Depok, 24/11 (ANTARA) - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Sri Budi Eko Wardhani mengatakan bahwa Indonesia belum siap menggelar Pemilu melalui "e-voting" (pemilihan suara secara elektronik).
"Pemilu 2014, baik legislatif maupun presiden belum siap digelar dengan 'e-voting'," kata Sri Budi Eko Wardani, dalam diskusi bertema "Evaluasi Penerapan E-Voting, dalam Pemilihan Kepala Dusun di Kabupaten Jembrana Untuk Kemungkinan Penerapan Dalam Pilkada" di kampus UI, Depok, Selasa.
Ia mengatakan, aturan hukum, peralatan maupun sumberdaya manusia juga belum mendukung terselenggaranya Pemilu dengan "e-voting".
"Masih banyak yang harus diperbaiki untuk dapat menggelar Pemilu dengan 'e-voting'," katanya.
Menurut dia, permasalahan dalam Pilkada bukan pada tahap pemberian suara tetapi setelah proses pemberian suara, misalnya penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara, yang banyak menyebabkan
adanya gugutan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia berharap adanya penyederhanaan pengiriman suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga bisa meminimalisas adanya kecurangan yang terjadi dalam Pilkada.
Menurut dia, tidak ada korelasi partisipasi pemilih dengan pelaksanaan Pilkada dengan "e-voting", namun yang perlu dibangun adalah disadarkan bagaimana memlihih pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat.
Sedangkan pengamat politik UI Andrinof Chaniago mengatakan, pelaksanaan "e-voting" bisa dilakukan jika telah dipenuhi syarat-syaratnya yaitu peralatan baik perangkat lunak dan perangkat keras, sumberdaya manusia yang mempunyai keahlian dan mental, serta peraturan hukumnya yang sesuai dengan "e-voting".
"Dapat dipastikan pelaksanaan Pemilu dengan 'e-voting' dapat mengurangi biaya," ujarnya.
Sementara itu, hasil Riset Hibah Stranas Tahun 2010, Penerapan E-Voting, dalam Pemilihan Kepala Dusun di Kabupatem Jembrana Untuk Kemungkinan Penerapan Dalam Pilkada menyebutkan bahwa dengan menggunakan "e-voting" lebih efisien dari total waktu penyelenggara, dan juga lebih murah dalam hal biaya, serta lebih mudah menggunakan hak pilih.
"Tingkat partisipasi pemilih juga tinggi yaitu mencapai 73 persen," kata peneliti Riset Hibah Stranas Tahun 2010, Cecep Hidayat.
Namun, kata dia, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan jika diselenggarakan di daerah lain, juga mempunyai tingkat partisipasi yang sama karena setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sedangkan peneliti Hibah Stranas lainnya Nurul Nurhandjati mengatakan putusan MK terkait "e-voting" harus diperkuat dengan dimasukannya klausul kemungkinan penggunaan metode "e-voting" di sejumlah aturan hukum.
Selain itu, lanjut dia, harus juga dilakukan kajian yang tuntas mengenai berapa biaya yang mesti dikeluarkan untuk menggelar Pilkada dengan menggunakan "e-voting".
"Harus ada 'pilot project' pergelaran Pilkada di beberapa daerah yang syarat-syarat minimal pemberlakuan 'e-voting'-nya terpenuhi," katanya.
Feru L
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
"Pemilu 2014, baik legislatif maupun presiden belum siap digelar dengan 'e-voting'," kata Sri Budi Eko Wardani, dalam diskusi bertema "Evaluasi Penerapan E-Voting, dalam Pemilihan Kepala Dusun di Kabupaten Jembrana Untuk Kemungkinan Penerapan Dalam Pilkada" di kampus UI, Depok, Selasa.
Ia mengatakan, aturan hukum, peralatan maupun sumberdaya manusia juga belum mendukung terselenggaranya Pemilu dengan "e-voting".
"Masih banyak yang harus diperbaiki untuk dapat menggelar Pemilu dengan 'e-voting'," katanya.
Menurut dia, permasalahan dalam Pilkada bukan pada tahap pemberian suara tetapi setelah proses pemberian suara, misalnya penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara, yang banyak menyebabkan
adanya gugutan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia berharap adanya penyederhanaan pengiriman suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga bisa meminimalisas adanya kecurangan yang terjadi dalam Pilkada.
Menurut dia, tidak ada korelasi partisipasi pemilih dengan pelaksanaan Pilkada dengan "e-voting", namun yang perlu dibangun adalah disadarkan bagaimana memlihih pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat.
Sedangkan pengamat politik UI Andrinof Chaniago mengatakan, pelaksanaan "e-voting" bisa dilakukan jika telah dipenuhi syarat-syaratnya yaitu peralatan baik perangkat lunak dan perangkat keras, sumberdaya manusia yang mempunyai keahlian dan mental, serta peraturan hukumnya yang sesuai dengan "e-voting".
"Dapat dipastikan pelaksanaan Pemilu dengan 'e-voting' dapat mengurangi biaya," ujarnya.
Sementara itu, hasil Riset Hibah Stranas Tahun 2010, Penerapan E-Voting, dalam Pemilihan Kepala Dusun di Kabupatem Jembrana Untuk Kemungkinan Penerapan Dalam Pilkada menyebutkan bahwa dengan menggunakan "e-voting" lebih efisien dari total waktu penyelenggara, dan juga lebih murah dalam hal biaya, serta lebih mudah menggunakan hak pilih.
"Tingkat partisipasi pemilih juga tinggi yaitu mencapai 73 persen," kata peneliti Riset Hibah Stranas Tahun 2010, Cecep Hidayat.
Namun, kata dia, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan jika diselenggarakan di daerah lain, juga mempunyai tingkat partisipasi yang sama karena setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sedangkan peneliti Hibah Stranas lainnya Nurul Nurhandjati mengatakan putusan MK terkait "e-voting" harus diperkuat dengan dimasukannya klausul kemungkinan penggunaan metode "e-voting" di sejumlah aturan hukum.
Selain itu, lanjut dia, harus juga dilakukan kajian yang tuntas mengenai berapa biaya yang mesti dikeluarkan untuk menggelar Pilkada dengan menggunakan "e-voting".
"Harus ada 'pilot project' pergelaran Pilkada di beberapa daerah yang syarat-syarat minimal pemberlakuan 'e-voting'-nya terpenuhi," katanya.
Feru L
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010