Bogor, 11/7 (ANTARA) - Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya dengan wafatnya Ketua MPR/DPR periode 1972-1977, Doktor Kiai Haji Idham Chalid, pada Minggu pukul 08.00 WIB di rumah almarhum di Pesantren Daarul Maarif, Cipete Jakarta Selatan.
Saiful Hadi, salah seorang putra almarhum, mengemukakan, "Ayah meninggal dunia tadi pagi pukul 08.00 WIB di Cipete dan pemakamannya pada Senin besok di Pesantren Darul Quran Cisarua Bogor."
Kiai Haji Idham Kholid meninggal dunia setelah sebelumnya selama sembilan tahun berjuang melawan penyakit stroke.
Sejak sembilan tahun silam, Ketua DPR/MPR 1972-1977 itu terkena serangan jantung yang dahsyat pada 1999.
"Pada serangan jantung itu terjadi, Bapak terkena lumpuh total dan tak bisa bicara," kata Saiful.
Selain tak bisa berbicara, kata dia, untuk makan pun sang ayah harus dibantu dengan selang yang dimasukkan ke saluran pencernaannya di perut (sounde).
"Makanan pun harus dihaluskan dan disaring sebelum masuk ke selang tersebut," ujar Saiful.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Idham tercatat sebagai tokoh yang paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.
Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karir yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai manapun.
Selain itu, Idham juga tercatat sebagai "Bapak" pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Akhmad Fahir
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
Saiful Hadi, salah seorang putra almarhum, mengemukakan, "Ayah meninggal dunia tadi pagi pukul 08.00 WIB di Cipete dan pemakamannya pada Senin besok di Pesantren Darul Quran Cisarua Bogor."
Kiai Haji Idham Kholid meninggal dunia setelah sebelumnya selama sembilan tahun berjuang melawan penyakit stroke.
Sejak sembilan tahun silam, Ketua DPR/MPR 1972-1977 itu terkena serangan jantung yang dahsyat pada 1999.
"Pada serangan jantung itu terjadi, Bapak terkena lumpuh total dan tak bisa bicara," kata Saiful.
Selain tak bisa berbicara, kata dia, untuk makan pun sang ayah harus dibantu dengan selang yang dimasukkan ke saluran pencernaannya di perut (sounde).
"Makanan pun harus dihaluskan dan disaring sebelum masuk ke selang tersebut," ujar Saiful.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Idham tercatat sebagai tokoh yang paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.
Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karir yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai manapun.
Selain itu, Idham juga tercatat sebagai "Bapak" pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Akhmad Fahir
Editor : Teguh Handoko
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010