Harga minyak ditutup beragam pada pada perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena investor bertanya-tanya apakah pasokan minyak mentah akan meningkat dan apakah permintaan akan tertekan oleh lonjakan biaya energi baru-baru ini, dolar yang kuat dan meningkatnya kasus COVID-19.

Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari turun 12 sen atau 0,15 persen, menjadi menetap di 82,05 dolar AS per barel. Sementara itu harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Desember bertambah 9 sen atau 0,1 persen, menjadi 80,88 dolar AS per barel.

Pada awal perdagangan pasar minyak memperhitungkan spekulasi bahwa Pemerintahan Presiden Joe Biden dapat melawan harga tinggi dengan melepaskan minyak mentah dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) AS, tetapi skeptisisme tentang pendekatan itu menyebabkan minyak mentah AS naik lebih tinggi, menurut John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York.

"Pasar tampaknya telah memperkirakan harga terlalu agresif sehingga rilis SPR akan terjadi," kata Kilduff.



Membebani harga minyak, dolar AS mencapai level tertinggi 16 bulan terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya karena investor khawatir tentang ekonomi global.

Dolar yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

Pekan lalu perusahaan-perusahaan energi AS menambahkan rig minyak dan gas alam untuk minggu ketiga berturut-turut, didorong oleh kenaikan 65 persen harga minyak mentah AS sepanjang tahun ini.

Produksi serpih AS pada Desember diperkirakan akan mencapai tingkat prapandemi sebesar 8,68 juta barel per hari, menurut Rystad Energy. Sementara itu ada indikasi permintaan mungkin melambat karena meningkatnya kasus Virus Corona dan inflasi.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pekan lalu memangkas perkiraan permintaan minyak dunia untuk kuartal keempat sebesar 330.000 barel per hari dari perkiraan bulan lalu, karena harga energi yang tinggi menghambat pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19.



"Pasar sekarang tampaknya tidak terlalu khawatir tentang ketatnya pasokan saat ini, memperkirakan itu berumur pendek," kata Analis Pasar Senior Rystad Louise Dickson. "Pedagang malah memfokuskan kembali pada kembalinya dua faktor bearish - kemungkinan lebih banyak sumber pasokan minyak dan lebih banyak kasus COVID-19."

Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei menyatakan semua indikasi level minyak memberikan surplus dalam kuartal pertama 2022.

"Ada sedikit kemungkinan OPEC+ meningkatkan produksi lebih cepat, terutama jika ... kelompok tersebut mengharapkan pasar untuk kembali surplus dalam kuartal pertama 2022," kata Analis Pasar Senior OANDA, Craig Erlam.

Eropa sekali lagi berkembang menjadi episentrum pandemi COVID-19, mendorong beberapa pemerintah untuk berpikir tentang memberlakukan kembali penguncian, sedangkan China sedang berjuang melawan penyebaran wabah terbesarnya yang disebabkan oleh varian Delta.

Baca juga: Harga minyak catat penurunan mingguan ketiga setelah pekan yang bergejolak

Baca juga: Harga minyak jatuh di Asia, karena penguatan dolar dalam minggu bergejolak

Baca juga: Harga minyak "rebound" setelah anjlok sesi sebelumnya, meskipun dolar kuat

Pewarta: Apep Suhendar

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021