Siang itu matahari cukup terik, udara lembab, angin sedikit kencang. Aroma khas daerah pesisir terasa ketika pertama kali masuk areal parkir.

Areal parkir yang belum terbangun sempurna itu ditumbuhi rerumputan cukup panjang di kanan dan kirinya.

"Areal parkir kendaraan masih seperti ini, belum jadi," kata Zay, sapaan akrab Zaenudin (27), pria berkacamata Ketua Penggerak Wisata Pengarengan (Pespa).

Zay bercerita cukup panjang terkait upaya mengembangkan ekowisata mangrove yang berada di Desa Pengarengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Zay kemudian menunjukkan lahan pembibitan mangrove tepat di samping areal yang rencananya digunakan untuk parkir kendaraan wisatawan.

Tampak bibit pohon mangrove tingginya sekitar 50 sentimeter yang sudah siap disebarkan ke lahan lebih luas.
 
Ketua Penggerak Wisata Pengarengan (Pespa) Zaenudin menunjukkan bibit mangrove di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (19/7/2022). (ANTARA/Khaerul Izan)

Pembibitan tersebut upaya untuk merawat dan mengembangkan mangrove yang saat ini tumbuh subur di daerah itu.

Lokasi ekowisata mangrove Pangarengan berjarak 18 kilometer dari pusat Kota Cirebon sesuai dengan petunjuk google maps.

Bila perjalanan menggunakan kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil, wisatawan bisa menempuh kurang lebih setengah jam, tergantung kecepatan, dan kondisi jalan sekitar.


Menyusuri ekowisata

Menuju ekowisata mangrove, wisatawan harus menggunakan perahu nelayan yang memang sudah dipersiapkan, dan ongkos sewanya pun cukup ramah di kantong.

Perahu nelayan itu kemudian melaju dari dermaga ala kadarnya untuk menyusuri Sungai Singaraja, perjalanan cukup menghibur, apalagi bagi wisatawan yang jarang melihat suasana perkampungan nelayan.

Karena wisatawan akan disuguhkan dengan perahu nelayan yang berjajar rapih disandarkan tepat di depan rumah mereka.
Wisatawan juga bisa melihat aktivitas nelayan, mulai dari menurunkan hasil tangkapan, memperbaiki jaring atau alat tangkap, perahu, dan juga bercengkerama dengan keluarganya.

Setelah sekitar lima menit perjalanan, selanjutnya akan nampak pohon mangrove yang tumbuh di sebelah kanan dan kiri Sungai Singaraja.

Usia pohon mangrove tersebut diperkirakan sudah mencapai puluhan tahun, bahkan, kata Zay, sebelum ia dilahirkan masyarakat sudah mulai menanam mangrove untuk melindungi tambak mereka dari abrasi.

"Pohon mangrove usianya sudah puluhan tahun, info dari warga sekitar. Bahkan sebelumnya banyak warga dari luar desa maupun luar daerah yang mengambil bibit di sini," katanya.

Perjalanan menuju kawasan hutan mangrove memang cukup mengasyikkan, karena di sepanjang perjalanan wisatawan bisa berpapasan dengan nelayan yang akan pulang dan berangkat mencari ikan.

Selain itu, hutan mangrove cukup lebat juga menjadi pemandangan yang membuat takjub, apalagi wisatawan baru masuk dan menyusuri kawasan mangrove Pengarengan.

Perlu perhatian

Kawasan hutan mangrove yang cukup luas itu hanya memiliki trek sepanjang 100 meter, dan itu tentu belum cukup untuk menikmati luasnya hamparan mangrove tersebut.

Trek itu pun merupakan usaha dari para pemuda yang ingin menjadikan kawasan hutan mangrove Pengarengan bisa dinikmati semua orang.

"Kami menggandeng perusahaan swasta untuk ikut membangun trek ini. Karena memang biaya cukup besar," ujar Zay.

Ia menuturkan saat ini pihak desa juga belum ikut mengembangkan ekowisata mangrove, padahal prospek ke depannya cukup menjanjikan.

Padahal, dengan adanya destinasi wisata, dan kedatangan wisatawan yang banyak, maka objek alam ini dapat meningkatkan taraf ekonomi warga, terutama para nelayan.

Sebab, menurut dia, wisatawan yang akan berkunjung ke ekowisata mangrove Pengarengan harus menyewa perahu nelayan, dan itu membuat tambahan pemasukan bagi mereka.

"Kami memang butuh dukungan dari semua pihak, terutama desa dan Dinas Pariwisata. Karena dengan adanya wisata maka akan menyejahterakan warta sekitar," katanya.
Salah seorang pengunjung, Siti Mariah mengatakan kawasan hutan mangrove di Desa Pengarengan ini sangat berbeda dengan beberapa wisata mangrove yang pernah ia kunjungi.
 
Ia memaparkan perjalanan ke ekowisata mangrove itu sangat mengasyikkan, namun dirinya menyayangkan dengan trek yang masih terlalu pendek.

"Kalau dibuat lebih baik lagi dan panjang, mungkin ini menjadi salah satu destinasi wisata mangrove yang wajib dikunjungi," katanya.


Desa wisata

Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Cirebon Yayan Suratman mengatakan pihaknya tidak bisa ikut campur terlalu banyak untuk mempercantik destinasi wisata, terutama mangrove.

Ia mengakui anggaran yang dimilikinya pun tidak terlalu banyak, bahkan regulasi atau aturan belum ada, sehingga saat ini pihaknya terus berupaya membuat regulasi terlebih dahulu.

"Kami baru membuat regulasi, dengan akan menetapkan 20 desa wisata, agar ketika kami melangkah ada dasarnya," kata Yayan.

Ia mengatakan khusus untuk wisata mangrove, Kabupaten Cirebon memiliki tiga potensi besar di sektor tersebut, yaitu di Desa Pengarengan, Mundu Pesisir, dan Desa Ambulu.
Ketiga desa tersebut, lanjut Yayan, sudah masuk dari 20 desa yang akan ditetapkan sebagai desa wisata. Dan nantinya diharapkan dengan adanya penetapan tersebut bisa memberikan dampak yang lebih baik dalam rangka membangun destinasi wisata.

Yayan mengatakan saat ini Kabupaten Cirebon sangat minim destinasi wisata, sehingga yang menjadi sektor andalan hanya wisata kuliner, dan juga hiburan saja.

"Jadi kami harapkan nantinya 20 desa wisata ini benar-benar terwujud, dan menambah destinasi wisata di Kabupaten Cirebon," katanya.

Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor terpuruk ketika terjadi pandemi COVID-19, tetapi seiring melandainya kasus sektor tersebut kembali bangkit, apalagi selama dua tahun masyarakat terkurung di rumah masing-masing.

Dengan demikian, peluang yang ada di depan mata ini harus ditangkap dengan cepat, dan semua tempat yang memiliki potensi untuk dijadikan destinasi wisata perlu digarap, terutama di kabupaten Cirebon.

 

Pewarta: Khaerul Izan

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022