Bandung, 2/3 (ANTARA) - Kemajuan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia masih terhadang banyak sekat yang mengakibatkan potensi usaha yang dimilikinya tidak tergarap secara maksimal.

"Terlalu banyak sekat yang menghambat kemajuan BUMD di Indonesia sehingga menyulitkan perusahaan daerah itu untuk berkembang. Sekat BUMD jauh lebih banyak dibanding BUMN dan perusahaan swasta," kata Komisaris Utama PT Pertamina Sugiharto di sela-sela Forum BUMD Jawa Barat 2010 di Bandung, Rabu.

Setelah era otonomi daerah, kata Sugiharto, tidak ada perkembangan yang bisa diraih oleh BUMD yang justeru semakin menyulitkan posisi BUMD akibat ada sekat-sekat yang menghalangi akselerasi perusahaan. Salah satunya adalah tabrakan kebijakan dan peraturan yang mengatur posisi mereka.

Terlebih dari kurangnya komitmen pemerintah daerah sendiri untuk mengembangkan BUMD-nya, terutama perusahaan yang dianggap hanya menjadi beban dan kurang prospektif.

"Batasan-batasan politik antardaerah, menyebabkan BUMD sulit melakukan konsolidasi antara BUMD sejenis. BUMD masih rentan menjadi komoditas politik di daerah, seharusnya BUMD dibebaskan dari intervensi politik agar bisa berkembang," katanya.

Selain itu, hambatan yang dihadapi BUMD adalah banyaknya UU dan aturan main yang harus diikuti oleh BUMD dimana jumlah aturan yang harus diikutinya lebih banyak dibandingkan dengan UU dan aturan bagi BUMN dan perusahaan swasta.

Hal itu, kata Sugiharto, mengakibatkan BUMD tidak juga mendapatkan derajat yang sama dengan BUMN dan perusahaan swasta.

Ia menyebutkan, pemerintah harus menindaklanjuti peraturan tentang BUMD. Salah satunya perlu didorong revisi UU No.5/1962 tentang badan usaha milik daerah yang sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan BUMD saat ini.

"UU tentang BUMD itu sudah lama dan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan BUMD saat ini. Berbeda dengan BUMN yang sudah memiliki UU No.19/2003," kata Sugiharto yang mantan Menteri BUMN itu.

Selain itu masih adanya stigma negatif yang mengekang bagi upaya gebrakan usaha yang dilakukan BUMD terutama terkait pengelolaan keuangan dan aset. Salah satunya mengenai kekayaan BUMD yang menjadi kekayaan daerah dimana hal itu menjadi sebuah kekeliruan, sehingga BUMD terkait hal itu terlalu mudah dikaitkan dengan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Menurut Sugiharto, seharusnya aset perusahaan atau BUMD itu ditetapkan menjadi aset perusahaan yang terpisah sehingga tidak lagi membebani BUMD terkait pengelolaan keuangannya.

"Sudah saatnya dipisahkan, contoh lainnya utang BUMD tidak lantas menjadi utang daerah atau utang pemerintah. Demikian juga piutang perusahaan yah harus jadi piutang perusahaan tidak menjadi piutang pemerintah daerah," kata Sugiharto.

Intinya, kata Sugiharto, perlu ada terobosan dari pemerintah untuk memposisikan BUMD lebih berperan dan mengurangi sekat-sekat yang sekarang ini menjadi penghambat kemajuan perusahaan daerah itu.

Sementara itu Deputi Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN, Pandu Djajanto menyebutkan peluang BUMD untuk berkembang dan maju cukup terbuka, salah satunya dengan melakukan terobosan dan sinergitas dengan BUMN dan perusahaan swasta.

"Sebagian besar BUMD saat ini belum maksimal padahal potensi mereka besar, perlu terobosan dan inovasi usaha dan tentunya pengelolaan secara profesional. Langkah IPO dari Bank Jabar Banten yang merupakan BUMD Jabar diharapkan menjadi triger bagi BUMD lainnya untuk bisa mengikuti jejaknya," kata Pandu Djajanto menambahkan.

Syarif A

Pewarta:

Editor : Irawan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2011