Perang siber (cyber warfare) merupakan ancaman multidimensi yang berbahaya bagi aktivitas masyarakat sipil dan militer, kata Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Laksamana Madya TNI Harjo Susmoro di Jakarta, Rabu.
Perang siber menjadikan berbagai objek dalam ruang siber, yang dikuasai negara, sebagai sasaran target, kata dia, saat rapat kerja terbatas membahas “Analisis Ancaman Cyber Warfare Guna Melindungi Kepentingan Negara dalam Rangka Menjaga Keamanan Nasional”.
Tujuannya, perang siber berupaya mengguncang stabilitas ekonomi, aktivitas masyarakat sipil, dan kegiatan militer di ruang siber yang nantinya turut berdampak pada kehidupan di dunia fisik/nyata.
“Itu semua (ancaman di ruang siber) dapat dilakukan (pihak tertentu) tanpa melintasi batas suatu negara,” kata dia.
Perang siber merupakan contoh ekstrem ancaman di ruang siber. Contoh lain yang banyak ditemukan pada beberapa hari terakhir adalah kasus-kasus peretasan, kebocoran data, dan penyalahgunaan data oleh pihak-pihak tertentu.
“Peretasan yang marak terjadi belakangan ini, baik akibat kelalaian maupun social engineering semakin mengkhawatirkan, terutama bagi keamanan nasional. Yang terjadi beberapa kali di Indonesia, data pejabat penting bisa bocor dan diakses oleh masyarakat luas,” sebut dia, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu ada lembaga yang ditunjuk atau bertugas memimpin (leading sector) tata kelola data nasional, termasuk di antaranya platform big data nasional.
Harapannya, jika ada lembaga yang memimpin koordinasi dan pengelolaan data nasional, maka berbagai masalah termasuk di antaranya ancaman terhadap data dan ruang siber dapat tertangani secara optimal, kata Harjo menegaskan.
Jika tidak dalam skala nasional, setidaknya masing-masing kementerian/lembaga membentuk unit kerja yang bertugas mengelola data, termasuk di antaranya turut bertanggung jawab atas keamanan data dan migrasi data, kata dia.
Pembentukan itu, menurut Harjo, dapat menggunakan Peraturan Presiden Nomor 39/2019 tentang Satu Data Nasional sebagai salah satu dasar hukumnya.
“Hingga saat ini belum ada organisasi yang mengelola data nasional secara terpusat, juga belum ada ketentuan platform big data nasional. Padahal, (tata kelola) data nasional sangat diperlukan dan sudah banyak terjadi kebocoran data,” kata dia.
Baca juga: Jenis serangan siber yang rentan terjadi di Indonesia, apa saja?
Baca juga: Awas "ransomware", gunakan lima tips ini untuk menghindarinya
Baca juga: Tindakan yang bisa diambil korban kebocoran data siber, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Perang siber menjadikan berbagai objek dalam ruang siber, yang dikuasai negara, sebagai sasaran target, kata dia, saat rapat kerja terbatas membahas “Analisis Ancaman Cyber Warfare Guna Melindungi Kepentingan Negara dalam Rangka Menjaga Keamanan Nasional”.
Tujuannya, perang siber berupaya mengguncang stabilitas ekonomi, aktivitas masyarakat sipil, dan kegiatan militer di ruang siber yang nantinya turut berdampak pada kehidupan di dunia fisik/nyata.
“Itu semua (ancaman di ruang siber) dapat dilakukan (pihak tertentu) tanpa melintasi batas suatu negara,” kata dia.
Perang siber merupakan contoh ekstrem ancaman di ruang siber. Contoh lain yang banyak ditemukan pada beberapa hari terakhir adalah kasus-kasus peretasan, kebocoran data, dan penyalahgunaan data oleh pihak-pihak tertentu.
“Peretasan yang marak terjadi belakangan ini, baik akibat kelalaian maupun social engineering semakin mengkhawatirkan, terutama bagi keamanan nasional. Yang terjadi beberapa kali di Indonesia, data pejabat penting bisa bocor dan diakses oleh masyarakat luas,” sebut dia, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu ada lembaga yang ditunjuk atau bertugas memimpin (leading sector) tata kelola data nasional, termasuk di antaranya platform big data nasional.
Harapannya, jika ada lembaga yang memimpin koordinasi dan pengelolaan data nasional, maka berbagai masalah termasuk di antaranya ancaman terhadap data dan ruang siber dapat tertangani secara optimal, kata Harjo menegaskan.
Jika tidak dalam skala nasional, setidaknya masing-masing kementerian/lembaga membentuk unit kerja yang bertugas mengelola data, termasuk di antaranya turut bertanggung jawab atas keamanan data dan migrasi data, kata dia.
Pembentukan itu, menurut Harjo, dapat menggunakan Peraturan Presiden Nomor 39/2019 tentang Satu Data Nasional sebagai salah satu dasar hukumnya.
“Hingga saat ini belum ada organisasi yang mengelola data nasional secara terpusat, juga belum ada ketentuan platform big data nasional. Padahal, (tata kelola) data nasional sangat diperlukan dan sudah banyak terjadi kebocoran data,” kata dia.
Baca juga: Jenis serangan siber yang rentan terjadi di Indonesia, apa saja?
Baca juga: Awas "ransomware", gunakan lima tips ini untuk menghindarinya
Baca juga: Tindakan yang bisa diambil korban kebocoran data siber, apa saja?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021