu.
MA menyebut tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.
Tujuan Pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis maka diperlukan sistem penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas.Bahwa Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) untuk memilih wakil rakyat yang berintegritas tinggi, perlu dibangun dengan sistem dan syarat pencalonan yang mencerminkan upaya pencegahan masuknya calon-calon wakil rakyat yang tidak berintegritas;
Kemudian guna memperoleh wakil rakyat yang berintegritas maka diperlukan syarat-syarat yang ketat terhadap proses pencalonan, sehingga warga negara yang mempunyai hak pilih disediakan calon-calon yang berintegritas tinggi untuk dipilih oleh partai politik (parpol) peserta Pemilu dan Komisi Pemilihan
Oleh karena itu, MA berpandangan bahwa KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Menurut MA, pedoman jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan.
Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
KPK Apresiasi
Juru bicara KPK Ali Fikri mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait jeda mantan narapidana kasus korupsi ikut dalam kontestasi pemilu.
Menurut dia, putusan MA itu selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya.
“Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi,” kata Ali Fikri di Jakarta, Sabtu.Ali Fikri menjelaskan dalam sejarah KPK terkait penanganan perkara, sering mengenakan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik ke terdakwa jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi (TPK).
“Pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku, yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan,” ujarnya.
Menurut dia, pencabutan hak politik juga memperlihatkan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang pelaku lakukan, telah menyalahgunakan kepercayaan publik.
Karena itu, ia menilai perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik di masa mendatang oleh mantan narapidana korupsi.
“Namun, penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik tetap harus dilakukan dengan berdasar pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia,” katanya.
Untuk diketahui, para pemohon dalam perkara uji materi dua PKPU adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua mantan pimpinan KPK yaitu Saut Situmorang dan Abraham Samad.
Pasal 11 PKPU 10/2023 mengatur syarat administrasi untuk menjadi bakal caleg DPR serta DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dan Pasal 18 PKPU 11/2023 mengatur syarat untuk menjadi bakal caleg DPD.
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.
Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: MA perintahkan KPU cabut aturan permudah eks napi korupsi