Harga minyak tergelincir sekitar dua persen pada akhir perdagangan Senin waktu setempat (Selasa pagi WIB), karena investor semakin menghindari risiko, yang merugikan pasar saham dan mendorong dolar AS lebih kuat, membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November anjlok 1,42 dolar AS atau 1,9 persen, menjadi menetap di 73,92 dolar AS per barel setelah sempat tenggelam ke terendah sesi di 73,52 dolar AS.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Oktober terpuruk 1,68 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi ditutup pada 70,29 dolar AS per barel setelah sempat jatuh ke level 69,86 dolar AS.
Dolar, dilihat sebagai tempat yang aman, naik karena kekhawatiran tentang solvabilitas pengembang properti China Evergrande menakuti pasar ekuitas dan investor bersiap untuk Federal Reserve mengambil langkah lain menuju pengurangan pembelian aset atau tapering minggu ini.
“Karena dolar AS biasanya merupakan tempat yang aman, nilai tukarnya terhadap mata uang lainnya menguat, sebuah perkembangan yang melengkapi lingkungan penghindaran risiko dan mempengaruhi harga-harga komoditas, terutama minyak,” kata analis pasar minyak Rystad Energy, Nishant Bhushan.
"Minyak menjadi lebih mahal untuk pasar non-dolar dan harga mendapat pukulan sebagai akibatnya, sebuah pergerakan bearish yang didukung oleh pasar saham itu sendiri dalam lingkungan penghindaran risiko."
Namun, minyak mendapat dukungan dari tanda-tanda bahwa beberapa produksi Teluk AS akan tetap offline selama berbulan-bulan karena kerusakan akibat badai.
Brent telah melonjak 43 persen sepanjang tahun ini, didukung oleh pengurangan pasokan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dikenail sebagai OPEC+, dan beberapa pemulihan permintaan setelah keruntuhan akibat pandemi tahun lalu.
Kerugian pada Senin (20/9/2021) terbatas karena penutupan pasokan di Teluk Meksiko AS menyusul terjangan dua badai baru-baru ini. Hingga Jumat (17/9/2021), perusahaan-perusahaan produsen hanya memiliki 23 persen produksi minyak mentah offline, atau 422.078 barel per hari.
Minyak mentah memangkas penurunannya pada Senin (20/9/2021) setelah Royal Dutch Shell mengatakan instalasi di Teluk Meksiko akan offline untuk perbaikan hingga akhir 2021 karena kerusakan akibat Badai Ida.
Fasilitas tersebut berfungsi sebagai stasiun transfer untuk semua hasil dari aset-aset perusahaan di koridor Mars wilayah Mississippi Canyon ke terminal-terminal minyak mentah di darat.
Analis Rystad Energy, Artem Abramov memperkirakan produksi yang hilang akan menghapus 200.000 hingga 250.000 barel per hari (bph) pasokan minyak Teluk Meksiko selama beberapa bulan.
Teluk menyumbang sekitar 16 persen dari produksi minyak AS, atau 1,8 juta barel per hari.
Baca juga: Harga minyak turun di Asia karena dolar menguat dan jumlah rig AS meningkat
Baca juga: Harga minyak jatuh setelah pasokan AS yang terpukul badai kembali ke pasar
Baca juga: Minyak relatif stabil karena ancaman badai AS berkurang
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November anjlok 1,42 dolar AS atau 1,9 persen, menjadi menetap di 73,92 dolar AS per barel setelah sempat tenggelam ke terendah sesi di 73,52 dolar AS.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Oktober terpuruk 1,68 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi ditutup pada 70,29 dolar AS per barel setelah sempat jatuh ke level 69,86 dolar AS.
Dolar, dilihat sebagai tempat yang aman, naik karena kekhawatiran tentang solvabilitas pengembang properti China Evergrande menakuti pasar ekuitas dan investor bersiap untuk Federal Reserve mengambil langkah lain menuju pengurangan pembelian aset atau tapering minggu ini.
“Karena dolar AS biasanya merupakan tempat yang aman, nilai tukarnya terhadap mata uang lainnya menguat, sebuah perkembangan yang melengkapi lingkungan penghindaran risiko dan mempengaruhi harga-harga komoditas, terutama minyak,” kata analis pasar minyak Rystad Energy, Nishant Bhushan.
"Minyak menjadi lebih mahal untuk pasar non-dolar dan harga mendapat pukulan sebagai akibatnya, sebuah pergerakan bearish yang didukung oleh pasar saham itu sendiri dalam lingkungan penghindaran risiko."
Namun, minyak mendapat dukungan dari tanda-tanda bahwa beberapa produksi Teluk AS akan tetap offline selama berbulan-bulan karena kerusakan akibat badai.
Brent telah melonjak 43 persen sepanjang tahun ini, didukung oleh pengurangan pasokan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dikenail sebagai OPEC+, dan beberapa pemulihan permintaan setelah keruntuhan akibat pandemi tahun lalu.
Kerugian pada Senin (20/9/2021) terbatas karena penutupan pasokan di Teluk Meksiko AS menyusul terjangan dua badai baru-baru ini. Hingga Jumat (17/9/2021), perusahaan-perusahaan produsen hanya memiliki 23 persen produksi minyak mentah offline, atau 422.078 barel per hari.
Minyak mentah memangkas penurunannya pada Senin (20/9/2021) setelah Royal Dutch Shell mengatakan instalasi di Teluk Meksiko akan offline untuk perbaikan hingga akhir 2021 karena kerusakan akibat Badai Ida.
Fasilitas tersebut berfungsi sebagai stasiun transfer untuk semua hasil dari aset-aset perusahaan di koridor Mars wilayah Mississippi Canyon ke terminal-terminal minyak mentah di darat.
Analis Rystad Energy, Artem Abramov memperkirakan produksi yang hilang akan menghapus 200.000 hingga 250.000 barel per hari (bph) pasokan minyak Teluk Meksiko selama beberapa bulan.
Teluk menyumbang sekitar 16 persen dari produksi minyak AS, atau 1,8 juta barel per hari.
Baca juga: Harga minyak turun di Asia karena dolar menguat dan jumlah rig AS meningkat
Baca juga: Harga minyak jatuh setelah pasokan AS yang terpukul badai kembali ke pasar
Baca juga: Minyak relatif stabil karena ancaman badai AS berkurang
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021