-
Oleh Prof. Dr. Nandang Rusmana, M. Pd *)

Akhir-akhir ini, Indonesia telah mengalami banyak peristiwa kebencanaan baik yang bersumber dari alam maupun non-alam. Akhir-akhir ini mencuat tsunami sosial yang hebat yakni Pandemi COVID-19. World Health Organization (WHO) sudah mengumumkan status pandemi global untuk penyakit virus corona 2019 atau yang juga disebut corona virus disease 2019 (COVID-19). Berdasarkan data statistik terbaru WHO mencatat pada bulan Juli – Agustus 2021 kasus baru yang muncul rata-rata adalah 607.993 kasus yang tersebar di 110 negara di seluruh dunia.

Dengan mendeklarasikan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), WHO merekomendasikan seluruh negara untuk mengantisipasi COVID-19. Pandemi COVID-19 berdampak luas, bukan saja pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek perilaku, emosional, psikologis, dan bahkan psikososial. Studi terakhir terhadap virus SARS, virus ebola, pengungsi,  korban penyanderaan,  korban  bencana,  dan para wanita yang mengalami distancing social karena virus SARS dan Ebola mengungkapkan bahwa keluhan fisik yang dialami para korban trauma sangat banyak, seringkali melebihi rasa sakit yang diterima selama peristiwa traumatik berlangsung (Ehlers & Clark, 2000; Lommen, Engelhard, Sijbrandij, Hout, & Hermans, 2013). 

Risiko psikologis yang dialami oleh individu yang mengalami peristiwa kebencanaan, kehilangan sumber daya yang bernilai, seperti kehilangan orang yang dicintai, harta benda yang dimiliki, hubungan sosial, dan komunitas atau ketika kehilangan pegangan hidupnya akan menyebabkan stress dan trauma. Pengabaian terhadap pengalaman traumatik dan deprivasi sosial pengaruhnya dapat diteruskan secara psikososial bukan saja pada dirinya sendiri tetapi juga kepada masyarakat, dan generasi berikutnya melalui keluarga dan anak cucu mereka. Menurut Green (2004) bentuk-bentuk kejahatan yang ada di masyarakat seperti perampokan (rap), penyiksaan (torture), pemerkosaan, pelecehan seksual, terorisme (terorism), pembunuhan, seks menyimpang (sex abuse), penyalahgunaan wewenang, dan korupsi, perdagangan anak dan perempuan (trafficking), penyelahgunaan obat terlarang (drug abuse), HIV/AIDS, bunuh diri, dan genocide merupakan bentuk-bentuk tidak langsung dari deprivasi sosial ini.

Gangguan Kecemasan Pascatrauma.
Gangguan kecemasan pascatrauma (posttraumatic stress disorder) adalah gangguan psikologis atau kecemasan yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa kebencanaan. Menurut Schiraldi (2000) gangguan kecemasan pascatrauma muncul dari penampakan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatik yang menjadi pemicu gangguan kecemasan pasca trauma berbeda dengan pemicu gangguan kecemasan biasa. Pada individu yang mengalami “ordinary stressor” kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa yang termasuk “traumatic stressor” belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena adanya perbedaan kapasitas untuk menghadapi “catastrophic stress”. Kalangan psikiater memperkirakan bahwa 1 sampai 3 persen dari populasi penduduk dunia  secara klinis pernah mengalami gangguan kecemasan  pascatrauma (Schiraldi, 2000).

Gangguan Kecemasan Pascatrauma (PTSD).
Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (dalam Schiraldi, 2000) ada enam indikator yang menunjukkan bahwa seseorang itu mengidap PTSD, yakni: (a) pemajanan/pemunculan stressor (exposure to stressor); (b) peristiwa yang dialami lagi (event re-experienced); (c) penghindaran (avoidance); (d) pemunculan (arousal); (e) durasi gejala dalam kriteria B (mengalami gejala lebih dari satu bulan); dan (f) gangguan kehidupan (life distrupted).

Wilson dalam Schiraldi (2000) merangkum bahwa gangguan kecemasan pascatrauma berpengaruh pada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang (termasuk kapasitas keintiman, cinta dan seksualitas). Jika tidak ditangani, gangguan kecemasan pascatrauma akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan pada aspek fisik (physical fatigue), emosi (emotional fatigue), mental (mental fatigue), perilaku (behavioral fatigue), dan spiritual (spiritual fatigue). 
 

Penanganan terhadap individu yang mengalami gangguan kecemasan pasca trauma dapat menggunakan beragam model termasuk pendidikan, exposure, eksplorasi perasaan dan keyakinan dan pelatihan keterampilan pemecahan masalah. Pendekatan yang umum digunakan untuk penanganan gangguan kecemasan pascatrauma adalah (1) cognitive-bevioral therapy yang bertujuan untuk mengubah emosi, pikiran dan perilaku individu; (2) pharmacotherapy untuk mengurangi kecemasan, depresi, sulit tidur, distress dan mati rasa yang kadang-kadang menggunakan obat-obatan; (3) eye movement desentization and reprocessing yang mengkombinasikan exposure therapy dan cognitive behavioral dengan menggerakkan beberapa organ tubuh; (4) group treatment (sebagai model ideal) karena adanya  kesempatan untuk berbagi rasa empati, kohesi, dan rasa aman; dan (5) brief psychodynamic psychotherapy yang berfokus pada konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa trauma khususnya pada awal-awal kehidupan. 

Konseling Permainan Kelompok sebagai Alternatif Model Bantuan
Permainan telah menjadi bagian dari konseling sejak Melanie Klein dan Anna Freud menggunakan teknik permainan sebagai suatu metode psikoterapi anak pada tahun 1930 (Russ, 2004). Metode ini kemudian dikembangkan dengan menggunakan berbagai pendekatan teoritis. Sejak tahun 1992 berbagai bentuk permainan telah digunakan dalam terapi anak oleh sebagian besar pekerja klinis sebagaimana dilaporkan oleh Koocher dan De Angelo dalam Russ (2004).

Pada literatur tentang konseling anak disebutkan bahwa terdapat empat fungsi besar permainan, sehingga muncul sebagai hal yang penting dalam konseling. Pertama, permainan merupakan bentuk ekspresi yang alami pada anak. Chethik dalam Russ (2004) menggunakan bahasa dalam permainan. Anak menggunakan permainan untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Kedua, anak juga menggunakan bahasa permainan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan konselor. Komunikasi antara anak dan konselor merupakan hal yang penting bagi konselor untuk memahami makna komunikasi ini sehingga hubungan terapetik dapat dikembangkan. Pemberian label secara aktif oleh konselor, empati, dan interpretasi permainan dapat membantu anak untuk dapat merasakan kenyamanan (Russ, 2004). 

Ketiga, permainan ialah sebagai sarana terciptanya insight. Konseptualisasi yang membahas fungsi ini adalah psikodinamik. Teori psikodinamik memandang resolusi emosional terhadap konflik atau trauma sebagai mekanisme perubahan utama pada konseling anak. Anak mengalami kembali konflik perkembangan atau trauma situasional ketika proses konseling. Sebagian besar konflik-konflik yang dialami anak diekspresikan di dalam permainan. Oleh karena itu, proses permainan dianggap sebagai bentuk resolusi konflik. Keempat, ialah permainan memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih beragam ide, perilaku interpersonal, dan ekspresi verbal. Permainan yang dilaksanakan terjadi di lingkungan yang aman artinya permainan tersebut disertai orang dewasa, sehingga anak dapat mencoba dan melatih berbagai ekspresi dan perilaku tanpa mempedulikan akibatnya di dunia nyata.

Penggunaan permainan menurut Anna Freud (dalam Russ, 2004) dapat menjadikan proses konseling menjadi lebih responsif, menyenangkan dan dapat mengembangkan keakraban pada anak. Selain itu, Russ (2004) berpendapat bahwa permainan menjadi bagian inti pada proses konseling. Penggunaan permainan dalam konseling dan pengembangan anak merupakan penghargaan besar terhadap tradisi psikoanalitik. Sementara itu, pada pendekatan terapi yang berpusat pada anak, permainan juga telah lama digunakan sebagai media terapi. Menurut Russ (2004) Axline yang menggunakan pendekatan non-direktif telah menjadikan permainan sebagai bentuk utama dalam menjalin komunikasi dengan anak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa permainan merupakan media yang menjembatani konselor agar dapat memahami dan berempati pada persoalan-persoalan anak. 

Konseling Permainan Kelompok yang berpusat pada anak merupakan sebuah perjalanan eksplorasi bagi diri anak-anak dalam rangka menemukan sumber permasalahan untuk dipecahkan. Model Konseling yang dikembangkan oleh Carl Rogers dan diadaptasi oleh Virginia Axline menurut Homeyer (1999) terfokus pada penyediaan lingkungan yang mendukung anak untuk meraih potensi utuh mereka. Para konselor menaruh perhatian bukan pada masalah anak, tapi pada anak itu sendiri. Mereka tidak memfokuskan pada pengarahan proses konseling, tetapi memfasilitasi proses yang akan membuat setiap diri anak menaruh kepercayaan pada konselornya. Ini merupakan perjalanan mengeksplorasi dan menemukan diri sendiri. 

Konseling kelompok melalui permainan merupakan prosedur terapi yang melibatkan hubungan interpersonal yang dinamis antara konselor dan anak, yang dibangun melalui permainan, sehingga dapat menciptakan hubungan yang memungkinkan bagi anak untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya. Asumsi yang mendasari penggunaan konseling melalui permainan ialah bermain merupakan cara alamiah anak untuk mengekpresikan kebutuhan, serta melalui bermain pula anak secara simbolis dapat mencoba mengatasi ketakutan dan trauma yang mereka alami. 
 

Anak-anak dapat belajar mengenal dirinya melalui konseling permainan kelompok. Mereka belajar karena mereka dipersilahkan berkomunikasi dengan bahasa mereka, yakni bahasa bermain. Vander Kolk (dalam Russ, 2004) mengemukakan sembilan manfaat konseling permainan kelompok yaitu (1) menerima seorang anak secara penuh; (2) semata-mata mengajak bermain tanpa uraian panjang-lebar, tanpa menentukan sasaran, tanpa alasan yang tak perlu, tanpa bertanya-tanya, atau tanpa perkecualian; (3) membantu anak-anak belajar mengekspresikan diri dan menikmati indahnya dihargai; (4) membolehkan tetapi tidak mendorong prilaku menyimpang pada awal terapi; (5) membolehkan semua “prilaku simbolik” sambil membatasi prilaku destruktif; (6) mencegah anak-anak untuk saling menyerang secara fisik; (7) memberlakukan batasan-batasan secara lembut, bukan dengan jalan mengkritik, dan ringkas (tidak bertele-tele); (8) memberitahu batasan-batasan hanya bilamana diperlukan; dan (9) merasakan dan menyatakan empati.

Ginott (dalam Sweeney & Homeyer, 1999) berpendapat bahwa dalam mengevaluasi keberhasilan proses konseling, sekurang-kurangnya ada enam pertanyaan yang harus terjawab lebih dahulu, yakni (1) apakah metode yang digunakan dapat memfasilitasi atau menghambat terbangunnya suatu hubungan konselor, (2) apakah metode tersebut memperlancar atau menghambat upaya melahirkan ide pemulihan emosi, (3) apakah metode ini membantu atau  mementahkan pencapaian kekuatan berfikir, (4) apakah metode ini menambah atau mengurangi kesempatan untuk pengujian realita, (5) apakah metode ini membukakan atau menutup jalur-jalur sublimasi (upaya mengarahkan-ulang dengan mengacu pada tujuan yang lebih luhur yang berselaras dengan cita dan aspirasi manusia beradab).

Sweeney & Homeyer (1999) menyatakan bahwa terdapat enam prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan konseling kelompok yakni (1) melakukan pertimbangan-pertimbangan etis dan legal; (2) melakukan seleksi kelompok dan ukurannya; (3) pembentukan kelompok dan penyiapan bahan-bahan; (4) penentuan lama waktu setiap sesi dan frekuensinya; (5) mengatur respon konselor; dan (6) menetapkan batasan-batasan antar kelompok. Khusus dalam melakukan operasionalisasi pada tahapan Lead, digunakan langkah-langkah group process dari Gladding (1995) yang dipadukan dengan metode didaktik eksperiensial atau disebut juga metode sokratik. Metode didaktik eksperiensial seringkali disebut juga sebagai metode debriefing. Pada metode ini, konseli dapat secara aktual mengajar dirinya sendiri dengan cara menjawab pertanyaan yang dipresentasikan oleh konselor. Konselor tidak memberikan nasihat kepada konseli dengan tujuan untuk lebih menanamkan pembelajaran daripada membantu peserta untuk mencapai suatu pemahaman atas suatu pembelajaran melalui self-discovery.

Indikator Keberhasilan dan Mekanisme Penilaian 
Sebagai upaya untuk mengukur keberhasilan proses konseling maka perlu dilakukan penilaian terhadap proses dan hasil konseling. Penilaian terhadap proses konseling difokuskan pada keterlaksanaan proses konseling berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian terhadap hasil dilakukan terhadap perubahan sikap konseli dalam memandang persoalan yang dihadapinya. Konseli dianggap berhasil apabila ia menunjukkan perubahan dalam berbagai hal, yaitu perubahan sikap, perubahan persepsi, dan perubahan tindakan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. 

Mekanisme penilaian yang digunakan untuk menilai keberhasilan proses konseling ialah dengan cara mengamati secara seksama proses pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap awal, kemudian tahap transisi, lalu tahap kinerja, hingga tahap terminasi. Secara umum model yang digunakan untuk menganalisis intensitas keberhasilan proses konseling permainan kelompok menggunakan model CHANGES. Model CHANGES ini diposisikan sebagai substansi, asosiasi dari sejumlah pengalaman sekaligus sebagai bentuk perilaku. Langkah-langkah model CHANGES di dasarkan pada enam tahapan, yaitu tahap (1) Context; (2) Hypothesizing; (3) Action that is Novel; (4) Generating; (5) Evaluation; dan (6) Solution.

Untuk menutup pidato ini saya ingin mengakhirinya dengan ungkapan dari Einstein yang disampaikan pada saat beliau mengakhiri karirnya sebagai professor di Harvard University. Beliau mengatakan “Mengapa ilmu yang indah ini, yang memberi begitu banyak kemudahan, hanya memberi kebahagiaan yang sedikit pada manusia?” Jawabnya tergantung pada diri kita masing-masing. 

Kita tidak sedang berada diruang kosong. Kita tidak minta untuk dilahirkan sebagai, maaf, orang miskin dan juga menderita. Kalau itu terjadi pada kita apa yang harus kita lakukan. Dengan mengacu pada pendapat Urie Bronfenbrenner, terdapat lima sistem yang melingkupi diri manusia yakni (1) Microsystem (keluarga, sekolah, teman sebaya, tetangga, lingkungan keagamaan, fasilitas kesehatan, dan lingkungan pendidikan anak); (2) Mesosystem; (3) Exsosystem (keluarga besar, tetangga jauh, lingkungan sekolah, lembaga pemerintahan, lembaga pelayanan sosial dan kesehatan, media massa, dan kondisi ekonomi orang tua); (4) Macrosystem (ideologi, norma sosial, dan budaya); (5) Chronosystem (perubahan lingkungan yang terjadi). Kelima sistem ini mestinya dioptimalkan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Tugas kita adalah menciptakan lingkungan perkembangan yang mendukung, Vygotsky menyebutnya sebagai Zone of Proximal Development (ZPD).

*) Guru Besar UPI Bidang Bimbingan dan Konseling

(Artikel diambil dari pidato saat pengukuhan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, 24 November 2021 di Gedung Achmad Sanusi UPI Bandung)

 

Pewarta: --

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021