Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan di tengah kemajemukan Indonesia sebagai karunia, diperlukan pemahaman yang sama tentang nilai-nilai Pancasila dan juga makna kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga bisa merajut harmoni dan menangkal radikalisme.
"Indonesia dihadapkan pada hambatan dan tantangan komunikasi, baik hambatan dalam komunikasi antar-budaya maupun tantangan era digital yang terus berkembang. Pada aspek komunikasi antar-budaya seringkali disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut," kata Boy Rafli, Minggu, ketika menjadi narasumber kuliah umum Kegiatan Awal Mahasiswa Baru (KAMABA) Universitas Indonesia (UI) secara daring.
Boy mengapresiasi tema KAMABA 2021, yakni “Satu Karena Beda”. Menurutnya, tema ini penting untuk membangun kesadaran para mahasiswa, bahwa Indonesia ada karena perbedaan yang perlu dijaga dan dirawat. Dari kesadaran tersebut akan lahir spirit persatuan dalam kebhinnekaan.
Sebagai sebuah negara yang bhinneka, budaya, dan etnis Indonesia membentuk kompleks entitas yang saling melengkapi satu sama lain, melalui kombinasi pluralistik, koeksistensi keragaman, dan interaksi multipolar. Keberagaman di Indonesia menyebabkan banyaknya identitas masyarakat dan membentuk akulturasi yang semakin kompleks.
Oleh karena itu, sejak negara ini didirikan, ada sebuah tatanan cara hidup yang lahir dari kekayaan budaya Indonesia, yaitu harmoni dalam kebhinnekaan. Hal itu diartikan sebagai titik temu perbedaan yang ada di Indonesia, di mana ketika semua orang berjalan ke arah yang sama meskipun dengan cara yang berbeda, namun tetap berpikir sebagai satu bangsa yang berlandaskan Pancasila.
Pada konteks komunikasi antar-budaya, penting membangun keterbukaan, bersikap empati, berpikir positif, serta dukungan dan menghormati budaya agama lain.
Dia menambahkan, jika ditinjau dari konteks era digital, Indonesia dihadapkan pada tantangan fase bonus demografi dengan jumlah usia penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) lebih besar daripada penduduk non produktif. Tingginya jumlah penduduk produktif ini, berimplikasi pada tingginya pengguna internet di Indonesia.
Saat ini, jumlah pengguna internet mencapai 202,6 juta jiwa penduduk atau 73,7 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 274,9 juta jiwa. Jika mereka tidak dibekali dengan etika, sikap yang bijak, dan digital literasi yang baik, maka hal ini menjadi sebuah ancaman yang dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial, konflik horisontal, dan bahkan sampai terjadinya disintegrasi bangsa. Maka, perlu dipastikan pemanfaatannya tidak mengarah pada tindakan radikal terorisme.
Boy memaparkan tren radikalisme di era digital dan pola radikalisasi yang dilakukan oleh kelompok jaringan teroris secara online. Penyebaran paham radikal dilakukan secara masif melalui sarana propaganda digital, dengan mengunggah suara dari pemimpinnya.
Mereka memanfaatkan faktor-faktor perseptual yaitu konstruksi identitas, krisis, dan solusi untuk membentuk bagaimana audiensnya memandang dan menilai dunia. Narasi sentral dari jenis pesan ini sederhana, yaitu mereka adalah pejuang dan pelindung (identitas dalam kelompok), musuhnya adalah jahat (identitas luar kelompok) yang bertanggung jawab atas krisis dimana mereka adalah satu-satunya harapan.
“Fenomena radikalisme di Indonesia hingga saat ini menjadi masalah serius. Jika dilakukan pembiaran, maka akan berdampak buruk dan menjadi potensi ancaman terhadap ideologi Pancasila, yaitu tumbuh sikap intoleran yang mengarah pada praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama, ektremisme, hingga menjustifikasi pemikiran melalui aksi radikal terorisme. Selain itu, contoh lain dari ideologi anti Pancasila adalah konsep khilafah, paham komunisme, separatisme (GAM & OPM), dan ekstrem kiri-ekstrem kanan,” ujar Boy.
Boy menyampaikan harapan bahwa diperlukan peran kampus dalam menangkal paham yang bertentangan dengan ideologi anti-Pancasila. Sivitas akademika diharapkan dapat menanamkan budaya cinta tanah air dengan mengapresiasi perbedaan.
Untuk mencapai kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera; menghasilkan kajian akademik yang mampu melawan radikalisme melalui penyelarasan pengembangan SDM secara sosial, ekonomi, dan budaya; melakukan pemanfaatan media sosial secara positif dan menanamkan budaya beretika yang bijak di ruang digital; serta membentengi sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan dan juga melindungi sistem tata nilai di kampus.
Baca juga: BNPT catat 1.500 WNI menjadi teroris lintas batas
Baca juga: Tak ada agama ajarkan terorisme tegas Wapres Ma'ruf
Baca juga: Wapres Ma'ruf ingatkan ancaman radikalisme bermetamorfosis
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Indonesia dihadapkan pada hambatan dan tantangan komunikasi, baik hambatan dalam komunikasi antar-budaya maupun tantangan era digital yang terus berkembang. Pada aspek komunikasi antar-budaya seringkali disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut," kata Boy Rafli, Minggu, ketika menjadi narasumber kuliah umum Kegiatan Awal Mahasiswa Baru (KAMABA) Universitas Indonesia (UI) secara daring.
Boy mengapresiasi tema KAMABA 2021, yakni “Satu Karena Beda”. Menurutnya, tema ini penting untuk membangun kesadaran para mahasiswa, bahwa Indonesia ada karena perbedaan yang perlu dijaga dan dirawat. Dari kesadaran tersebut akan lahir spirit persatuan dalam kebhinnekaan.
Sebagai sebuah negara yang bhinneka, budaya, dan etnis Indonesia membentuk kompleks entitas yang saling melengkapi satu sama lain, melalui kombinasi pluralistik, koeksistensi keragaman, dan interaksi multipolar. Keberagaman di Indonesia menyebabkan banyaknya identitas masyarakat dan membentuk akulturasi yang semakin kompleks.
Oleh karena itu, sejak negara ini didirikan, ada sebuah tatanan cara hidup yang lahir dari kekayaan budaya Indonesia, yaitu harmoni dalam kebhinnekaan. Hal itu diartikan sebagai titik temu perbedaan yang ada di Indonesia, di mana ketika semua orang berjalan ke arah yang sama meskipun dengan cara yang berbeda, namun tetap berpikir sebagai satu bangsa yang berlandaskan Pancasila.
Pada konteks komunikasi antar-budaya, penting membangun keterbukaan, bersikap empati, berpikir positif, serta dukungan dan menghormati budaya agama lain.
Dia menambahkan, jika ditinjau dari konteks era digital, Indonesia dihadapkan pada tantangan fase bonus demografi dengan jumlah usia penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) lebih besar daripada penduduk non produktif. Tingginya jumlah penduduk produktif ini, berimplikasi pada tingginya pengguna internet di Indonesia.
Saat ini, jumlah pengguna internet mencapai 202,6 juta jiwa penduduk atau 73,7 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 274,9 juta jiwa. Jika mereka tidak dibekali dengan etika, sikap yang bijak, dan digital literasi yang baik, maka hal ini menjadi sebuah ancaman yang dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial, konflik horisontal, dan bahkan sampai terjadinya disintegrasi bangsa. Maka, perlu dipastikan pemanfaatannya tidak mengarah pada tindakan radikal terorisme.
Boy memaparkan tren radikalisme di era digital dan pola radikalisasi yang dilakukan oleh kelompok jaringan teroris secara online. Penyebaran paham radikal dilakukan secara masif melalui sarana propaganda digital, dengan mengunggah suara dari pemimpinnya.
Mereka memanfaatkan faktor-faktor perseptual yaitu konstruksi identitas, krisis, dan solusi untuk membentuk bagaimana audiensnya memandang dan menilai dunia. Narasi sentral dari jenis pesan ini sederhana, yaitu mereka adalah pejuang dan pelindung (identitas dalam kelompok), musuhnya adalah jahat (identitas luar kelompok) yang bertanggung jawab atas krisis dimana mereka adalah satu-satunya harapan.
“Fenomena radikalisme di Indonesia hingga saat ini menjadi masalah serius. Jika dilakukan pembiaran, maka akan berdampak buruk dan menjadi potensi ancaman terhadap ideologi Pancasila, yaitu tumbuh sikap intoleran yang mengarah pada praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama, ektremisme, hingga menjustifikasi pemikiran melalui aksi radikal terorisme. Selain itu, contoh lain dari ideologi anti Pancasila adalah konsep khilafah, paham komunisme, separatisme (GAM & OPM), dan ekstrem kiri-ekstrem kanan,” ujar Boy.
Boy menyampaikan harapan bahwa diperlukan peran kampus dalam menangkal paham yang bertentangan dengan ideologi anti-Pancasila. Sivitas akademika diharapkan dapat menanamkan budaya cinta tanah air dengan mengapresiasi perbedaan.
Untuk mencapai kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera; menghasilkan kajian akademik yang mampu melawan radikalisme melalui penyelarasan pengembangan SDM secara sosial, ekonomi, dan budaya; melakukan pemanfaatan media sosial secara positif dan menanamkan budaya beretika yang bijak di ruang digital; serta membentengi sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan dan juga melindungi sistem tata nilai di kampus.
Baca juga: BNPT catat 1.500 WNI menjadi teroris lintas batas
Baca juga: Tak ada agama ajarkan terorisme tegas Wapres Ma'ruf
Baca juga: Wapres Ma'ruf ingatkan ancaman radikalisme bermetamorfosis
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021