Bandung, 3/8 (ANTARA) - Banyak pelarian poltik (eksil) tragedi 1965, masih berharap bisa menjadi warga negara Indonesia dan pulang ke tanah air dan meninggal dunia di Indonesia, kata dosen Universitas Indonesia Ari Junaedi.
"Ini menjadi tugas pemerintahan sekarang untuk memberikan perhatian khusus," kata Ari Junaedi saat menyampaikan penelitiannya dalam sidang doktoralnya di Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa.
Staf khusus mantan Presiden Indonesia Megawati itu melakukan penelitian mendalam tentang para eksil di sejumlah negara Eropa. Hasil penelitian yang dijabarkan dalam sidang doktoral itu berjudul "Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara".
Menurut Ari, latar belakang yang menjadi para eksil 1965 itu masih ingin menjadi warganegara Indonesia karena mereka tidak pernah menyatakan keluar dari kewarganegaraan Indonesia, melainkan status itu dicabut pemerintah saat itu.
"Ketika peristiwa 1965 meletus, rezim Orde Baru memperlakukan sebagian pelajar yang ada di luar negeri sebagai simpatisan PKI. Rezim Orde Baru pernah mengultimatum warganegara Indonesia yang ada di luar negeri untuk lapor dan menyatakan kesetiaannya pada rezim Soeharto. Jelas mereka yang tidak tahu-menahu, yang loyalis Bung Karno atau simpatisan PKI, menolak ultimatum tersebut. Akibatnya, mereka dicabut paspornya dan menjadi 'stateless'," ungkap Ari.
Ari mengaku kerap bolak-balik ke berbagai negara untuk menemui para eksil itu.
Para eksil, kata Ari, walau sudah menjadi orang Rusia, beristrikan wanita Ceko atau beranak cucu campuran, namun jiwa raganya masih Indonesia.
"Mereka ingin, jika meninggal kelak, bisa dikubur di tanah air," katanya.
Maka, menurut dia, kasus eksil harus menjadi perhatian pemerintahan untuk menuntaskan status politik dengan demi rekonsiliasi, dan kemanusiaan, dengan cara memberi kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru.
"Kita telah membuang sebuah generasi terdidik akibat kebijakan pemerintah masa lalu. Maka ini harus diselesaikan," ungkapnya.
Ari mengatakan, Komnas HAM bertekad akan menuntaskan persoalan tragedi 1965 dengan harapan terjadi rekonsiliasi di kemudian hari agar rasa dendam yang dipupuk sekian lama bisa teratasi.
Dirinya mengakui masih banyak eksil 65, baik pelaku langsung atau anak cicitnya yang tinggal di berbagai negara, dan kini berstatus warga negara asing.
"Tidak ada angka yang pasti berapa jumlah eksil tragedi 1965 yang masih hidup hingga kini. Namun diperkirakan jumlahnya sekitar 1.500 orang baik dari generasi pertama hingga ke tiga akibat terjadinya proses perkawinan campuran," katanya.
Peta distribusi eksil tragedi 1965 pun menyebar, terbentang dari Rusia hingga negara-negara pecahannya; Bulgaria, Hongaria, Ceko, Slowakia, Rumania, Jerman, Belanda, Prancis, Swedia, Venezuela, Australia, Polandia, Kanada, Cina, Kuba, Korea Utara, Myanmar hingga Vietnam.
Dari catatan Ari, banyak eksil yang sukses di Eropa, seperti Manuaba di Hongaria, kemudian pengembang ilmu pedagogik (anak terbelakang mental) di Swedia, DR Sophian Waluyo. Juga pakar koperasi di Rusia, guru besar ekonomi di Venezuela, pakar pertelevisian di Jerman. Namun ada juga eksil 65 yang hidup terlunta-lunta di Kuba.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
"Ini menjadi tugas pemerintahan sekarang untuk memberikan perhatian khusus," kata Ari Junaedi saat menyampaikan penelitiannya dalam sidang doktoralnya di Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa.
Staf khusus mantan Presiden Indonesia Megawati itu melakukan penelitian mendalam tentang para eksil di sejumlah negara Eropa. Hasil penelitian yang dijabarkan dalam sidang doktoral itu berjudul "Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara".
Menurut Ari, latar belakang yang menjadi para eksil 1965 itu masih ingin menjadi warganegara Indonesia karena mereka tidak pernah menyatakan keluar dari kewarganegaraan Indonesia, melainkan status itu dicabut pemerintah saat itu.
"Ketika peristiwa 1965 meletus, rezim Orde Baru memperlakukan sebagian pelajar yang ada di luar negeri sebagai simpatisan PKI. Rezim Orde Baru pernah mengultimatum warganegara Indonesia yang ada di luar negeri untuk lapor dan menyatakan kesetiaannya pada rezim Soeharto. Jelas mereka yang tidak tahu-menahu, yang loyalis Bung Karno atau simpatisan PKI, menolak ultimatum tersebut. Akibatnya, mereka dicabut paspornya dan menjadi 'stateless'," ungkap Ari.
Ari mengaku kerap bolak-balik ke berbagai negara untuk menemui para eksil itu.
Para eksil, kata Ari, walau sudah menjadi orang Rusia, beristrikan wanita Ceko atau beranak cucu campuran, namun jiwa raganya masih Indonesia.
"Mereka ingin, jika meninggal kelak, bisa dikubur di tanah air," katanya.
Maka, menurut dia, kasus eksil harus menjadi perhatian pemerintahan untuk menuntaskan status politik dengan demi rekonsiliasi, dan kemanusiaan, dengan cara memberi kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru.
"Kita telah membuang sebuah generasi terdidik akibat kebijakan pemerintah masa lalu. Maka ini harus diselesaikan," ungkapnya.
Ari mengatakan, Komnas HAM bertekad akan menuntaskan persoalan tragedi 1965 dengan harapan terjadi rekonsiliasi di kemudian hari agar rasa dendam yang dipupuk sekian lama bisa teratasi.
Dirinya mengakui masih banyak eksil 65, baik pelaku langsung atau anak cicitnya yang tinggal di berbagai negara, dan kini berstatus warga negara asing.
"Tidak ada angka yang pasti berapa jumlah eksil tragedi 1965 yang masih hidup hingga kini. Namun diperkirakan jumlahnya sekitar 1.500 orang baik dari generasi pertama hingga ke tiga akibat terjadinya proses perkawinan campuran," katanya.
Peta distribusi eksil tragedi 1965 pun menyebar, terbentang dari Rusia hingga negara-negara pecahannya; Bulgaria, Hongaria, Ceko, Slowakia, Rumania, Jerman, Belanda, Prancis, Swedia, Venezuela, Australia, Polandia, Kanada, Cina, Kuba, Korea Utara, Myanmar hingga Vietnam.
Dari catatan Ari, banyak eksil yang sukses di Eropa, seperti Manuaba di Hongaria, kemudian pengembang ilmu pedagogik (anak terbelakang mental) di Swedia, DR Sophian Waluyo. Juga pakar koperasi di Rusia, guru besar ekonomi di Venezuela, pakar pertelevisian di Jerman. Namun ada juga eksil 65 yang hidup terlunta-lunta di Kuba.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010