Harga minyak mengembalikan beberapa kerugiannya di sesi Asia pada Jumat pagi, tetapi berada di jalur untuk penurunan mingguan terbesar sejak November setelah bergerak maju-mundur di tengah kekhawatiran meningkatnya larangan minyak Rusia versus upaya untuk membawa lebih banyak pasokan ke pasar dari negara-negara produsen besar lainnya.

Minyak mentah berjangka Brent naik tipis 11 sen menjadi diperdagangkan di 109,44 dolar AS per barel pada pukul 01.49 GMT, setelah merosot 1,6 persen di sesi sebelumnya.

Baca juga: Harga minyak ditutup turun lagi, Rusia penuhi kewajiban kontrak pasokan

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 46 sen atau 0,4 persen, menjadi diperdagangkan di 106,48 dolar AS per barel, menyusul penurunan 2,5 persen pada Kamis (10/3/2022).

Dalam seminggu perdagangan bergejolak yang ditandai dengan pembicaraan tentang embargo minyak Rusia kemudian potensi penambahan pasokan dari Iran, Venezuela dan Uni Emirat Arab sementara pertempuran meningkat di Ukraina, Brent berada di jalur untuk penurunan mingguan sekitar 7,0 persen setelah mencapai tertinggi 14 tahun di 139,13 dolar AS. Minyak mentah AS menuju penurunan sekitar 8,0 persen setelah menyentuh tertinggi 130,50 dolar AS.

Harga mereda minggu ini setelah menjadi jelas bahwa Uni Eropa, yang sangat bergantung pada energi Rusia, tidak akan bergabung dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam melarang impor minyak Rusia.
Rusia, pengekspor minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi, mengekspor sekitar 3 juta barel per hari minyak mentah ke negara-negara OECD Eropa.

"Pasar minyak tidak siap menghadapi guncangan pasokan seperti itu karena persediaan berada di level terendah multi-tahun," kata analis ANZ Research dalam sebuah laporan.

Baca juga: Harga minyak catat hari terburuk sejak pandemi, UEA serukan naikkan produksi

Dalam waktu dekat, kesenjangan pasokan tidak mungkin diisi oleh produksi tambahan dari anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, bersama-sama disebut OPEC+, mengingat Rusia adalah bagian dari pengelompokan tersebut, kata analis Commonwealth Bank, Vivek Dhar.

“Mereka benar-benar terikat secara politis oleh struktur itu,” katanya.

Selain itu, beberapa produsen OPEC+, termasuk Angola dan Nigeria, telah berjuang untuk memenuhi target produksi mereka, yang semakin membatasi kemampuan grup untuk mengimbangi kehilangan pasokan Rusia.

Commonwealth Bank memperkirakan Brent akan mencapai rata-rata 110 dolar AS pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini, tetapi juga melihat harga berpotensi naik setinggi 150 dolar AS dalam jangka pendek.

“Semuanya sangat tidak pasti. Sangat sulit untuk keluar dengan sebuah pandangan,” kata Dhar.

Pewarta: Apep Suhendar

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022