Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Dr Heri Andreas menyatakan bahwa penanganan banjir harus disesuaikan dengan karakter wilayah yang kerap kali mengalami banjir.

Heri  di Bandung, Senin menjelaskan karakter kota dan pedesaan pasti berbeda, dia mencontohkan di Kota Bandung, tepatnya di pemukiman padat Gang Apandi, Braga, yang pada Kamis (11/1) lalu diterjang banjir dari Sungai Cikapundung akibat hujan deras yang terjadi.

Baca juga: Pj Gubernur Jabar minta Pj Wali Kota Bandung segera tangani tanggul jebol Cikapundung

Untuk penanganan banjir, Heri mengatakan bahwa biasanya pengelolaan volume air yang meningkat saat hujan deras dapat dilakukan dengan infiltrasi (penguatan daya serap) maupun run off (penguatan daya tampung).

"Jika infiltrasi diutamakan sebagai solusi, maka lahan terbuka hijau harus sangat banyak sehingga daya serap air semakin besar. Namun, wilayah di Kota Bandung khususnya bagian utara, yang mestinya menjadi daerah serapan sudah dipenuhi dengan permukiman. Akhirnya itu dinilai membuat solusi dengan infiltrasi atau menambah daya serap menjadi tidak realistis," kata Heri.

Adapun pilihan lainnya, yakni penguatan daya tampung, dapat dilakukan dengan normalisasi area sungai, naturalisasi, maupun kolam retensi, namun hal ini pun memiliki tantangan tersendiri karena kondisi kota yang sudah padat.

"Realitasnya, apakah daya tampung dapat disiapkan secara maksimal karena di lapangan sudah padat sehingga sulit untuk pelebaran sungai. Kolam retensi pun sulit dilakukan. Akhirnya yang memungkinkan ditanggul setinggi mungkin. Persoalannya, ketika tanggul tersebut jebol bencananya juga luar biasa," ujarnya.

Heri mengatakan kapasitas Sungai Cikapundung relatif kecil sehingga tidak dapat menampung volume air yang besar.

"Pemerintah sudah melakukan mitigasi melalui pembuatan tanggul sehingga sedikit menambah kapasitas sungai dan air tidak luber ke samping kiri dan kanan sungai. Namun, ketika volume airnya besar akan ada potensi tanggulnya jebol," tuturnya.

Dia menjelaskan curah hujan memiliki karakteristik rendah, tinggi, dan bisa sangat tinggi serta memiliki masanya, hingga akhirnya muncul siklus banjir 5 tahunan hingga dalam waktu yang lebih cepat maupun lama.

"Banjir kemarin itu, kemungkinan volume yang biasa terjadi sekian puluhan tahunan. Jadi ada anomali curah hujan yang sangat besar," tuturnya.
Heri juga mencontohkan sejumlah kota di negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, Thailand, hingga Filipina sudah menerapkan infiltrasi yang sangat baik untuk mempersiapkan apabila terjadi siklus banjir tertentu.

"Di Jepang misalnya infiltrasinya dibuat bagus, kapasitasnya dibuat sangat besar. Kiri kanan sungai dapat menampung seandainya ada banjir," ujarnya.

Di pinggiran sungai di Jepang, kata dia, ketika hujannya kecil lokasi pinggiran sungai tersebut dapat menjadi area bermain hingga fasilitas olahraga dan ketika curah hujan tinggi, area tersebut menjadi daya tampung banjir.

Selain itu, solusi lain yang sudah ada di Tokyo, Jepang, seperti "katedral bawah tanah", yang dibangun di bawah infrastruktur gedung-gedung untuk daya tampung air yang sangat luar biasa.

Adapun di Hongkong, yang kotanya sudah padat, kata dia, memutuskan penanganan banjir dengan terowongan bawah tanah (underground tunnel), yakni pembesaran gorong-gorong bawah tanah sebagai opsi lain dari aliran sungai.

Di sisi lain, Heri juga menilai perlunya rencana strategis (renstra) dari pemerintah untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 20 tahun ke depan untuk penanganan banjir, serta menekankan perlunya ada lembaga khusus yang fokus untuk penanganan banjir.

"Kini belum ada pihak yang fokus dan bertanggung jawab untuk menangani banjir. Dari sisi kelembagaannya, entah itu koordinasi antar lembaga, entah itu lembaga yang benar-benar berdedikasi untuk urusan banjir ternyata masih belum khusus ada. Seharusnya perlu lembaga khusus yang fokus terhadap banjir," ujarnya.

Di sisi lain, ucapnya, upaya yang lebih perlu dilakukan untuk mempersiapkan daya tampung dan menambah infiltrasi. Misalnya program biopori ditingkatkan, normalisasi, naturalisasi yang digiatkan.

"Terkait hal tersebut, karena memerlukan waktu yang panjang, maka perlu investasi yang lebih tinggi untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dari banjir," tuturnya.

Baca juga: Tanggul jebol di Sungai Cikapundung Bandung diperbaiki
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi ITB: Penanganan banjir harus disesuaikan karakter wilayahnya

Pewarta: Ricky Prayoga

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024