Petahana Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan presiden di Rusia dengan perolehan 87,28 persen suara, setelah memproses 100 persen surat suara, demikian menurut data terbaru dari Komisi Pemilihan Umum Pusat Rusia (CEC) pada Senin.

Menurut data CEC, Ketua Komite Pembangunan Timur Jauh dan Arktik di majelis rendah Nikolay Kharitonov, memperoleh 4,31 persen suara, sementara Ketua Komite Urusan Internasional majelis rendah Leonid Slutsky mendapatkan 3,20 persen, dan Wakil Ketua majelis rendah Vladislav Davankov  meraih  3,85 persen suara.

Kemenangan Putin memperpanjang kekuasaannya selama hampir seperempat abad hingga enam tahun lagi, mengkonsolidasikan cengkeramannya pada kekuasaan di tengah perang negara tersebut dengan Ukraina.

Hasil pemilu ini mengundang reaksi kritis dari negara-negara Barat yang memandang pemilu tersebut tidak bebas dan tidak adil.

Lebih dari 70 juta suara diberikan kepada Putin, melampaui rekor pasca-Soviet sebelumnya yaitu sekitar 56,42 juta suara yang ia raih pada pemilu 2018.

Berbicara di markas pemilihan di Moskow, Putin berterima kasih kepada masyarakat karena menaruh “kepercayaan” kepadanya ketika ia menyatakan kemenangan setelah tiga hari pemungutan suara hingga Minggu.

Dia juga berjanji untuk melanjutkan perang sampai Rusia mencapai “tujuannya”, dan menekankan pada aneksasi empat wilayah di Ukraina selatan dan timur, yang diumumkan Moskow setelah memulai perang, sebagai sebuah pencapaian.

Pemilihan tersebut berlangsung ketika perang di Ukraina memasuki tahun ketiga, membuat Rusia berada dalam konfrontasi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang telah menerapkan serangkaian sanksi.


Putin, yang memenangi pemilihan presiden kelimanya, telah berkuasa sejak pertama kali menjadi presiden Rusia pada tahun 2000, termasuk periode 2008 hingga 2012 ketika ia menjabat sebagai perdana menteri.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih seperti dikutip Reuters mengatakan pemilu tersebut jelas "tidak bebas dan tidak adil," mengingat Putin telah "memenjarakan lawan politik dan mencegah pihak lain mencalonkan diri melawannya."

Di Tokyo pada Senin, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menolak mengomentari hasil pemilihan presiden Rusia, namun ia mengatakan Tokyo berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa wilayah dan "menandatangani perjanjian damai" dengan Moskow.

Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengkritik "diktator Rusia" itu karena "meniru" pemilu, dan menambahkan bahwa pemilu tersebut "tidak sah.”


Eropa kecam

Sejumlah negara Eropa pada Senin (18/3) mengecam pelaksanaan pemilihan presiden Rusia di daerah Ukraina yang diduduki negara tersebut sebagai bentuk tindakan pelanggaran kedaulatan.

"Prancis mengecam Rusia yang melaksanakan apa yang mereka sebut 'pemilu' di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia: Republik Otonom Krimea, Kota Sevastopol, dan juga sebagian daerah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Prancis.

Krimea dan Sevastopol diduduki Rusia sejak 2014, dan empat kawasan Ukraina lainnya dicaplok Rusia secara ilegal pada September 2022 setelah negara tersebut melancarkan serangannya ke Ukraina pada Februari di tahun yang sama.


Sebagian besar anggota-anggota komunitas internasional tidak mengakui aneksasi ilegal tersebut.

"Pelaksanaan ilegal 'pemilu' di daerah Ukraina yang diduduki Rusia tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional dan Piagam PBB," ucap Kemlu Prancis.

Prancis menegaskan tidak akan mengakui baik pelaksanaan pemilu tersebut maupun hasilnya.

Selain itu, Prancis juga mengecam kurangnya demokrasi dan keberagaman calon presiden, serta keengganan Rusia mengundang pengamat asing dalam pilpresnya.

"Calon-calon yang menentang keberlanjutan perang di Ukraina tidak diizinkan ikut serta dalam pemilu sehingga mengurangi tingkat pluralisme (calon)," demikian Kemlu Prancis.

Senada, Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengecam pelaksanaan pilpres Rusia di daerah Ukraina yang diduduki sebagai pelanggaran kedaulatan Ukraina yang bertentangan dengan Piagam PBB.

Cameron juga mengecam pengekangan yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin yang berupaya "membungkam oposisi terhadap perang di Ukraina yang ilegal".

Ia turut mengkritik kurangnya keberagaman calon di pilpres tersebut karena hanya diikuti oleh tiga calon lain selain Putin.

Jerman juga mengkritik pilpres Rusia dan menyebut pemilu tersebut pada dasarnya "tidak bebas maupun adil".


Juru bicara pemerintah Jerman Christiane Hoffmann mengatakan, Kanselir Olaf Scholz tidak akan menyampaikan ucapan selamat kepada Putin yang memenangi pemilu itu.

"Kami menganggap apa yang disebut 'pemilu' di Rusia yang digelar pekan lalu tidak bebas serta tidak adil," ucap Hoffmann.

Ia mengatakan, pemilu tersebut tidak demokratis karena tidak ada calon yang dinilai benar-benar mewakili pihak oposisi.

Juru bicara juga mengatakan pihaknya mengecam pelaksanaan pilpres Rusia di daerah Ukraina yang diduduki negara itu.

"Tentu saja kami tidak akan mengakui hasilnya karena hanya Ukraina yang berhak mengadakan pemilu di daerah tersebut," tutur Hoffmann.

"Demikianlah pandangan kami terkait apa yang disebut pemilu itu, dan karena itulah kanselir tidak akan mengucapkan selamat kepada Putin," katanya menambahkan.

Vladimir Putin dipastikan terpilih kembali sebagai Presiden Rusia setelah mendapat 87,32 persen suara dari 99,75 persen surat suara yang sudah dihitung penyelenggara pemilu Rusia.

 

Sumber: Sputnik - Kyodo -  Anadolu

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Petahana Vladimir Putin menang telak dalam pilpres Rusia

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024