Royke melanjutkan pendorong utama kredit 2021 adalah penyaluran sektor business banking terutama pembiayaan ke segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen (yoy) menjadi Rp10,4 triliun, segmen large commercial yang tumbuh 10,4 persen menjadi Rp 40,9 triliun, dan segmen kecil juga tumbuh 12,9 persen dengan nilai kredit Rp 95,8 triliun. Secara keseluruhan kredit di sektor business banking tumbuh 4,5 persen menjadi Rp 82,4 triliun.
Sementara di sektor consumer, kredit terbesar yang tumbuh adalah kredit payroll yang naik 18,3 persen (yoy) menjadi Rp35,8 triliun, kemudian kredit kepemilikan rumah (mortgage) tumbuh 7,7 persen menjadi Rp 49,6 triliun, sehingga secara keseluruhan kredit consumer tumbuh 10,1 persen menjadi Rp 99 triliun.
Pada kesempatan yang sama Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini memaparkan peran pendapatan nonbunga juga tergolong semakin kuat pada pencapaian 2021. FBI pada 2021 tumbuh 12,8 persen (yoy) menjadi sebesar Rp13,64 triliun. FBI tahun 2021 didukung oleh fee consumer dan fee business banking yang masing-masing tumbuh 6,0 persen dan 10,7 persen.
“Pertumbuhan kredit ditopang oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai Rp29,17 triliun atau tumbuh 15,5 persen (yoy) dan membawa BNI pada situasi likuiditas yang sangat mencukupi dan jauh melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu," katanya.
Penghimpunan DPK tersebut, kata Novita, menguat di kuartal 4 tahun 2021, meskipun suku bunga simpanan terus menurun. Bekal DPK tersebut membuat BNI memiliki cadangan likuiditas yang tangguh dan siap digunakan jika permintaan kredit meningkat atau pasar obligasi berubah menjadi lebih baik tahun 2022.
“Dana murah atau CASA BNI juga masih mendominasi DPK, yaitu terjaga pada level 69,4 persen dari seluruh DPK. CASA terdongkrak hingga 17,1 persen (yoy) menjadi Rp506,06 triliun. Pertumbuhan dana murah ini mendorong perbaikan cost of fund dari 2,6 persen pada akhir tahun 2020 menjadi 1,6 persen tahun 2021,” jelas dia.