Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, menyampaikan persentase anak yang mengalami gangguan pertumbuhan berupa kekerdilan di daerah itu mengalami penurunan dalam kurun waktu empat tahun dari 27,79 persen menjadi 5,33 persen.
 
Menurut Wakil Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kota Bogor, Dedie A. Rachim di Kota Bogor, Jumat, persentase penurunan angka kekerdilan pada anak di daerahnya sejalan dengan misi Indonesia Emas tahun 2045 zero kekerdilan.
 
"Presiden menargetkan tahun 2024 angka stunting nasional 14 persen. Kami ingin merespons, langkah Pemerintah Kota Bogor terhadap nasional, sehingga kami membuat konsepsi untuk bagaimana menurunkan tingkat stunting," jelas Dedie.
 
Dedie berpandangan, untuk menggapai tujuan menjadi Indonesia Emas 2045, tak hanya bicara soal pembangunan infrastruktur, namun juga indeks pembangunan manusia di setiap daerah.
 
Hingga saat ini, ada beberapa faktor risiko penyebab terjadi kekerdilan secara nasional maupun di Kota Bogor, kata Dedie, di antaranya pernikahan remaja sebesar 39 persen, anak remaja dengan anemia 3,52 persen, ibu hamil dengan anemia 11,8 persen, dan faktor lainnya termasuk pandemi COVID-19 yang terjadi selama dua tahun ke belakang ini.
 
Dedie menyampaikan penurunan angka kekerdilan Kota Bogor juga telah disampaikan pada Rapat koordinasi (Rakor) Teknis TPPS se-Provinsi Jawa Barat yang dilangsungkan di Grand Hotel Preanger, Jalan Asia - Afrika, Kota Bandung, Kamis (23/6).
 
"Competitiveness dari sumber daya manusia Indonesia ini bisa dibangun dengan cara menurunkan tingkat risiko stunting yang ada di seluruh Indonesia," katanya.
 
Sebelumnya, dalam sambutan pembukaan rakor teknis TPPS se-Provinsi Jawa Barat, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyampaikan penurunan persentase kekerdilan di wilayahnya.
 
Uu menyampaikan prevalensi kekerdilan tahun 2021 menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) secara nasional 24,4 persen.

Sementara Provinsi Jawa Barat sebesar 24,5 persen, masih di atas angka nasional. Namun demikian, terjadi penurunan dari tahun 2019 sebesar 26,2 persen.
 
Uu mengaku Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah prioritas penggarapan penurunan angka kekerdilan di Indonesia, mengingat jumlah penduduk Jawa Barat yang lebih tinggi dibanding yang lain.
 
"Hasil pendataan, jumlah balita tahun 2021 tercatat ada sekitar 3,2 juta di Jawa Barat. Sehingga secara absolut, angka kasus stunting masih tinggi dan akan mempengaruhi prevalensi stunting secara nasional," jelas Uu lagi.
 
Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuktikan keseriusannya untuk menangani kekerdilan dengan membentuk TPPS di setiap daerah kabupaten/kota di Jawa Barat. Ditambah pembentukan satgas oleh BKKBN pusat.
 
"Percepatan penurunan stunting bukan hanya tugas dinas kesehatan, BKKBN, atau Bappeda. Namun semua sektor, swasta dan seluruh elemen masyarakat. Percepatan penurunan stunting ini harus menjadi program prioritas para kepala daerah," kata Uu.
 

 Status merah

Sebelumnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan terdapat lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Jabar) memiliki angka prevalensi kekerdilan (stunting) di atas 30 persen atau masuk dalam status merah.

“Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru, yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Berdasar Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, ia menyebutkan empat kabupaten/kota dengan angka prevalensi di atas 30 persen itu adalah Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung.

Kemudian, sebanyak 14 kabupaten/kota berstatus kuning atau angka prevalensi berkisar 20-30 persen seperti Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, Majalengka, Pangandaran, Sumedang, Kabupaten Bekasi, Purwakarta serta Karawang.

Sementara sembilan kabupaten/kota memiliki status hijau atau angka prevalensinya mencapai 10-20 persen, yakni Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kuningan, Subang, Kota Bogor, Ciamis, Indramayu, Kota Bekasi serta Kota Depok.

Guna menurunkan angka prevalensi anak yang lahir dalam keadaan kerdil di Provinsi Jawa Barat itu, kata dia, BKKBN telah menurunkan sebanyak 37.184 tim pendamping keluarga (TPK).

Diturunkannya tim pendamping keluarga dalam jumlah banyak yang terdiri atas bidan, PKK dan kader KB itu, katanya, dirasa dapat menjalankan tugas strategis untuk meningkatkan akses informasi, pelayanan melalui penyuluhan, fasilitas pelayanan rujukan dan fasilitas penerimaan program bantuan sosial (bansos).

Tim itu juga bisa mendeteksi dini faktor risiko kekerdilan pada anak baik secara spesifik maupun sensitif. Dengan fokus sasaran pemberian pendampingan mencakup calon pengantin, ibu hamil, pasca persalinan dan anak-anak usia balita.

Selain menurunkan tim pendamping keluarga, ia juga menekankan bila pola pikir masyarakat yang lebih memilih "pre-wedding" dibanding menggunakan "pre-konsepsi" harus betul-betul diubah.

“jika dioptimalkan akan menjadi kekuatan besar dalam upaya percepatan penurunan stunting. Jika disetarakan dengan jumlah sumber daya manusia, keberadaan TPK tersebut sama dengan 111.552 orang,” kata Hasto Wardoyo.

Pewarta: Linna Susanti

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022