Antarajabar.com - Provinsi Jawa Barat masih menjadi tujuan favorit para investor baik asing maupun domestik untuk menanamkan investasinya pada 2015, kata Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto.

"Jawa Timur menjadi provinsi dengan nilai investasi yang berasal dari dalam negeri terbesar sepanjang 2015, dengan nilai investasi sebesar Rp35,5 triliun. Disusul Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Untuk investasi Asing (PMA), provinsi dengan porsi terbesar adalah Jawa Barat dengan Rp76,8 triliun," katanya dalam siaran persnya melalui Biro Humas Protokol dan Umum Setda Provinsi Jabar, Senin

Dalam seminar nasiobal yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan bekerja sama dengan Harian Bisnis Indonesia, ia mngungkapkan dalam materi presentasinya "Review Perekonomian Indonesia" bahwa realisasi investasi langsung di Jawa Barat mencapai Rp103,1 triiliun melebihi target investasi 2015 sebesar Rp95 triliun.

Menurut dia tercatat dari data yang berasal dari BKPM 2016, Jawa Barat mendapat total nilai investasi sebesar Rp103,1 triliun lebih dengan rincian investasi asing (FDI) yang masuk sebesar Rp76,8 triliun lebih dan investasi yang beradal dari dalam negeri (DDI) sebesar Rp26,2 triliun lebih.

Sementara Jawa Timur menempati urutan kedua dengan total nilai investasi sebesar Rp70,2 triliun dengan FDI sebesar Rp34,7 triliun lebih dan DDI sebesar Rp35,4 triliun lebih dan posisi ketiga ditempati DKI Jakarta dengan total nilai investasi Rp63,9 triliun dengan FDI sebesar Rp48,4 triliun lebih dan DDI sebesar Rp15,5 triliun lebih

Sementara itu, ditemui usai dialog Gubernur Ahmad Heryawan atau Aher mengharapkan agar kegiatan ekonomi nasional, khususnya di Jawa Barat terus meningkat - termasuk aliran investasi baik dari dalam maupun luar negeri terus mengalir.

Ia mengatakan hal tersebut harus didukung oleh rendahnya suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI Rate). Seperti diketahui bahwa BI Rate saat ini (per 18 Februari 2016) berada di level 7.00 persen (sumber www.bi.go.id).

"Dampak dari suku bunga yang masih tinggi itu adalah investasi menjadi tidak bergairah. Kalau tidak bergairah tentu produksi juga menjadi rendah dan yang dikonsumsi masyarakat jadi lebih sedikit. Ditambah suku bunga juga - khawatir - sedikit banyak berpengaruh pada kemampuan konsumsi," ujarnya.

"Kita bayangkan kalau kemampuan konsumsi rendah kemudian pada saat yang bersamaan juga investasi rendah dan tidak bergairah, pertumbuhan (ekonomi) juga menjadi rendah," lanjutnya.

Selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi, menurut Aher suku bunga tinggi juga akan berpengaruh pada nasionalisme masyarakat terhadap dunia perbankan nasional.

"Dan bahaya juga secara nasionalisme ya, karena kalau suku bunga itu tinggi jangan-jangan bank asing laku di Indonesia. Bank sendiri kemudian diabaikan oleh masyarakat kita sendiri," katanya.

Untuk itu, Aher ingin Bank Indonesia serta para pihak terkait lainnya agar bisa mengkaji penyebab dari BI Rate yang masih tinggi tersebut karena apabila dibandingkan dengan negara Asean lainnya BI Rate memiliki nilai paling tinggi. 



Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016